17 Feb 2016

Mosvid.com Situs Video Kajian-Silahkan Sebarkan

. 17 Feb 2016
0 komentar

Artikel dibawah ini kami copy dari situs www.mosvid.com langsung dari halaman tentang kami, silahkan Anda Sebarkan semoga bermanfaat dan menambah amal

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Salam kenal Sobat Muslim diseluruh Dunia, saya Abu Abdullah admin dari Mosvid.com
Mungkin Sobat baru pertama kali berkunjung di website sederhana ini (www.mosvid.com) . Semoga Anda sekalian betah dan mau berkunjung lagi. Mosvid merupakan website yang memberikan informasi tentang kajian-kajian Islam yang bersumber dari Ustadz-Ustadz Ahlussunnah wal Jama’ah. Anda dapat melihat video dari berbagai kategori: Ceramah Agama Islam, Ceramah Singkat, Kacamata Islam, Kajian Hadits, Kajian Muslimah, Keluarga, Konsultasi Kesehatan dan banyak kategori lainnya yang insyaAllah akan kami update secara rutin.
Kami khusus memfilter video yang direkomendasikan tim Mosvid. Video yang kami tampilkan merupakan video-video kajian yang berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah dengan pemahaman Salaf. Anda pun bisa request video yang mau dimasukkan dalam Mosvid.com. Anda bisa melihat tata cara dan prosedur request video di halaman request. Video akan kami tampilkan setelah di pertimbangkan oleh tim Mosvid.
Selain video kajian, Anda juga bisa requet video bertemakan ilmu pengetahuan/pembelajaran dengan catatan video sesuai dengan ketentuan yang ada.
Latar belakang dibentuknya Mosvid.com adalah banyaknya ikhwah yang mengeluhkan youtube sebagai website video terbesar, sekarang tidak terfilter lagi, banyak kajian-kajian yang diupload kedalam youtube , tetapi sayang untuk menikmati kajian tersebut, sering muncul berbagai iklan dan gambar yang tidak layak dilihat.
Kami berusaha mengetengahkan sajian kajian yang nyaman, dengan meminimalisir iklan yang tidak jelas. Walaupun kadang masih muncul beberapa iklan yang memang tidak bisa diblokir dari sumber aslinya youtube.
Dengan adanya website ini semoga kita diberikan kemudahan untuk menimba ilmu dan lebih semangat lagi.
Jazakumullahu khoiran kami ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu, terutama para ustadz yang video ceramahnya kami masukkan dalam Mosvid.com dan para pengupload video-video kajian tersebut.
Ucapan maaf kami sampaikan kepada semua pihak, karena sebagian besar video yang ada belum kami mintakan ijin dari pengupload ataupun ustadz nya langsung karena keterbatasan waktu dan biaya. Ucapan maaf juga kami sampaikan atas segala sesuatu yang kurang berkenan baik dari isi website ini ataupun atas kealpaan kami sebagai manusia.
Kritik, saran dan masukan selalu kami harapkan dari sobat sekalian untuk mengembangkan website ini.
Silahkan kirimkan saran anda melalui email: admin@mosvid.com atau melalui sms ke HP: 08984444498

Klik disini untuk melanjutkan »»

