27 Des 2009

Sikap muslim dalam membenci dan memusuhi ahli bid’ah (II)

. 27 Des 2009

Sikap muslim dalam membenci dan memusuhi ahli bid’ah (II)
Penulis: Syaikh Dr. Ibrahim Bin Amir ar Ruhaili


Cara untuk membenci Ahli Bid'ah dan merealisasikan kebenciannya

Semua ulama ahlissunnah sepakat membenci ahli bid’ah, namun untuk merealisasikan harus memperhatikan dua masalah di bawah ini :

MASALAH PERTAMA : Cara merealisasikan kebencian kepada ahli bid’ah. Benci karena Allah termasuk amalan hati yang susah untuk direalisasikan berbeda dengan amalan lahiriah yang lebih mudah. Benci karena Allah merupakan buah dari keimanan, sehingga tidak semua orang bisa mewujudkan. Bahkan tidak mungkin terwujud, kecuali setelah sampai pada derajat keimanan yang sangat tinggi. Oleh karena itu, Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam menjadikan kebencian karena Allah sebagai tanda kesempurnaan iman sebagaimana dalam hadits Shalallahu ‘alaihi wassalam, ““Barangsiapa yang memberi karena Allah, menahan karena Allah, membenci karena Allah dan menikah karena Allah, maka telah sempurna keimanannya.” (HR Ahmad, At Tirmidzi, Al Hakim Abu Dawud dan disahihkan oleh Al Albani).

Realita ummat membuktikan bahwa membenci karena Allah berubah-ubah sesuai dengan kondisi keimanan. Ketika Iman bertambah, maka kebencian kepada musuh Allah dan para penentang syariatNya semakin bertambah, dan sangat marah tatkala melihat aturan Allah diinjak-injak.

Oleh karena itu Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam sangat marah ketika melihat aturan dan batasan Allah dilanggar hingga mukanya berubah menjadi merah karena marah.

Dari Amr bin Syuaib dari bapaknya dari kakeknya berkata, “Pernah suatu ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam mendapati para sahabat berdebat masalah takdir, tampaklah mukanya memerah seperti buah delima karena marah.”(HR Ibnu Majah dan HR Ahmad serta disahihkan dalam Shahih Ibnu Majah oleh Al Albani).

Begitu pula para Sahabat dan Ulama Salaf sangat marah, ketika melihat hukum dan aturan Allah dikebiri dan sangat membenci setiap penentang agama Allah. Berbeda dengan ummat Islam zaman ini yang sangat toleran, bermurah hati kepada musuh Allah, berkunjung, berkasih sayang dengan ucapan lembut dan tukar-menukar hadiah. Bahkan sebagian pengikut ahli sunnah zaman sekarang menaruh simpati dan kecintaan kepada Rafidhah yang banyak tersebar di sekitar Madinah, menjadikan sebagi teman karib dan sahabat dekat berkasih sayang dan makan minum bersama mereka, serta berbuka puasa bersama di meja makan Rafidhah padahal mereka menghujat para sahabat dan istri-istri Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam. Setelah itu tidak lama lagi, akidah dan agama orang tersebut akan rusak. Bila kebencian kepada musuh Allah sebagai tanda keimanannya bertambah, maka lemahnya kebencian kepada musuh sebagai tanda lemahnya iman.

Seorang muslim wajib melatih diri untuk membenci musuh Allah, menerapkan seluruh perkara yang membuat benci kepada mereka dan menghindar dari seluruh perkara yang membuat cinta kepada mereka. Diantara langkah yang harus ditempuh sebagai berikut.