24 Okt 2011

Amalan Sholih di Awal Dzulhijah

. 24 Okt 2011
0 komentar

Amalan Sholih di Awal Dzulhijah


Alhamdulillah, Allah subhanahu wa ta’ala masih memberikan kita berbagai macam nikmat, kita pun diberi anugerah akan berjumpa dengan bulan Dzulhijah. Berikut kami akan menjelasakan keutamaan beramal di awal bulan Dzulhijah dan apa saja amalan yang dianjurkan ketika itu. Semoga bermanfaat.
Keutamaan Sepuluh Hari di Awal Bulan Dzulhijah
Di antara yang menunjukkan keutamaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah adalah hadits Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ . يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ
“Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah).” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad di jalan Allah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun.”[1]
Di antaranya lagi yang menunjukkan keutamaan hari-hari tersebut adalah firman Allah Ta’ala,
وَلَيَالٍ عَشْرٍ
“Dan demi malam yang sepuluh.” (QS. Al Fajr: 2). Di sini Allah menggunakan kalimat sumpah. Ini menunjukkan keutamaan sesuatu yang disebutkan dalam sumpah.[2] Makna ayat ini, ada empat tafsiran dari para ulama yaitu: sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah, sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, sepuluh hari pertama bulan Ramadhan dan sepuluh hari pertama bulan Muharram.[3] Malam (lail) kadang juga digunakan untuk menyebut hari (yaum), sehingga ayat tersebut bisa dimaknakan sepuluh hari Dzulhijah.[4] Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan bahwa tafsiran yang menyebut sepuluh hari Dzulhijah, itulah yang lebih tepat. Pendapat ini dipilih oleh mayoritas pakar tafsir dari para salaf dan selain mereka, juga menjadi pendapat Ibnu ‘Abbas.[5]
Keutamaan Beramal di Sepuluh Hari Pertama Bulan Dzulhijah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah).” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad di jalan Allah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun.”[6]
Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa amalan di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari lainnya dan di sini tidak ada pengecualian. Jika dikatakan bahwa amalan di hari-hari tersebut lebih dicintai oleh Allah, itu menunjukkan bahwa beramal di waktu itu adalah sangat utama di sisi-Nya.”[7]
Bahkan jika seseorang melakukan amalan yang mafdhul (kurang utama) di hari-hari tersebut, maka bisa jadi lebih utama daripada seseorang melakukan amalan yang utama di selain sepuluh hari awal bulan Dzulhijah. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya, “Tidak pula jihad di jalan Allah?” Beliau pun menjawab, “Tidak pula jihad di jalan Allah.” Lalu beliau memberi pengecualian yaitu jihad dengan mengorbankan jiwa raga. Padahal jihad sudah kita ketahui bahwa ia adalah amalan yang mulia dan utama. Namun amalan yang dilakukan di awal bulan Dzulhijah tidak kalah dibanding jihad, walaupun amalan tersebut adalah amalan mafdhul (yang kurang utama) dibanding jihad.[8]
Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Hal ini menunjukkan bahwa amalan mafdhul (yang kurang utama) jika dilakukan di waktu afdhol (utama) untuk beramal, maka itu akan menyaingi amalan afdhol (amalan utama) di waktu-waktu lainnya. Amalan yang dilakukan di waktu afdhol untuk beramal akan memiliki pahala berlebih karena pahalanya yang akan dilipatgandakan.”[9] Mujahid mengatakan, “Amalan di sepuluh hari pada awal bulan Dzulhijah akan dilipatgandakan.”[10]
Sebagian ulama mengatakan bahwa amalan pada setiap hari di awal Dzulhijah sama dengan amalan satu tahun. Bahkan ada yang mengatakan sama dengan 1000 hari, sedangkan hari Arofah sama dengan 10.000 hari. Keutamaan ini semua berlandaskan pada riwayat fadho’il yang lemah (dho’if). Namun hal ini tetap menunjukkan keutamaan beramal pada awal Dzulhijah berdasarkan hadits shohih seperti hadits Ibnu ‘Abbas yang disebutkan di atas.[11]
Amalan yang Dianjurkan di Sepuluh Hari Pertama Awal Dzulhijah
Keutamaan sepuluh hari awal Dzulhijah berlaku untuk amalan apa saja, tidak terbatas pada amalan tertentu, sehingga amalan tersebut bisa shalat, sedekah, membaca Al Qur’an, dan amalan sholih lainnya.[12] Di antara amalan yang dianjurkan di awal Dzulhijah adalah amalan puasa. Dari Hunaidah bin Kholid, dari istrinya, beberapa istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ تِسْعَ ذِى الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya[13], …”[14]
Di antara sahabat yang mempraktekkan puasa selama sembilan hari awal Dzulhijah adalah Ibnu ‘Umar. Ulama lain seperti Al Hasan Al Bashri, Ibnu Sirin dan Qotadah juga menyebutkan keutamaan berpuasa pada hari-hari tersebut. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas ulama. [15]
Namun ada sebuah riwayat dari ‘Aisyah yang menyebutkan,
مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَائِمًا فِى الْعَشْرِ قَطُّ
“Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada sepuluh hari bulan Dzulhijah sama sekali.”[16] Mengenai riwayat ini, para ulama memiliki beberapa penjelasan.
Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan puasa ketika itu –padahal beliau suka melakukannya- karena khawatir umatnya menganggap puasa tersebut wajib.[17]
Imam Ahmad bin Hambal menjelaskan bahwa ada riwayat yang menyebutkan hal yang berbeda dengan riwayat ‘Aisyah di atas. Lantas beliau menyebutkan riwayat Hafshoh yang mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan puasa pada sembilan hari awal Dzulhijah. Sebagian ulama menjelaskan bahwa jika ada pertentangan antara perkataan ‘Aisyah yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berpuasa sembilan hari Dzulhijah dan perkataan Hafshoh yang menyatakan bahwa beliau malah tidak pernah meninggalkan puasa sembilan hari Dzulhijah, maka yang dimenangkan adalah perkataan yang menetapkan adanya puasa sembilan hari Dzulhijah.
Namun dalam penjelasan lainnya, Imam Ahmad menjelaskan bahwa maksud riwayat ‘Aisyah adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa penuh selama sepuluh hari Dzulhijah. Sedangkan maksud riwayat Hafshoh adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa di mayoritas hari yang ada. Jadi, hendaklah berpuasa di sebagian hari dan berbuka di sebagian hari lainnya.[18]
Kesimpulan: Boleh berpuasa penuh selama sembilan hari bulan Dzulhijah (dari tanggal 1 sampai 9 Dzulhijah) atau berpuasa pada sebagian harinya.
Catatan: Kadang dalam hadits disebutkan berpuasa pada sepuluh hari awal Dzulhijah. Yang dimaksudkan adalah mayoritas dari sepuluh hari awal Dzulhijah, hari Idul Adha tidak termasuk di dalamnya dan tidak diperbolehkan berpuasa pada hari ‘Ied.[19]
Keutamaan Hari Arofah
Di antara keutamaan hari Arofah (9 Dzulhijah) disebutkan dalam hadits berikut,
مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِى بِهِمُ الْمَلاَئِكَةَ فَيَقُولُ مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ
“Di antara hari yang Allah banyak membebaskan seseorang dari neraka adalah di hari Arofah (yaitu untuk orang yang berada di Arofah). Dia akan mendekati mereka lalu akan menampakkan keutamaan mereka pada para malaikat. Kemudian Allah berfirman: Apa yang diinginkan oleh mereka?”[20]
Itulah keutamaan orang yang berhaji. Saudara-saudara kita yang sedang wukuf di Arofah saat ini telah rela meninggalkan sanak keluarga, negeri, telah pula menghabiskan hartanya, dan badan-badan mereka pun dalam keadaan letih. Yang mereka inginkan hanyalah ampunan, ridho, kedekatan dan perjumpaan dengan Rabbnya. Cita-cita mereka yang berada di Arofah inilah yang akan mereka peroleh. Derajat mereka pun akan tergantung dari niat mereka masing-masing.[21]
Keutamaan yang lainnya, hari arofah adalah waktu mustajabnya do’a. Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ
“Sebaik-baik do’a adalah do’a pada hari Arofah.”[22] Maksudnya, inilah doa yang paling cepat dipenuhi atau terkabulkan.[23] Jadi hendaklah kaum muslimin memanfaatkan waktu ini untuk banyak berdoa pada Allah. Do’a pada hari Arofah adalah do’a yang mustajab karena dilakukan pada waktu yang utama.
Jangan Tinggalkan Puasa Arofah
Bagi orang yang tidak berhaji dianjurkan untuk menunaikan puasa Arofah yaitu pada tanggal 9 Dzulhijah. Hal ini berdasarkan hadits Abu Qotadah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ
“Puasa Arofah dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang. Puasa Asyuro (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu.”[24] Hadits ini menunjukkan bahwa puasa Arofah lebih utama daripada puasa ‘Asyuro. Di antara alasannya, Puasa Asyuro berasal dari Nabi Musa, sedangkan puasa Arofah berasal dari Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.[25] Keutamaan puasa Arofah adalah akan menghapuskan dosa selama dua tahun dan dosa yang dimaksudkan di sini adalah dosa-dosa kecil. Atau bisa pula yang dimaksudkan di sini adalah diringankannya dosa besar atau ditinggikannya derajat.[26]