Langkah pertama : Memutuskan segala penyebab timbulnya cinta dan kasih sayang dengan melakukan hal sebagai berikut :
a. Tidak memberi salam karena ucapan salam penyebab timbulnya dan tumbuhnya kecintaan kepada mereka, berdasarkan hadits dari Abu Hurairah bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Tidaklah kamu masuk surga hingga kamu beriman, tidaklah kamu beriman hingga kamu salng berkasih-sayang. Maukah kamu aku tunjukkan sesuatu bila kamu melakukannya, kamu bisa saling berkasih-sayang ? Sebarkanlah salam diantara kalian.” (HR Muslim). Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam menjelaskan bahwa memberi salam merupakan bagian dari pengikat kasih sayang diantara kaum muslimin. Sementara membenci ahli bid’ah dianjurkan, maka wajib meninggalkan salam. Imam Ahmad berkata, “Bila seorang muslim memberi salam kepada ahlu bid’ah, berarti ia mencintainya. Karena Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,”Maukah kamu aku tunjukkan sesuatu bila kamu melakukannya, kamu bisa saling berkasih-sayang ? Sebarkanlah salam diantara kalian.” (HR Muslim) (Al Adab Syar’iyyah 1/233).

b. Tidak duduk-duduk dan tinggal bersama di rumah, tempat kerja dan segala sarana yang memudahka pertemuan dan berbicara yang bisa menjadi penyebab akrab dan kasih sayang dengan mereka. Syaikh Hamud At Tuwaijiri berkata,”Jika berkasih sayang dan mencintai musuh Allah dilarang, maka ketahuilah bahwa ada beberapa hal yang bisa menumbuhkan benih cinta dan kasih sayang antara lain tinggal bersama mereka, bergaul, duduk-duduk di satu majlis, berteman, saling berkunjung, menyerahkan urusan kaum muslimin kepada mereka, berbaju dengan ciri khas baju mereka dan berperangai dengan etika mereka, serta menaruh rasa hormat kepada mereka baik berupa ucapan atau tindakan.” (Tuhfah Al Ikhwan hal 16).

c. Tidak mau menerima pemberian dan kebaikan dari mereka, karena bisa menebar benih kasih sayang. Mengingat jiwa manusia akan terpaut dengan orang yang berbuat baik kepadanya. Juga tidak memberi hadiah dalam rangka merekatkan tali persahabatan, sebab semua itu bertentangan dengan sikap membenci mereka. Abdullah bin Mubarak selalu berdo’a “Ya Allah janganlah Engkau jadikan ahli bid’ah menguasaiku dengan pemberian dan kebaikan, sehingga hatiku terpaut dengannya.” (Syarh Ushul Al I’tiqad Ahli Sunnah 1/140). Qadli ‘Iyadh dalam kitab Tartib Al Madarik menceritakan seorang bernama Imam Al Bahlul bin Rasyid Al Qairuwani salah seorang murid Imam Malik Rahimahullah,”Al Bahlul menyerahkan dua dinar kepada salah seorang temannya untuk membeli minyak zaitun yang sedap. Kemudian temannya Bahlul bertemu seseorang yang menunjukka bahwa ada seorang Nashrani memiliki minyak zaitun yang sangat sedap. Ketika mendatangi si Nashrani berkata,”Saya bertaqarrub kepada Allah dengan Bahlul sebagaimana kalian bertaqarrub dengannya”. Lalu dia memberi minyak zaitun dan ditambah dengan dua dinar. Kemudian orang tersebut menghadap kepada Bahlul dan beliau bertanya kepadanya,”Kamu sudah melaksanakan tugas maka kembalikan dua dinar kepada si Nashrani”. Ia berkata,”Kenapa ?” Ia menjawab,”Aku ingat firman Allah (لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءهُمْ أَوْ أَبْنَاءهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ Artinya : “Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Al Quran Surat Al Mujadilah 22). Aku khawatir dengan makan minyak zaitun orang Nashrani, hatiku tertaut dengannya, sehingga aku termasuk orang yang memusuhi Allah dan RasulNya dengan imbalan dunia yang rendah.” (Tartib Al Mulik, Al Qadhi ‘Iyadh1/337). Pada diri ulama Salaf terdapat suri tauladan buat kita semua dalam menjaga agama, karena jiwa manusia bertabiat lemah. Sehingga kita layak menolak pemberian musuh Allah untuk menjaga hati, agar tidak menaruh cinta dan kasih kepada musuh Allah. Apa yang saya sebutkan diatas hanya sekadar usaha dan sarana untuk membenci ahli bid’ah, sebab tidak mungkin kebencian kepada mereka terwujud kecuali dengan menutup seluruh sarana yang menjadi penyebab kasih sayang dengan mereka.