Sedangkan untuk orang yang berhaji tidak dianjurkan melaksanakan puasa Arofah.
Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- أَفْطَرَ بِعَرَفَةَ وَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ أُمُّ الْفَضْلِ بِلَبَنٍ فَشَرِبَ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa ketika di Arofah. Ketika itu beliau disuguhkan minuman susu, beliau pun meminumnya.”[27]
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar bahwa beliau ditanya mengenai puasa hari Arofah di Arofah. Beliau mengatakan,
حَجَجْتُ مَعَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَلَمْ يَصُمْهُ وَمَعَ أَبِى بَكْرٍ فَلَمْ يَصُمْهُ وَمَعَ عُمَرَ فَلَمْ يَصُمْهُ وَمَعَ عُثْمَانَ فَلَمْ يَصُمْهُ. وَأَنَا لاَ أَصُومُهُ وَلاَ آمُرُ بِهِ وَلاَ أَنْهَى عَنْهُ
“Aku pernah berhaji bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau tidak menunaikan puasa pada hari Arofah. Aku pun pernah berhaji bersama Abu Bakr, beliau pun tidak berpuasa ketika itu. Begitu pula dengan ‘Utsman, beliau tidak berpuasa ketika itu. Aku pun tidak mengerjakan puasa Arofah ketika itu. Aku pun tidak memerintahkan orang lain untuk melakukannya. Aku pun tidak melarang jika ada yang melakukannya.”[28]
Dari sini, yang lebih utama bagi orang yang sedang berhaji adalah tidak berpuasa ketika hari Arofah di Arofah dalam rangka meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Khulafa’ur Rosyidin (Abu Bakr, ‘Umar dan ‘Utsman), juga agar lebih menguatkan diri dalam berdo’a dan berdzikir ketika wukuf di Arofah. Inilah pendapat mayoritas ulama.[29]
Puasa Hari Tarwiyah (8 Dzulhijah)
Ada riwayat yang menyebutkan,
صَوْمُ يَوْمَ التَّرْوِيَّةِ كَفَارَةُ سَنَة
“Puasa pada hari tarwiyah (8 Dzulhijah) akan mengampuni dosa setahun yang lalu.”
Ibnul Jauzi mengatakan bahwa hadits ini tidak shahih.[30] Asy Syaukani mengatakan bahwa hadits ini tidak shahih dan dalam riwayatnya ada perowi yang pendusta.[31] Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini dho’if (lemah).[32]
Oleh karena itu, tidak perlu berniat khusus untuk berpuasa pada tanggal 8 Dzulhijjah karena hadisnya dha’if (lemah). Namun jika berpuasa karena mengamalkan keumuman hadits shahih yang menjelaskan keutamaan berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, maka itu diperbolehkan. Wallahu a’lam.
Siapakah yang Harus Diikuti dalam Puasa Arofah?
Permasalahan ini sering muncul dari berbagai pihak ketika menghadapi hari Arofah. Ketika para jama’ah haji sudah wukuf tanggal 9 Dzulhijah di Saudi Arabia, padahal di Indonesia masih tanggal 8 Dzulhijah, mana yang harus diikuti dalam puasa Arofah? Apakah ikut waktu jama’ah haji wukuf atau ikut penanggalan Hijriyah di negeri ini sehingga puasa Arofah tidak berpapasan dengan wukuf di Arofah?
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin mendapat pertanyaan sebagai berikut,
إذا اختلف يوم عرفة نتيجة لاختلاف المناطق المختلفة في مطالع الهلال فهل نصوم تبع رؤية البلد التي نحن فيها أم نصوم تبع رؤية الحرمين؟
“Jika terdapat perbedaan tentang penetapan hari Arofah disebabkan perbedaan mathla’ (tempat terbit bulan) hilal karena pengaruh perbedaan daerah. Apakah kami berpuasa mengikuti ru’yah negeri yang kami tinggali ataukah mengikuti ru’yah Haromain (dua tanah suci)?”
Syaikh rahimahullah menjawab,
هذا يبنى على اختلاف أهل العلم: هل الهلال واحدفي الدنيا كلها أم هو يختلف باختلاف المطالع؟ والصواب أنه يختلف باختلاف المطالع، فمثلاً إذا كان الهلال قد رؤي بمكة، وكان هذا اليوم هو اليوم التاسع، ورؤي في بلد آخر قبل مكة بيوم وكان يوم عرفة عندهم اليوم العاشر فإنه لا يجوز لهم أن يصوموا هذا اليوم لأنه يوم عيد، وكذلك لو قدر أنه تأخرت الرؤية عن مكة وكان اليوم التاسع في مكة هو الثامن عندهم، فإنهم يصومون يوم التاسع عندهم الموافق ليوم العاشر في مكة، هذا هو القول الراجح، لأن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يقول: «إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا» وهؤلاء الذين لم يُر في جهتهم لم يكونوا يرونه، وكما أن الناس بالإجماع يعتبرون طلوع الفجر وغروب الشمس في كل منطقة بحسبها، فكذلك التوقيت الشهري يكون كالتوقيت اليومي.
“Permasalahan ini adalah derivat dari perselisihan ulama apakah hilal untuk seluruh dunia itu satu ataukah berbeda-beda mengikuti perbedaan daerah. Pendapat yang benar, hilal itu berbeda-beda mengikuti perbedaan daerah.
Misalnya di Mekkah terlihat hilal sehingga hari ini adalah tanggal 9 Dzulhijjah. Sedangkan di negara lain, hilal Dzulhijjah telah terlihat sehari sebelum ru’yah Mekkah sehingga tanggal 9 Dzulhijjah di Mekkah adalah tanggal 10 Dzulhijjah di negara tersebut. Tidak boleh bagi penduduk Negara tersebut untuk berpuasa Arofah pada hari ini karena hari ini adalah hari Iedul Adha di negara mereka.
Demikian pula, jika kemunculan hilal Dzulhijjah di negara itu selang satu hari setelah ru’yah di Mekkah sehingga tanggal 9 Dzulhijjah di Mekkah itu baru tanggal 8 Dzulhijjah di negara tersebut. Penduduk negara tersebut berpuasa Arofah pada tanggal 9 Dzulhijjah menurut mereka meski hari tersebut bertepatan dengan tanggal 10 Dzulhijjah di Mekkah.
Inilah pendapat yang paling kuat dalam masalah ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian melihat hilal Ramadhan hendaklah kalian berpuasa dan jika kalian melihat hilal Syawal hendaknya kalian berhari raya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Orang-orang yang di daerah mereka hilal tidak terlihat maka mereka tidak termasuk orang yang melihatnya.
Sebagaimana manusia bersepakat bahwa terbitnya fajar serta tenggelamnya matahari itu mengikuti daerahnya masing-masing, demikian pula penetapan bulan itu sebagaimana penetapan waktu harian (yaitu mengikuti daerahnya masing-masing).” [33] –Demikian penjelasan dari Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah-. Namun kami menghargai pendapat yang berbeda dengan penjelasan Syaikh di atas. Hendaklah kita bisa menghargai pendapat ulama yang masih ada ruang ijtihad di dalamnya.
Demikian pembahasan kami mengenai amalan di awal Dzulhijah dan puasa Arofah. Semoga Allah memudahkan kita beramal sholih dengan ikhlas dan sesuai dengan petunjuk Nabi-Nya.
***
Diselesaikan di Panggang, Gunung Kidul, 27 Dzulqo’dah 1430 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
Footnote:
[1] HR. Abu Daud no. 2438, At Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no. 1727, dan Ahmad no. 1968, dari Ibnu ‘Abbas. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim.
[2] Lihat Taisir Karimir Rahman, ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, hal. 923, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1420 H.
[3] Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, 6/153, Mawqi’ At Tafasir.
[4] Lihat Tafsir Juz ‘Amma, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, hal. 159, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan tahun 1424 H.
[5] Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 469, Al Maktab Al Islamiy, cetakan pertama, tahun 1428 H.
[6] HR. Abu Daud no. 2438, At Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no. 1727, dan Ahmad no. 1968, dari Ibnu ‘Abbas. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim.
[7] Latho-if Al Ma’arif, hal. 456.
[8] Lihat Latho-if Al Ma’arif, hal. 457 dan 461.
[9] Idem
[10] Latho-if Al Ma’arif, hal. 458.
[11] Idem
[12] Lihat Tajridul Ittiba’, Syaikh Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhailiy, hal. 116, 119-121, Dar Al Imam Ahmad.
[13] Yang jadi patokan di sini adalah bulan Hijriyah, bukan bulan Masehi.
[14] HR. Abu Daud no. 2437. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[15] Latho-if Al Ma’arif, hal. 459.
[16] HR. Muslim no. 1176, dari ‘Aisyah
[17] Fathul Bari, 3/390, Mawqi’ Al Islam
[18] Latho-if Al Ma’arif, hal. 459-460.
[19] Lihat Fathul Bari, 3/390 dan Latho-if Al Ma’arif, hal. 460.
[20] HR. Muslim no. 1348, dari ‘Aisyah.
[21] Lihat Mirqotul Mafatih Syarh Misykatul Mashobih, Al Mala ‘Alal Qori, 9/65,Mawqi’ Al Misykah Al Islamiyah.
[22] HR. Tirmidzi no. 3585. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[23] Lihat Tuhfatul Ahwadziy, Muhammad ‘Abdurrahman bin ‘Abdurrahim Al Mubarakfuri Abul ‘Ala, 8/482, Mawqi’ Al Islam.
[24] HR. Muslim no. 1162, dari Abu Qotadah.
[25] Lihat Fathul Bari, 6/286.
[26] Lihat Syarh Muslim, An Nawawi, 4/179, Mawqi’ Al Islam.
[27] HR. Tirmidzi no. 750. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits tersebut hasan shohih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih
[28] HR. Tirmidzi no. 751. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.
[29] Lihat Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik, 2/137, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[30] Lihat Al Mawdhu’at, 2/565, dinukil dari http://dorar.net
[31] Lihat Al Fawa-id Al Majmu’ah, hal. 96, dinukil dari http://dorar.net
[32] Lihat Irwa’ul Gholil no. 956.
[33] Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, 20/47-48, Darul Wathon – Darul Tsaroya, cetakan terakhir, tahun 1413 H.

http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/amalan-sholih-di-awal-dzulhijah-dan-puasa-arofah.html

Klik disini untuk melanjutkan »»

4 Agu 2011

Empat Orang yang Dilaknat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam

. 4 Agu 2011
3 komentar

Empat Orang yang Dilaknat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam


Oleh Syaikh Ali bin Hasan al Halabi al Atsari – hafizhahullah-
Naskah ini diangkat berdasarkan khutbah Jum’at Syaikh Ali bin Hasan al Halabi al Atsari – hafizhahullah- di Masjid al Akbar Surabaya, 18 Muharram 1427H bertepatan 17 Februari 2006. Narasi khutbah tersebut diterjemahkan oleh Abdurrahman Thayyib, kemudian kami tulis kembali dalam bentuk naskah, dengan penyesuaian seperlunya, tanpa mengurangi substansi materi. Judul di atas adalah dari Redaksi. Semoga bermanfaat. (Redaksi).
_________________________________________________________

Dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَعَنَ اللهُ مَن ذَبَحَ لِغَيرِ اللهِ, و لَعَنَ اللهُ مَن سَبَّ وَالِدَيهِ, و لَعَنَ اللهُ مَن غَيَّرَ مَنَارَ الأَرضِ,
لَعََنَ اللهُ مَن آوَى مُحدِثَا
Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah. Allah melaknat orang yang mencaci-maki kedua orang- tuanya. Allah melaknat orang yang merubah tanda batas tanah (orang lain), dan Allah melaknat orang yang melindungi orang yang mengada-adakan perkara baru dalam agama (bid’ah).
TAKHRIJ HADITS
- HR Bukhari di Adabul Mufrad, bab (8) man la’ana Allah man la’ana walidaih, no. 17.
- Muslim, dalam Shahih Muslim, kitab al adhahi, no. 3657, 3658, 3659.
- An Nasa-i, dalam as Sunan, kitab adh dhahaya, no. 4346, dan
- Ahmad di berbagai tempat dalam Musnad-nya.[1]
SYARAH HADITS
Di antara nikmat Allah yang terbesar dan anugerahNya yang paling agung, yaitu dijadikannya kita sebagai kaum Muslimin dan kaum Mukminin yang hanya beribadah kepadaNya, dan yang hanya mengikuti NabiNya Shallallahu ‘alaihi was sallam, serta menjadi pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan. Islam adalah agama yang mulia, tegak di atas al Qur`an dan Sunnah.
Allah berfirman dalam al Qur`an :
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ
Dan Kami turunkan kepadamu al Qur`an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka. [an Nahl : 44].
Al Qur`an adalah dzikr, dan Sunnah adalah dzikr, sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Ketahuilah, bahwa aku telah diberi al Qur`an dan yang semisal dengannya”.
Al Qur`an adalah Kalamullah yang diwahyukan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan mukjizat, dan membacanya terhitung sebagai suatu ibadah. Demikian pula Sunnah (hadits) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti yang telah Dia firmankan :
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى , إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى .
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al Qur`an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). [an Najm : 3-4].
Dan sebagaimana yang telah diriwayatkan dari Amru bin ‘Ash Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya dia pernah datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil bertanya : “Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya, Anda terkadang berkata dalam keadaan marah dan terkadang dalam keadaan ridha. Apakah boleh kita menulis semua yang Anda katakan?” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Tulis semuanya, demi Dzat yang jiwaku ada di tanganNya, tidaklah yang keluar dariku melainkan haq (benar),” sambil menunjuk ke arah mulut beliau yang suci.
Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tafsir bagi ayat-ayat yang global dalam al Qur`an dan pengkhusus bagi ayat-ayat yang umum, serta pengikat bagi ayat-ayat yang mutlak, dan dia adalah wahyu Allah Ta’ala. Di antara wahyu tersebut adalah diberinya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jawaami’ul kalim, sebagaimana yang disebutkan dalam Shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim, Pent), beliau bersabda : “Aku diutus dengan jawaami’ul kalim”. Arti jawaami’ul kalim adalah ucapan singkat, tetapi padat maknanya.
Di antara jawaami’ul kalim tersebut adalah hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan pembahasan kita sekarang yang tercantum dalam Shahih Muslim, dari seorang sahabat yang mulia dan seorang khalifah yang mendapat petunjuk, yaitu Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَعَنَ اللهُ مَن ذَبَحَ لِغَيرِ اللهِ, و لَعَنَ اللهُ مَن سَبَّ وَالِدَيهِ, و لَعَنَ اللهُ مَن غَيَّرَ مَنَارَ الأَرضِ, لَعََنَ اللهُ مَن آوَى مُحدِثَا و
Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah. Allah melaknat orang yang mencaci-maki kedua orang- tuanya. Allah melaknat orang yang merubah tanda batas tanah (orang lain), dan Allah melaknat orang yang melindungi orang yang mengada-adakan perkara baru dalam agama (bid’ah).
Hadits ini amat singkat, namun mengandung banyak perkara yang berharga, karena menjelaskan hak-hak yang agung, yang menjadi landasan sosial masyarakat muslim. Jika kaum Muslimin telah mundur ke belakang, maka dengan mewujudkan hak-hak ini, mereka akan kembali menjadi umat yang maju di tengah umat-umat yang lain.
Di dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang hak ibadah, hak sunnah, hak nafs (jiwa), dan hak orang lain. Jika kita mau merenungi keempat hak-hak di atas, maka kita akan mendapatkan hal tersebut telah mencakup semua hak muslim, baik yang berkaitan dengan dirinya, orang lain, dan yang berkaitan dengan Rabb-nya serta NabiNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hak ibadah adalah tauhid yang dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau “Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah”. Bagaimana dia bisa mengarahkan sembelihan kepada selain Allah? Sedangkan tindakan tersebut termasuk ibadah. Dan ibadah adalah sebuah nama yang mencakup hal-hal yang dicintai dan diridhai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik yang berupa perkataan maupun perbuatan, yang lahir maupun yang batin, sebagaimana yang telah Allah Azza wa Jalla firmankan :
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ(162)لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku (sesembelihanku), hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku, dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”. [al An'am : 162-163].
Menjaga hak tauhid dan ibadah, adalah kewajiban yang harus ditanamkan di dalam hati dan akal pikiran, lalu diwujudkan dalam amal perbuatan dengan penuh keyakinan, tanpa ada sedikit pun keraguan. Bagaimana tidak demikian, sedangkan kita tidaklah diciptakan, melainkan hanya untuk beribadah kepadaNya saja, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ (56) مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ (57) إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembahKu. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka, dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah, Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh. [adz Dzariyaat : 56-58].
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mengajarkan kepada sahabat-sahabat beliau yang masih kecil, apalagi kepada yang dewasa tentang hak ibadah ini agar ditanamkan dalam hati, dan tumbuh di dalam akal pikiran serta anggota badan.
Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu –sepupu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya : “Wahai, anak kecil. Aku ingin mengajarkan kepadamu beberapa perkara. (Yaitu) jagalah Allah, maka pasti Allah menjagamu. Jagalah Allah, pasti engkau akan mendapatiNya di hadapanmu. Jika engkau meminta, maka mintalah kepada Allah. Dan jika engkau memohon pertolongan, mintalah kepada Allah”.
Maka, tidak ada yang berhak diibadahi melainkan Allah. Tidak ada yang berhak dimintai pertolongan melainkan Allah. Tidak ada yang berhak dijadikan sumpah melainkan Allah. Dan tidak ada yang berhak diistighasahi, melainkan Allah. Tidak ada yang berhak diserahi sesembelihan dan nadzar, melainkan Allah. Tidak boleh bernadzar kepada Nabi, wali maupun siapa saja, meskipun tinggi kedudukannya. Dengan ini, (seorang muslim) bisa menjaga hak ibadah dan tauhidnya.
Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Allah melaknat orang yang melindungi muhditsan”.
Al muhdits, adalah orang yang mengada-adakan hal baru dalam agama (bid’ah) dan yang merubah Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam hal ini, terdapat pemeliharaan terhadap hak Sunnah dan ittiba’ (mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Ketika kita mengikrarkan kalimat tauhid Laa ilaha illallah Muhammaddur Rasulullah. Maka, ucapan ini mengandung hak-hak, kewajiban-kewajiban serta konsekuensi-konsekuensi. Dan kalimat tersebut, bukan hanya sekedar huruf-huruf yang digandeng, atau ucapan yang terlepas begitu saja dari lisan. Tetapi, dengan kalimat inilah berdiri langit dan bumi. Tidak diciptakan manusia, melainkan untuk mewujudkan kandungan kalimat tersebut. Dan tidaklah diturunkan kitab-kitab Allah serta diutus para rasul, melainkan karenanya.
Kalimat Laa ilaha illallahu, maknanya tidak ada yang berhak disembah dengan benar, kecuali Allah. Dan kalimat Muhammadur Rasulullah, maknanya tidak ada yang berhak diikuti, melainkan Rasulullah. Sebaik-baiknya perkara adalah apa yang disunnahkannya. Dan sejelek-jeleknya perkara adalah apa yang beliau tinggalkan (bid’ah, Pent). Tidaklah beliau meninggal dunia, melainkan beliau telah menjelaskan segala kebaikan kepada kita dan melarang dari segala kejelekan.
Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dalam Shahih-nya dari sahabat Abu Dzar al Ghifari Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya dia berkata : “Tidaklah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia, melainkan telah dijelaskan semuanya kepada kita, sampai-sampai burung yang terbang di udara telah beliau jelaskan kepada kita ilmunya”.
Dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang hak Sunnah yaitu hak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada yang berhak diikuti, melainkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliaulah suri tauladan yang baik dan yang sempurna bagi kita; bagaimana tidak, sedangkan Allah telah berfirman tentang beliau :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah. [al Ahzab : 21].
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan, bahwa satu-satunya jalan petunjuk, yang seorang hamba selalu memohonnya lebih dari sepuluh kali sehari semalam di kala shalat fardhu, sunnah maupun nafilah, yaitu اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (Tunjukilah kami jalan yang lurus), adalah dengan mengikuti sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada jalan yang lurus melainkan dengan mengikuti Sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang telah Allah firmankan وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا (Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. –an Nuur : 54). Apabila kalian mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka kalian akan mendapat hidayah yang selalu kalian minta kepada Rabb kalian dikala siang dan petang hari. Inilah hak Allah, dan inilah hak RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta hak agamaNya. Maka apakah kita telah menjalankan semua hak-hak ini?
Di bagian yang lain dari hadits ini terdapat peringatan adanya dua kewajiban lain.
Yang pertama, yang merupakan urutan kedua dari hadits di atas, yaitu sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Allah melaknat orang yang mencela kedua orang tuanya”. Ini adalah kewajibanmu dan anda mesti menjadi pemeliharanya dengan baik. Yaitu engkau berbakti kepada keduanya, mendoakan mereka dan menjaga hak-hak mereka, tidak meremehkannya serta tidak menjadi penyebab engkau mencaci kedua orang tuamu.
Hak kedua orang tua, terkadang bisa secara langsung disia-siakan oleh anak yang durhaka, yaitu dengan mencaci-maki ayah atau ibunya karena mencari ridha sang istri, hawa nafsu maupun setannya. Dan sangat disesalkan, hal ini terjadi (di tengah masyarakat kita, Pent).
Adapun yang kedua, secara tidak langsung, yaitu engkau berbuat sesuatu yang menyebabkan orang lain mencaci-maki kedua orang tuamu. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Termasuk dosa besar adalah seseorang mencaci-maki kedua orang tuanya,” para sahabat bertanya,”Bagaimana seseorang bisa mencaci-maki kedua orang tuanya?” maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Dia mencaci-maki ayah orang lain, lalu orang lain itu mencaci maki kembali orang tuanya”. Dan ini (termasuk) di antara arah tujuan syariat, yaitu menutup segala pintu (kejelekan) serta membendung kerusakan. Engkau tidak boleh berbuat suatu yang mengakibatkan kerusakan yang besar di kemudian hari. Tetapi amat disayangkan, perkara ini secara global banyak disepelekan oleh sebagian kaum Muslimin, bahkan oleh Islamiyyin (orang-orang yang bersemangat membela Islam tanpa bekal ilmu yang benar, Pent). Kita melihat, mereka bersemangat dalam banyak perkara dan banyak berbuat sesuatu, dan mereka mengira hal tersebut sebagai suatu bentuk hidayah dan kebenaran, namun hakikatnya tidak seperti itu [2]. Mereka melakukan dengan semangat membara, yang mengakibatkan umat Islam menjadi santapan lezat bagi umat-umat yang lain, dan menjadikan orang-orang kafir menguasai kaum Muslimin dan merampas harta kekayaan mereka.
Ini termasuk menutup segala pintu kejelekan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika melarang kita mencaci-maki orang tua, sebuah tindakan yang termasuk dosa, maka bagaimana jika kita melakukannya lebih dari itu? Yaitu mencaci-maki orang tua orang lain, lalu orang tersebut mencaci-maki kedua orang tua kita? Ini termasuk dosa besar. Jika kita melaksanakan ketaatan kepada mereka maka ini termasuk menjaga hak jiwa pribadi (nafs) . Adapun meremehkan dan menyia-nyiakan mereka, maka akibat buruknya akan menimpa dirinya sendiri. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : [وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا] Artinya : “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (Al-Isra’ : 23).
Di dalam ayat ini Allah menyatukan antara ketaatan kepada kedua orang tua dengan ibadah hanya kepada-Nya saja, karena didalamnya terdapat unsur pemeliharaan terhadap hak jiwa sendiri, ayah dan anak.
Adapun hak yang terakhir yang disebutkan dalam hadits ini adalah yang berkaitan dengan hak orang lain. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dalam hadits ini empat hak yaitu : (1). Hak Allah (2). Hak Nabi (3). Hak nafs (4). Hak orang lain. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Allah melaknat orang yang merubah tanda batas tanah orang lain” maksudnya dia melanggar hak (tanah) orang lain baik itu tetangganya, kerabat, saudaranya ataupun orang yang jauh darinya. Barangsiapa yang melanggar hak orang lain meski kelihatannya sepele, niscaya akan terkena ancaman dalam hadits ini. Jika melanggar hak tanah orang lain saja yang berkaitan dengan masalah dunia mengakibatkan terlaknat, maka bagaimana kalau pelanggaran tersebut berkaitan dengan hak yang lebih besar dari itu seperti melanggar kehormatan atau kemuliaan orang lain dengan menggunjingnya, mengadu domba, berdusta atas namanya ?
Renungilah sabda Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam : [إِنَّ أربَى الرِبَا استِطَالَة الرَجُلِ فِي عِرضِ أَخِيهِ المُسلِم] Artinya : “Dosa riba yang paling besar adalah seseorang melanggar kehormatan saudaranya muslim” yaitu dengan menggunjingnya, berdusta atas namanya, berburuk sangka kepadanya atau dengan mengadu domba antara dia dengan orang lain. Semua ini terlarang dan merupakan sebab perampasan hak orang lain dan termasuk dosa besar.
Jika kita mengetahui sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Satu dirham (hasil) riba yang dimakan oleh seseorang yang tahu (hukum-nya-pent) lebih besar dosanya di sisi Allah dari pada 36 kedustaan” Apabila ini tingkat paling rendah akibat harta riba, maka bagaimana dengan riba yang paling besar ? Ini semua dalam rangka menjaga hak-hak orang lain baik kerabat maupun orang yang jauh. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berpesan kepada Mu’adz bin Jabal, beliau bersabda : “Dan pergauli manusia dengan akhlak yang baik”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan (pergaulilah) orang-orang mukmin atau muslimin atau yang berpuasa saja atau orang-orang shalih atau shadiqin saja, tapi beliau malah mengatakan (pergaulilah manusia) maksudnya semua manusia baik dia mukmin atau kafir, shaleh atau tholeh. Karena dengan akhlakmu disertai pemeliharaan terhadap hakmu dan hak orang lain, engkau dapat mengambil hati mereka sehingga engkau bisa menyerunya (kepada kebenaran).
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun VI/1423H/2002M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
Sumber: almanhaj.or.id dan dipublikasikan oleh www.salafiyunpad.wordpress.com
_______
Footnote
[1]. Takhrij ini merupakan tambahan dari Redaksi
[2]. Hal ini seperti yang dilakukan oleh harokiyyin yang selalu semangat dalam mengobarkan api jihad melawan orang-orang kafir dengan melakukan peledakan-peledakan atau pembantaian warga sipil. Mereka kira, dengan semua itu dapat memuliakan Islam dan kaum Muslimin, padahal jika mereka mau merenungi kembali, justru mereka telah menyebabkan kaum Muslimin semakin ditindas dan mencoreng nama Islam. Sungguh benar yang Allah firmankan tentang mereka ini :
[قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا(103)الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?" Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya”. -al Kahfi : 103-104. (Redaksi)
[3]. Kemudian khutbah ini beliau tutup dengan doa. (Redaksi).