Langkah kedua : Menampakkan permusuhan lahiriyah dengan ahli bid’ah.

Tatkala permusuhan dan kebencian bagian dari amalan hati, maka perlu ada tanda ciri sebagai bentuk sikap yang tampak pada lahiriah. Bila tidak demikian, bagaimana kita tahu mereka membenci ahli bid’ah dan musuh Allah secara tulus karena Allah ?. Untuk menampakkan permusuhan dan kebencian kepada mereka dapat dilakukan dengan beberapa langkah sebagai berikut :
a. Mengungkapkan secara terus terang sikap kebencian dan permusuhan dalam lisan kepada ahli bid’ah seperti sikap Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang menyatakan secara tegas berlepas diri dan sikap permusuhan kepada kaumnya. Hal ini terdapat dalam firman Allah :
َدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَاء مِنكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاء أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
artinya : “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka:"Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.”(Al Quran Surat Al Mumtahanah 4). Meskipun ayat ini lebih spesifik kepada orang kafir, namun bisa diterapkan untuk semua orang yang memusuhi Allah, baik ahli bid’ah maupun ahli maksiat. Oleh sebab itu para ulama salaf sangat menampakkan permusuhan dan kebencian kepada ahli bid’ah, seperti pernyataan Ibnu Umar tentang Qadariyah, “Jika kamu bertemu dengan mereka, maka sampaikan kepadanya bahwa Ibnu Umar bersikap bara’ darinya dan mereka juga bara’ darinya, (sebanyak tiga kali).” Imam Muhammad Al Qaththani terus terang menampakkan kebencian kepada Asy’ariyah, beliau berkata, “Wahai Asy’ariyah, hai manusia yang paling hina, hai manusia tuli, bisu dantidak mempunyai telinga. Sesungguhnya aku sangat membenci kalian dan kelompok kalian yang membuat aku jengkel. Jikalau kedua mataku, aku sangat bersenang hati agar tidak melihatmu lagi.” (Nuniyah Al Qathani, hal 53).

b. Bermuammalah dengan mereka secara kasar dan keras. Diharapkan kebencian dan permusuhan bisa terwujud. Sehingga ulama Salaf berpegang teguh dengan manhaj ini dalam bermuammalah dengan ahlu bid’ah. Syaikh Ismail Ash Shabuni berkata,”Para ulama Salaf bersepakat untuk bersikap keras dengan ahli bid’ah, menghinakan, merendahkan, menjauhkan, menjauhi mereka serta tidak menjadikan teman dan sahabat karib bahkan menjauhi dan mengucilkan mereka dalam rangka taqarrub kepada Allah.” (Aqidah Salaf wa Ashab Al Hadits 1/134). Syaikh Bakr Abu Zaid berkata,”Para ulama Salaf menganggap bahwa menghina, merendahkan dan mengucilkan ahli bid’ah bagian dari ibadah kepada Allah.” (Hilyah Ath Tholib Al Ilmi, hal 29).

c. Menyumbat kucuran bantuan dan menggagalkan tujuan mereka. Demikian dalam usaha mereka yang mubah dan haram. Adapun menghambat usaha mereka yang mubah dalam rangka untuk menampakkan kebencian dan permusuhan, sedang menghambat usaha mereka yang haram karena kita dilarang untuk membantu mereka dalam hal yang haram, sebab Allah berfirman :
وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَن صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَن تَعْتَدُواْ وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
artinya : “Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil Haram, mendorong kamu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”(Al Quran Surat Al Maidah 2). Sikap diatas merupakan cara untuk menampakkan kebencian antara lain dengan tidak mengajak bicara mereka atau berbicara dengan kasar atau keras, atau berupa tindakan untuk memutuskan bantuan dan berusaha untuk mengganggu dan menggagalkan segala rencana dan tujuan mereka.