Klik disini untuk melanjutkan »»

Mengkritisi Keabsahan Hadits-hadits Kitab Ihya’ Ulumiddin

.
1 komentar

Mengkritisi Keabsahan Hadits-hadits Kitab Ihya’ Ulumiddin


 

Oleh Ustadz Abdullah Taslim, Lc., M.A. (Lulusan S2 Jurusan Hadits, Universitas Islam Madinah, Saudi Arabia)
بسم الله الرحمن الرحيم
Kiranya tidak berlebihan kalau kita mengatakan bahwa kitab Ihya’ Ulumiddin adalah termasuk kitab berbahasa Arab yang paling populer di kalangan kaum muslimin di Indonesia, bahkan di seluruh dunia.
Kitab ini dianggap sebagai rujukan utama, sehingga seorang yang telah menamatkan pelajaran kitab ini dianggap telah mencapai kedudukan yang tinggi dalam pemahaman agama Islam.
Padahal, kiranya juga tidak berlebihan kalau kita katakan bahwa kitab ini termasuk kitab yang paling keras diperingatkan oleh para ulama untuk dijauhi, bahkan di antara mereka ada yang merekomendasikan agar kitab ini dimusnahkan! (Lihat kitab Siyaru A’laamin Nubala’, 19/327 dan 19/495-496).

Betapa tidak, kitab ini berisi banyak penyimpangan dan kesesatan besar, sehingga orang yang membacanya apalagi mendalaminya tidak akan aman dari kemungkinan terpengaruh dengan kesesatan tersebut, terlebih lagi kesesatan-kesesatan tersebut dibungkus dengan label agama.
Di antara kesesatan besar yang dikandung buku ini adalah pembenaran ideologi (keyakinan) wihdatul wujud (bersatunya wujud Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan wujud makhluk), yaitu keyakinan bahwa semua yang ada pada hakikatnya adalah satu dan segala sesuatu yang kita lihat di alam semesta ini tidak lain merupakan perwujudan/ penampakan Zat Ilahi (Allah Subhanahu wa Ta’ala) – Mahasuci Allah Subhanahu wa Ta’ala dari segala keyakinan rusak ini –.
Keyakinan sangat menyimpang bahkan kafir ini dibenarkan secara terang-terangan oleh penulis kitab ini di beberapa tempat dalam kitab ini, misalnya pada jilid ke-4 halaman 86 dan halaman 245-246 (cet. Darul Ma’rifah, Beirut).
Cukuplah pernyataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berikut ini menggambarkan besarnya penyimpangan dan kesesatan yang terdapat dalam kitab ini, “Kitab ini berisi pembahasan-pembahasan yang tercela, (yaitu) pembahasan yang rusak (menyimpang dari Islam) dari para ahli filsafat yang berkaitan dengan tauhid (pengesaaan Allah Subhanahu wa Ta’ala), kenabian dan hari kebangkitan. Maka, ketika penulisnya menyebutkan pemahaman orang-orang ahli Tasawwuf (yang sesat) keadaannya seperti seorang yang mengundang seorang musuh bagi kaum muslimin tetapi (disamarkan dengan) memakaikan padanya pakaian kaum muslimin (untuk merusak agama mereka secara terselubung). Sungguh para imam (ulama besar) Islam telah mengingkari (kesesatan dan penyimpangan) yang ditulis oleh Abu Hamid al-Gazali dalam kitab-kitabnya” (Kitab Majmu’ul Fataawa, 10/551-552).
Oleh karena itu, Imam Adz-Dzahabi menukil ucapan Imam Muhammad bin al-Walid Ath-Thurthuusyi yang mengatakan bahwa kitab Ihya’ Ulumiddin (artinya: menghidupkan ilmu-ilmu agama) lebih tepat jika dinamakan Imaatatu ‘uluumid diin (mematikan/merusak ilmu-ilmu agama).
Di samping itu, kitab ini juga memuat banyak hadits lemah bahkan palsu, yang tentu saja tidak boleh dinisbatkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan banyak di antaranya yang sangat bertentangan dengan prinsip dasar agama Islam.
Hal ini tidaklah mengherankan, karena sang penulis adalah seorang yang kurang pengetahuannya terhadap hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, khususnya dalam membedakan hadits yang shahih dan hadits yang lemah, sebagaimana pernyataan sang penulis sendiri, “Aku memiliki barang dagangan (pengetahuan) yang sedikit tentang hadits (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam)” (Dinukil oleh Imam Ibnu Katsir dalam kitab Al-Bidaayah wan Nihaayah, 12/174).
Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas semua kesesatan tersebut, tetapi saya akan membahas dan menilai keabsahan hadits-hadits yang dimuat dalam kitab ini, berdasarkan keterangan para ulama ahlus sunnah yang terlebih dahulu meneliti dan mengkritisi kitab ini.
Kritikan para ulama Ahlus Sunnah terhadap hadits-hadits dalam kitab ini
1- Imam Abul Faraj Ibnul Jauzi berkata (dalam kitab beliau Minhaajul Qaashidiin, sebagaimana yang dinukil dalam Majalah Al-Bayaan, edisi 48 hal. 81), “Ketahuilah, bahwa kitab Ihya’ Ulumiddin di dalamnya terdapat banyak kerusakan (penyimpangan) yang tidak diketahui kecuali oleh para ulama. Penyimpangannya yang paling ringan (dibandingkan penyimpangan-penyimpangan besar lainnya) adalah hadits-hadits palsu dan batil (yang termaktub di dalamnya), juga hadits-hadits mauquf (ucapan shahabat atau tabi’in) yang dijadikan sebagai hadits marfu’ (ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Semua itu dinukil oleh penulisnya dari referensinya, meskipun bukan dia yang memalsukannya. Dan (sama sekali) tidak dibenarkan mendekatkan diri (kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala) dengan hadits yang palsu, serta tidak boleh tertipu dengan ucapan yang didustakan (atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).”
2- Imam Abu Bakr Muhammad bin Al-Walid Ath-Thurthuusyi berkata, “…Kemudian al-Ghazali memenuhi kitab ini dengan kedustaan atas (nama) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan aku tidak mengetahui sebuah kitab di atas permukaan hamparan bumi ini yang lebih banyak (berisi) kedustaan atas (nama) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melebihi kitab ini.” (Dinukil oleh Imam Adz-Dzahabi dalam kitab Siyaru A’laamin Nubala’, 19/495).
3- Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Dalam kitab ini terdapat hadits-hadits dan riwayat-riwayat yang lemah bahkan banyak hadits yang palsu. Juga terdapat banyak kebatilan dan kebohongan orang-orang ahli Tasawwuf.” (Kitab Majmu’ul Fataawa, 10/552).
4- Imam Adz-Dzahabi berkata, “Adapun kitab Ihya’ Ulumiddin, maka di dalamnya terdapat sejumlah (besar) hadits-hadits yang batil (palsu).” (Kitab Siyaru A’laamin Nubala’, 19/339).
5- Imam Ibnu Katsir berkata, “…Akan tetapi di dalam kitab ini banyak terdapat hadits-hadits yang asing, mungkar dan palsu.” (Kitab Al-Bidaayah wan Nihaayah, 12/174).
6- Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani berkata, “Betapa banyak kitab Ihya’ Ulumiddin memuat hadits-hadits (palsu) yang oleh penulisnya dipastikan penisbatannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal Imam Al-Iraqi dan para ulama lainnya menegaskan bahwa hadits-hadits tersebut tidak ada asalnya (hadist palsu).” (Kitab Silsilatul Ahaadiitsidh Sha’iifah wal Maudhuu’ah, 1/60).
7- Bahkan, Imam As-Subki mengumpulkan hadits-hadits dalam kitab Ihya’ Ulumiddin yang tidak ada asalnya (palsu), dan setelah dihitung semuanya berjumlah 923 hadits (lihat kitab Thabaqaatusy Syaafi’iyyatil Kubra, 6/287).
Beberapa contoh hadits palsu dan lemah yang dimuat dalam kitab ini
1. Hadits, “Percakapan dalam masjid akan memakan/ menghapus (pahala) kebaikan seperti binatang ternak yang memakan rumput.” (Kitab Ihya’ ‘Ulumiddin, 1/152, cet. Darul Ma’rifah, Beirut).
Hadits ini dihukumi oleh Imam Al-‘Iraqi, As-Subki dan Syaikh al-Albani sebagai hadits palsu yang tidak ada asalnya dalam kitab-kitab hadits (lihat kitab Silsilatul Ahaadiitsidh Dha’iifah wal Maudhuu’ah, 1/60).
2. Hadits, “Taufik yang sedikit lebih baik dari ilmu yang banyak.” (Kitab Ihya’ ‘Ulumiddin, 1/31).
Hadits ini juga dihukumi oleh para ulama di atas sebagai sebagai hadits palsu yang tidak ada asalnya (lihat kitab Thabaqaatusy Syaafi’iyyatil Kubra, 6/287 dan Difaa’un ‘anil Hadiitsin Nabawi, halaman 46).
3. Hadits, “Agama Islam dibangun di atas kebersihan.” (Kitab Ihya’ ‘Ulumiddin, 1/49).
Hadits ini adalah hadits yang palsu, karena dalam sanadnya ada perawi yang bernama ‘Umar bin Shubh al-Khurasani, Ibnu Hajar berkata tentangnya (dalam kitab Taqriibut Tahdziib, halaman 414), “Dia adalah perawi yang matruk (ditinggalkan riwayatnya karena sangat lemah), bahkan (Imam Ishak) bin Rahuyah mendustakannya.” (Lihat kitab Silsilatul Ahaadiitsidh Dha’iifah wal Maudhuu’ah, no. 3264).
4. Hadits, “Sesungguhnya orang yang berilmu akan disiksa (dalam neraka) dengan siksaan yang akan membuat sempit (susah) penduduk nereka.” (Kitab Ihya’ ‘Ulumiddin, 1/60).
Hadits ini dihukumi oleh Imam As-Subki sebagai hadits yang tidak ada asalnya (lihat kitab Thabaqaatusy Syaafi’iyyatil Kubra, 6/287).
5. Hadits, “Seburuk-buruk ulama adalah yang selalu mendatangi para penguasa/ pemerintah dan sebaik-sebaik penguasa adalah yang selalu mendatangi para ulama.” (Kitab Ihya’ ‘Ulumiddin, 1/68).
Hadits ini juga dihukumi oleh Imam As-Subki sebagai hadits yang tidak ada asalnya (lihat kitab Thabaqaatusy Syaafi’iyyatil Kubra, 6/288).
6. Hadits, “Barangsiapa yang berkata, ‘Aku adalah seorang mukmin’, maka dia kafir, dan barangsiapa yang berkata, ‘Aku adalah orang yang berilmu’, maka dia adalah orang yang jahil (bodoh).” (Kitab Ihya’ ‘Ulumiddin, 1/125).
Hadits ini juga dihukumi oleh Imam As-Subki sebagai hadits yang tidak ada asalnya (lihat kitab Thabaqaatusy Syaafi’iyyatil Kubra, 6/289) dan dinyatakan lemah oleh Imam As-Sakhawi (lihat kitab Al-Maqaashidul Hasanah, halaman 663).
7. Hadits, “Seorang hamba tidak akan mendapatkan (keutamaan) dari shalatnya, kecuali apa yang dipahaminya dari shalatnya.” (Kitab Ihya’ ‘Ulumiddin, 1/159).
Hadits ini juga dihukumi oleh Imam As-Subki sebagai hadits yang tidak ada asalnya (lihat kitab Thabaqaatusy Syaafi’iyyatil Kubra, 6/289).
8. Hadits, “Sesuatu yang pertama kali Allah ciptakan adalah akal…” (Kitab Ihya’ ‘Ulumiddin, 1/83 dan 3/4).
Hadits ini dihukumi oleh Imam Adz-Dzahabi dan Syaikh al-Albani sebagai hadits yang batil dan palsu (lihat kitab Lisaanul Miizaan, 4/314 dan Takhriiju Ahaadiitsil Misykaah, no. 5064).
9. Hadits, “Barangsiapa yang mengamalkan ilmu yang telah diketahuinya, maka Allah akan mewariskan kepadanya ilmu yang belum diketahuinya.” (Kitab IIhya’ ‘Ulumiddin, 1/71, 3/13 dan 3/23).
Hadits ini dihukumi oleh Syaikh Al-Albani sebagai hadits yang palsu (kitab Silsilatul Ahaadiitsidh Dha’iifah wal Maudhuu’ah, no. 422).
10. Hadits, “Wahai manusia, pahamilah (dengan akal) dari Rabb-mu dan saling berwasiatlah dengan akal.” (Kitab Ihya’ ‘Ulumiddin, 1/202).
Hadits ini adalah hadits palsu, diriwayatkan oleh Dawud bin al-Muhabbar dalam kitab Al-Aql, yang dikatatakan oleh Ibnu Hajar, “Dia adalah perawi yang matruk (ditinggalkan riwayatnya karena sangat lemah) dan kitab Al-Aql yang ditulisnya mayoritas berisi hadits-hadits yang palsu.” (Dalam kitab Taqriibut Tahdziib, halaman 200).
11. Hadits tentang shalat ar-Ragaaib di bulan Rajab (Kitab Ihya’ ‘Ulumiddin, 1/83).
Hadits ini dihukumi sebagai hadits palsu oleh Imam Al-‘Iraqi (lihat takhrij beliau di catatan kaki kitab tersebut, 2/366, cet. Dar Asy-Syi’ab, Kairo).
Penutup
Dengan uraian ringkas tentang kitab Ihya’ ‘Ulumiddin di atas, jelaslah bagi kita kandungan buruk dan penyimpangan yang terdapat di dalamnya. Maka, seorang muslim yang menginginkan kebaikan dan keselamatan dalam agama dan imannya, hendaknya menjauhkan diri dari membaca buku-buku yang mengajarkan kesesatan seperti ini.
Alhamdulillah, kitab-kitab para ulama Ahlus Sunnah yang bersih dan selamat dari penyimpangan sangat banyak dan mencukupi untuk diambil manfaatnya.
Apakah kita tidak khawatir akan ditimpa kerusakan dalam pemahaman agama kita dengan membaca kitab seperti ini, padahal kerusakan dan kerancuan dalam memahami agama ini merupakan malapetaka terbesar yang akan berakibat kebinasaan dunia dan akhirat?
Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kerusakan agama dan iman ini, sebagaimana dalam doa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ولا تَجْعَلْ مُصيبَتَنَا في دِيْنِنا
(Ya Allah) janganlah Engkau jadikan malapetaka (kerusakan) yang menimpa kami dalam agama (keyakinan) kami.” (HR. At-Tirmidzi, no. 3502, dinyatakan hasan oleh Imam At-Tirmidzi dan Syaikh Al-Albani).
Ketahuilah, bahwa ilmu yang bermanfaat untuk memperbaiki keimanan dan meyempurnakan ketakwaan kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala hanyalah ilmu yang bersumber dari Alquran dan hadits-hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dipahami dengan pemahaman yang benar, yaitu pemahaman para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang mengikuti petunjuk mereka.
Imam Ibnu Rajab Al-Hambali berkata, “Ilmu yang bermanfaat dari semua ilmu adalah mempelajari dengan seksama dalil-dalil dari Alquran dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta (berusaha) memahami kandungan maknanya, dengan mendasari pemahaman tersebut dari penjelasan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para Tabi’in (orang-orang yang mengikuti petunjuk para sahabat), dan orang-orang yang mengikuti (petunjuk) mereka dalam memahami kandungan Alquran dan hadits. (Begitu pula) dalam (memahami penjelasan) mereka dalam masalah halal dan haram, pengertian zuhud, amalan hati (penyucian jiwa), pengenalan (tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan pembahasan-pembahasan ilmu lainnya, dengan terlebih dahulu berusaha untuk memisahkan dan memilih (riwayat-riwayat) yang shahih (benar) dan (meninggalkan riwayat-riwayat) yang tidak benar, kemudian berupaya untuk memahami dan menghayati kandungan maknanya. Semua ini sangat cukup (untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat) bagi orang yang berakal dan merupakan kesibukkan (yang bermanfaat) bagi orang yang memberi perhatian dan berkeinginan besar (untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat).” (Kitab Fadhlu ‘Ilmis Salaf ‘ala ‘Ilmil Khalaf, halaman 6).
Sebagai penutup, renungkanlah nasihat emas dari Imam Adz-Dzahabi ketika beliau mengkritik kitab Ihya’ ‘Ulumiddin dan kitab-kitab lain semisalnya yang memuat kesesatan dan penyimpangan, karena tidak mencukupkan diri dengan petunjuk Alquran dan hadits-hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pemahaman yang benar.
Imam Adz-Dzahabi berkata, “Kitab Ihya’ ‘Ulumiddin di dalamnya terdapat sejumlah (besar) hadits-hadits yang batil (palsu) dan banyak kebaikannya kalau saja kitab itu tidak memuat adab, ritual dan kezuhudan (model) orang-orang (yang mengaku) ahli hikmah dan ahli Tasawwuf yang menyimpang, kita memohon kepada Allah (dianugerahkan) ilmu yang bermanfaat. Tahukah kamu apakah ilmu yang bermanfaat itu? Yaitu ilmu bersumber dari Alquran dan dijabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam ucapan dan perbuatan (beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam), serta tidak ada larangan dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tentangnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Barangsiapa yang tidak menyukai sunnah/ petunjukku, maka dia bukan termasuk golonganku.” (HR. Al-Bukhari (no. 5063) dan Muslim (1401).
Maka, wajib bagimu wahai saudaraku untuk men-tadabbur-i (mempelajari dan merenungkan) Alquran, serta membaca dengan seksama (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) dalam Ash-Shahiihain (Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim), Sunan An-Nasa’i, Riyadhus Shalihin dan Al-Azkar tulisan Imam An-Nawawi, (maka dengan itu) kamu akan beruntung dan sukses (meraih ilmu yang bermanfaat). Dan jauhilah pemikiran orang-orang Tasawwuf dan filsafat, ritual-ritual ahli riyadhah (ibadah-ibadah khusus ahli Tasawwuf), dan kelaparan (yang dipaksakan) oleh para pendeta, serta igauan tokoh-tokoh ahli khalwat (menyepi/ bersemedi yang mereka anggap sebagai ibadah). Maka, semua kebaikan adalah dengan mengikuti agama (Islam) yang hanif (lurus/ cenderung kepada tauhid) dan mudah (agama yang dibawa dan dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Maka, kepada Allah-lah kita memohon pertolongan, ya Allah, tunjukkanlah kepada kami jalan-Mu yang lurus.” (Kitab Siyaru A’laamin Nubala’, 19/339-340).
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 13 Rabi’ul akhir 1432 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, M.A. (Pengasuh website www.manisnyaiman.com)
Artikel www.Salafiyunpad.wordpress.com