Sebenarnya, banyak cara untuk menunjukkan kebencian terhadap ahli bid’ah. Disini saya hanya menyebutkan beberapa contoh saja. Intinya sarana apa saja yang bisa menebar kebencian kepada ahli bid’ah dibolehkan, selama bukan suatu pelanggaran hak kepemilikannya dan kedholiman.

MASALAH KEDUA : Kebencian terhadap ahli bid’ah tidak bisa disamaratakan. Bahkan masing-masing berbeda tergantung kondisi dan status ahli bid;ah, mengingat kebid’ahan dan jauhnya mereka dari sunnah berbeda-beda (Ada yang bid’ahnya tingkat kekafiran ada yang tidak sampai murtad dari Islam, ada bid’ahnya yang mudah dikenali ada yang sangat berbahaya yakni samar, dst, red). Maka siapa yang menyamaratakan sikap kebencian kepada semua ahli bid’ah, maka dia telah melakukan kesalahan yang besar. Sebab ahli bid’ah ada yang kafir, zindik, fasik dan ada bid’ah yang kecil serta bid’ah yang besar. Meskipun semuanya masuk dalam lingkaran bid’ah yang menyesatkan dan memasukkan pelakunya ke dalam Neraka, tidak berarti sikap kita kepada mereka disamakan. Oleh karena itu, ahli bid’ah dibenci sesuai kadar kebid’ahan masing-masing. Bahkan ada sebagian ahli bid’ah masih sangat cinta dengan kebaikan, meskipun tetap harus dibenci. Sehingga dari satu sisi mereka berhak dicintai dan dari sisi lain berhak untuk dibenci.

Sudah menjadi ketetapan ahlusunnah, bila sebagian iman hilang tidak berarti lenyap semuanya. Oleh karena itu, ada seseorang yang dari satu sisi berhak mendapat imbalan dan pujian, sementara dari sisi lain berhak mendapat siksaan dan kebencian. Maka mencintai sesuai kadar keimanan yang ada dan membenci sesuai dengan hilangnya kadar keimanannya. Berbeda dengan firqah sesat seperti Jahmiyah, Murji’ah, Khawarij, Mu’tazilah yang menyatakan bahwa Iman satu perkara yang tidak dapat dipisah-pisahkan.

“Penerapan metode pengucilan sangat bergantung kepada kondisi obyek dakwah, baik dari sisi kuantitas dan kualitas. Yang menjadi sasaran inti adalah terwujudnya kesadaran dan perubahan dari pelaku kebid’ahan/kesesatan. Bila pengucilan dianggap mampu meminimalisir keburukan, maka sikap tersebut dibenarkan. Bila orang yang dikucilkan tidak sadar bahkan keburukannya semakin bertambah, sementara orang yang mengucilkan dalam posisi lemah, sehingga kerugian lebih besar volumenya dibanding kemaslahatan, maka tidak ada anjuran untuk hajr/pengucilan, namun metode persuasif lebih tepat untuk sebagian orang daripada pengucilan. Oleh karena itu terkadang Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam menggunakan metode pengucilan untuk suatu kelompok, dan terkadang menggunakan metode persuasif untuk yang lain. Sebagaimana metode yang diterapkan untuk mensikapi musuh dalam perang, terkadang dengan gencatan senjata dan terkadang dengan pemungutan jizyah/pajak, semua disesuaikan dengan kondisi dan kebaikan. Jika kita merenungi nash-nash Al Quran dan As Sunnah, banyak terdapat metode-metode tersebut di atas.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 28/206).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata,”Apabila dalam diri seseorang menyatu baik dan buruk, maksiat dan taat atau sunnah dan bid’ah, maka dia berhak diberi wala’ sebatas kebaikan yang ada dan berhak dibenci dan diberi sanksi sebatas keburukan yang ada. Berarti sekaligus dia berhak dihormati dan dimuliakan seperti pencuri miskin, harus dipotong tangannya karena mencuri dan sekaligus diberi santunan dari Baitul Mal untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Inilah manhaj Ahlussunnah yang ditentang oleh Khawarij dan Mu’tazilah, bahwa seorang muslim tidak hanya berhak mendapat imbalan atau siksaan belaka”.