Klik disini untuk melanjutkan »»

Bersabarlah, Kemenangan itu Pasti ‘Kan Tiba

.
1 komentar

Bersabarlah, Kemenangan itu Pasti ‘Kan Tiba


 

Yang namanya “menanti” dan “bersabar” adalah pekerjaan yang melelahkan, untuk sebagian orang. Akan tetapi, tidak begitu adanya dengan orang-orang yang telah diteguhkan hatinya oleh Allah ‘Azza wa Jalla.
Banyak tetumbuhan dakwah yang mesti berjuang menerabas tanah untuk menguatkan akar. Sungguh sabarnya ia, menembus rapatnya butir-butir tanah. Meski begitu, dengan kuasa Allah semata, akar itu kian menyerabut, hingga bertambah bulu-bulu halus, dan semakin kokohlah cengkeramannya di dasar bumi.
Tak berhenti sampai di situ, setelah akar tumbuh merambat, batang pun berkembang menjulang. Tak cukup itu saja, ranting membentang bagai menyapa angin, daun-daunnya juga merimbun hijau bersalaman dengan udara yang berkerumun di atas bumi.
Lihatlah, betapa tempat yang sempit menjadi awal sebuah keleluasan yang menenteramkan. Tanah yang begitu rapat menjadi mula dedaunan hijau tertiup-tiup kegirangan berkawan dengan bumi yang ramah. Hingga akhirnya, buah-buah yang siap dipetik akan tiba waktunya untuk dinikmati orang banyak.
Dengan keteguhan, dari hati, berlatarkan niat yang putih.
Jika Anda seratus persen meniru jalan dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Anda telah berada di jalur yang benar. Tugas Anda selanjutnya, menjalani dakwah tersebut dengan teguh bagai keteguhan seorang Muhammad bin Abdillah.
Berdakwalah dengan hati. Menasihati karena ingin manusia menjadi baik, bukan karena ingin mempermalukan mereka dengan kejahilan dan kemaksiatan yang terlanjur mereka lakukan. Mendidik manusia karena berharap mereka menjadi saudara seiman di dunia, dan tetangga Anda saat berdampingan di dipan-dipan Firdaus Al-A’la.
Putihkan baik-baik niat untuk berdakwah hanya untuk Allah semata, semata agar Allah semakin cinta kepada Anda, di dunia dan di akhirat. Titik tujuan satu saja: agar hanya Allah yang disembah di muka bumi, bukan sebatas manusia membungkukkan punggung, bertakbir, atau mengitari Ka’bah. Lebih mulia lagi cita-cita Anda daripada itu. Satu titik tujuan Anda: mereka benar-benar tunduk kepada Allah, kepada ketentuan yang telah Allah pilih untuk hamba-hamba-Nya. Tidak ada hawa nafsu yang diagungkan, tidak ada dewa-dewi yang disembah, tidak ada ego pribadi yang didahulukan, hanya Allah saja yang selalu paling dipatuhi.
Lawanlah bisikan setan jika dia menyuruh Anda berdakwah untuk menambah pengikut. Perangilah tipu daya setan, karena pemuliaan manusia terhadap diri Anda akan menjadi penghinaan Allah atas diri Anda jika Anda menyeru manusia supaya Anda memanen puja-puji dan kemasyhuran.
Bersabarlah, karena semua ‘kan indah pada waktunya
Kalau di awal dakwah Anda merasa sendirian, tenanglah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun seperti itu. Kemenangan tidak datang serta-merta. Kalau bukan di dunia, bisa jadi kemenangan datang di akhirat menghampiri Anda.
Bersabarlah, kemenangan itu pasti ‘kan tiba
Bandar Universiti, 2 Juli 2011,
Penulis: Athirah hafizhahallah
Artikel www.SALAFIYUNPAD.wordpress.com