Ahli Sunnah menyatakan bahwa Allah menyiksa siapa saja yang dikehendaki dari pelaku dosa besar, lalu dikeluarkan dari neraka dengan syafaat orang yang diberi izin memberi syafa’at. Atau dengan rahmat dan karunia Allah, sebagaimana yang telah menjadi ketetapan sunnah mutawatir. (Majmu’ Fatawa 28/209-210).

Ibnu Abu Izz al Hanafi berkata,”Sikap cinta dan benci sesuai dengan kebaikan dan keburukan yang ada. Karena pada diri seseorang bisa berkumpul dua sisi perilaku, dari satu sisi berhak diberi wala’ dan cinta dan dari sisi lain berhak dibenci dan dimusuhi. Hukum yang berlaku adalah yang ghalib. (Syarh Aqidah Ath Thahawiyah 434).

Kesimpulan, hasil yang dapat dipetik dari penjelasan diatas ada dua faidah besar antara lain :
Pertama : Ahli Bid’ah dibenci hanya sebatas keburukan yang ada. Kebencian kita kepada ahli bid’ah yang masih muslim tidak boleh sama dengan ahli bid’ah yang telah divonis kafir, meskipun mereka menyamakan secara umum dari sisi penentuan status muslim atau kafirnya ahli bid’ah.

Kedua: Ahli bid’ah yang muslim meskipun wajib dibenci dari sisi keburukan, namun dicintai sesuai dengan kebaikan yang ada. Walaupun hanya sebatas pengucapan syahadat dan penegakan shalat.

Akan tetapi, terkadang kecintaan (kepada ahli bid’ah yang semacam ini, red) tidak tampak pada sikap lahiriah, bila perangai buruk ahli bid’ah lebih menonjol daripada perangai baik, sehingga kebencianlah yang lebih nampak.

Inilah yang dimaksud ucapan Ibnu Abu Al Izz bahwa hukum yang berlaku pada mereka tergantung pada asalnya. Artinya, pengaruh kecintaan atau kebencian tampak dalam sikap laihirah, tergantung pada perangai yang menonjol pada diri seorang ahli bid’ah tadi. Namun akar kecintaan dan kebencian tidak hilang dalam hati, tidak bisa dihilangkan secara syar’i dan akal. Sebab masing-masing ada faktor penyebabnya. Bila faktor kecintaan (karena perbuatan baiknya ahli bid’ah, red) lebih menonjol dari faktor kebencian, maka yang harus lebih tampak adalah kecintaan. Dan bila yang lebih menonjol adalah faktor kebencian (karena perbuatan jeleknya ahli bid’ah, red) daripada faktor kecintaan, maka yang harus lebih tampak sikap cinta.

Demikianlah sikap ahli sunnah dalam membenci ahli bid’ah, bertumpu pada dalil-dalil akurat dan pernyataan tegas dari ulama Salaf.

Daftar Istilah Penting:
As Sunnah = Meniti jalan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dan meniru tingkah laku beliau dalam tiga hal, ucapan, perbuatan dan akidah.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah vol 4/180). Sunnah menjadi lawan dari bid’ah. Sunnah adalah jalan yang ditempuh mencakup seluruh ajaran Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam, para Khulafaur Rasyidin radhiyallahu ‘anhum, baik berupa keyakinan, tindakan dan ucapan. Oleh karena itu, ruang lingkup sunnah menurut generasi salaf mencakup itu semua. Demikian diriwayatkan dari Hasan al Bashri, AL Auza’I dan Fudhail bin ‘Iyadh (Jami’ Al Ulum wal Hikam 262).

Ahli Sunnah = Pengikut kebenaran, selain mereka berarti termasuk ahli bid’ah. Mereka adalah para Sahabat dan setiap orang yang meniti manhaj mereka dari kalangan Tabi’in, kemudian ahli Hadits dan para pengikut mereka dari kalangan ulama ahli Fikih, serta para pengikut mereka yang baik dari belahan bumi timur dan barat hingga saat ini.” (Al Fashl fi Al Milal wa Al Ahwa’ wa an Nihal 2/271). Ahli Sunnah adalah setiap orang yang berpegang teguh kepada Kitabullah dan sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam, serta ijma’ para generasi pertama dari kaum Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengiktui mereka dengan baik.” Barangsiapa berbicara sesuai dengan Al Quran dan As Sunnah serta ijm’a maka dia termasuk ahli sunnah.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah hal 375,346). Nama lain Ahli Sunnah adalah Ahli Sunnah wal Jama’ah, Firqah Najiyah (Golongan yang selamat), Thaifah Al Manshurah (Kelompok yang tertolong), Salafy (peniti jejak para pendahulu/salaf sholih yang setia) (Ma’alim Al Intilaq Kubra, Muh. Abdul Hadi Al Mishri 43-56, Hukm Al Intima’, Abu Zaid hal 28-40)

Bid’ah = Suatu ajaran yang tidak disyariatkan oleh Allah dan RasulNya, tidak ada perintah baik berbentuk kandungan wajib/sunnah. Adapun bila ada anjurannya, baik berbentuk wajib/dianjurkan dengan didukung dalil-dalil syar’I terhadap anjuran tersbeut, maka hal itu termasuk bagian dari Dien, meskipun terdapat perselisihan antara alim ulama dalam sebagian masalah. (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 4/107-108).

Ahli Bid’ah = Kebid’ahan yang membuat seseorang menjadi dikatakan ahli bid’ah, bila kebid;ahan tersebut telah dikenal luas oleh para ulama ahlussunnah telah menyelisihi Al Quran dan As Sunnah speerti kebid’ahan Khawarij, Rafidhah, Aqadariyah dan Murji’ah” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 35/414). Ahli Bid’ah adalah suatu ungkapan untuk semua hakikat tindakan seseorang yang membikin perkara bid’ah dalam agama, dengan merujuk pada hawa nafsunya untuk menetapkan suatu ajaran, dan menyatakan ajaran tersebut suatu yang syah, bahkan orang yang menolak ajaran tersebut dikatakan sesat, sedang yang suka menyatakan sebagai sunnah. Berbeda dengan orang yang ikut-ikutan saja, ia tidak mengikuti hawa nafsu melainkan mengikuti ajakan tokohnya (ahli bid’ah), maka orang yang taklid dalam kebid’ahan ini tidak bisa disebut ahli bid’ah (disebut sebagai pelaku bid’ah saja, red), kecuali dia ikut membuat ketetapan dan pandangan tentang baiknya perkara bid’ah tadi.” (Al I’tisham 1/162-164). Adapun ciri-cirinya mereka Ahli Bid’ah berpecah-belah dari jalan Allah, lebih mengikuti hawa nafsu pemimpinnya/dirinya, mengambil nash-nash Al Quran/Assunnah yang bisa dipelencengkan/mutasyabih, Mengkontradiksikan antara Al Quran dan As Sunnah, membenci Ahli Atsar/Ahli Hadits, menjelek-jelekkan Ahlu Sunnah, Tidak mau merujuk kepada Salaful Ummah, Mengkafirkan orang yang berbeda pendapat dengannya. (Dinukil dari Kitab Mauqif Ahlussunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa’ wal Bida’, Dr Ibrahim Ruhaili, Bab Definisi Ahli Bid’ah dan Ahli Ahwa’)

Sambungan dari Sikap muslim dalam membenci dan memusuhi ahli bid’ah (I)

(Dinukil dari Kitab Mauqif Ahlussunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa’ wal Bida’, Maktabah Al Ghura’a Al Atsriyah 1415 H, Penulis Syaikh Dr. Ibrahim Bin Amir ar Ruhaili, doktoral jurusan Aqidah dari Jami’ah Islamiyyah Madinah yang lulus dengan predikat Summa Cum Laude, edisi Indonesia Manhaj Ahli Sunnah Menghadapi Ahli Bid’ah, Bab Sikap Ahli Sunnah tentang membenci dan menampakkan permusuhan kepada Ahli Bid’ah)



Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya.
Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=415

0 komentar:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Posting Komentar

 
Namablogkamu is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com | The Blog Full of Games