Klik disini untuk melanjutkan »»

3 Agu 2011

Wanita Hitam Pemetik Surga

. 3 Agu 2011
0 komentar

Wanita Hitam Pemetik Surga


 

Oleh Ustadz Abu Adib
Alhamdulillahi Robbil’alamin…segala puji bagi Allah ta’ala yang telah memberikan kemudahan kepada kami untuk menulis risalah yang singkat ini. Para pembaca yang mulia, judul risalah diatas mengingatkan pada kita semua tentang kisah wanita hitam dimasa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam.
Diriwayatkan oleh ‘atha’ bin Abi Rabah, dia berkata: “Telah berkata kepadaku Abdullah bin Abbas: “maukah engkau aku perlihat seorang wanita penghuni surga?” maka aku berkata : “tentu!”. Kemudian ‘Abdullah berkata: “Wanita hitam dia pernah mendatangi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam lalu ia berkata: “ aku kena penyakit ‘usro’u (ayan/epilepsy), jikalau penyakitku kambuh auratku tersingkap. Maka do’akanlah kepada Allah agar sembuh penyakitku”. Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berkata: “jikalau aku do’akan kepada Allah, pasti kamu akan sembuh. Akan tetapi jikalau kamu sabar maka bagimu surga”. Maka wanita hitam itu berkata: “Ashbiru (aku akan sabar), akan tetapi do’akan kepada Allah agar tiap kali kambuh penyakitku, auratku tidak tersingkap”. Maka Nabi pun mendo’akannya sehingga tiap kali kambuh, Allah Ta’ala menjaga auratnya.
Dari kisah Hadits diatas kita bisa mengambil pelajaran yang sangat berharga, dimana seorang wanita berkulit hitam yang mungkin tidak ada harganya dalam pandangan masyarakat, ditambah lagi wanita itu terkena wabah penyakit ayan, suatu penyakit yang sangat menjijikkan, akan tetapi Allah Ta’ala memuliakan wanita itu dengan surga disebabkan karena ketaqwaan dan kesabaran. Rasa malu dan ketaqwaannya telah mengantarkan dirinya untuk sabar dalam menderita penyakit serta musibah yang dideritannya. Sifat taqwa dan rasa malu itu nampak ketika wanita itu berkata kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dimana saat penyakitnya kambuh menyebabkan dia kehilangan kesadaran sehingga auratnya tersingkap. Wanita hitam itu malu auratnya kelihatan ketika dia dalam keadaan tidak sadar. Allahu Akbar….
Dalam keadaan tidak sadarpun wanita itu malu auratnya kelihatan apalagi dalam keadaan sadar? Coba kita bandingkan dengan wanita abad ini!. Dalam keadaan sadarpun mereka berani bahkan sengaja menampakkan auratnya. Mereka berpakaian tapi nampak betisnya, nampak pahanya, nampak dadanya, dan ditambah lagi mereka itu bangga dengan kelakuannya seolah-olah mereka berkata “ lihatlah betisku! Lihatlah pahaku! Lihatlah dadaku! Lihatlah wajahku!. Dan ketika dia berjalan, kemudian ada laki-laki yang pandangannya tertuju padanya, maka dalam hatinya wanita itupun senang dan bangga atas apa yang telah diperbuatnya. Na’udzu billah. Dirinya tidak sadar kalau kelakuannya telah membuat kerusakan dan fitnah di muka bumi. Demikianlah pembaca yang mulia hilangnya ketaqwaan dan rasa malu telah mengantarkan wanita-wanita sekarang kepada perbuatan yang hina dan keji. Sungguh telah benar apa yang disampaikan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam:
“Apabila kamu tidak malu maka berbuatlah semaumu”(HR/ Bukhari. No 3483)
Wanita-wanita sekarang sadar, bahkan sangat sadar atas apa yang telah mereka perbuat. Mereka bukanlah wanita-wanita yang gila atau wanita-wanita yang mengalami gangguan kejiwaan, bahkan mereka wanita-wanita yang waras akalnya sehingga sangat sadar dengan apa yang telah dilakukannya, akan tetapi hatinyalah yang tidak pernah menyadari. Perbuatan yang telah mereka lakukan itu bisa mendatangkan fitnah dan kerusakan di muka bumi.
Dan tindakan lain yang tidak kalah mengerikan bahayanya adalah maraknya aksi-aksi pornografi, kontes kecantikan, umbar aurat bisa kita jumpai dimana-mana bahkan secara resmi dipertontonkan melalui siaran-siaran diberbagai media massa yang ada sehingga bisa menjadi hiburan harian bagi orang yang lemah imannya. Masya Allah..kalau kelakuan wanita-wanita bumi pertiwi seperti ini bagaimana negeri ini selamat akan perzinaan.
Faedah yang bisa dipetik dari hadits diatas adalah:
  1. Kesabaran atas musibah yang menimpa di dunia akan mewariskan surga
  2. Pengobatan berbagai macam penyakit bisa ditempuh dengan do’a dan berlindung dengan penuh kejujuran / sungguh-sungguh kepada Allah dengan disertai pemberian obat
  3. Berusaha dengan penuh kemauan adalah lebih baik daripada bersandar pada pemberian keringanan bagi orang yang melihat adanya kemampuan pada dirinya untuk mengembannya, dalam hal itu dia akan memperoleh tambahan pahala.
  4. Di perbolehkan untuk tidak berobat
  5. Tinnginya rasa malu para shahabat wanita, dimana wanita itu malu kalau auratnya tesingkap walaupun dalam keadaan tidak sadar.
Risalah ini kami tutup dengan nasehat untuk para muslimah:
Wahai saudariku muslimah….janganlah kalian menjadi penyabab datangnya kerusakan dan fitnah di muka bumi, yakni dengan kalian mengumbar aurat.
Wahai saudaraku muslimah….janganlah kalian halalkan aurat kalian untuk dilihat laki-laki yang tidak dihalalkan untuk kalian.
Wahai saudaraku muslimah….hiasilah diri kalian dengan akhlaqul karimah (akhlaq mulia), jangan kalian lakukan perbuatan yang mana perbuatan tersebut bisa menjatuhkan diri kalian kepada kehinaan seperti berkhalwat yaitu berduaan dengan laki-laki yang bukan mahram, berboncengan satu motor atau satu mobil dengan laki-laki yang bukan mahram. Itu semua bisa menjatuhkan harga diri dan kehormatanmu.
Wahai saudaraku muslimah…sibukkanlah diri kalian dengan menuntut ilmu agama karena ilmu agama adalah pelita yang akan menerangi jalan hidupmu.
Wahai saudaraku muslimah…bertaqwalah kepada Allah dan bersabarlah, serta ingatlah apa yang telah disabdakan oleh Nabimu shalallhu ‘alaihi wasallam bahwa kebanyakan penghuni neraka adalah dari kaum wanita. Maka janganlah kalian menjerumuskan diri kalian kedalam neraka. Semoga Risalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Maraji’: Kitab Riyadhush Shalihin

Klik disini untuk melanjutkan »»
 
Namablogkamu is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com | The Blog Full of Games