22 Des 2009

MUQADDIMAH KEDUDUKAN AS-SUNNAH DALAM SYARI'AT ISLAM

. 22 Des 2009

MUQADDIMAH KEDUDUKAN AS-SUNNAH DALAM SYARI'AT ISLAM


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Bagian Terakhir dari Dua Tulisan 2/2




Jika ada seseorang mengatakan bahwa yang dijamin oleh Allah terpelihara adalah Al-Qur'an saja dan bukan semua wahyu yang diturunkan selain Al-Qur'an, maka kami jawab, “Kami mohon taufiq dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tuduhan itu adalah bohong, tidak ada bukti sama sekali dan pengkhususan bahwa yang dimaksud Adz-Dzikra hanya Al-Qur'an saja, itupun tidak ada dalilnya. Maka dakwaan mereka itu adalah bathil.”

“Artinya : ... Katakanlah: ‘Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar.’” [Al-Baqarah: 111]

Oleh karena itu, orang yang tidak punya bukti atas dakwaannya, maka ia tidak benar dan tidak bisa dipercaya.

Kalimat Adz-Dzikru mencakup semua yang diturunkan Allah kepada Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam , baik berupa Al-Qur'an maupun As-Sunnah, karena As-Sunnah sebagian wahyu yang telah dijelaskan oleh Al-Qur'an: "Wa anjalnaa ilaika ad-dzikra litubayyina linnaasi maa nunajjila ilaihim wa la'allahum yatafakkaruun". Dalam ayat ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan oleh Allah untuk menjelaskan Al-Qur'an kepada manusia. Di dalam Al-Qur'an banyak ayat-ayat yang bersifat mujmal (global), kalau Sunnah tersebut tidak terjaga dan tidak terpelihara, niscaya ayat-ayat Al-Qur'an tidak bermanfaat, bahkan bisa menjadi batal sebagian besar dari kewajiban-kewajiban agama yang dibebankan kepada manusia?! Jika demikian, maka kita tidak mampu membedakan antara yang benar dari firman Allah dan yang salah dalam menafsirkannya atau orang yang sengaja berbohong. Semua ini mustahil terjadi pada Allah Subhanahu wa Ta’ala.[1]

Di antara dalil lain yang menegaskan keotentikan As-Sunnah sebagai sumber hukum, bahwasanya Allah Ta’ala telah menjadikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penutup seluruh Nabi dan Rasul dan syari’atnya sebagai penutup syari’at sebelumnya. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan kepada manusia untuk beriman dan mengikuti segala ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga hari Kiamat. Allah telah menghapus segala syari’at yang bertentangan dengan syari’at beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semua ini menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan syari’at yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai syari’at yang abadi dan terpelihara. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan bagi setiap muslim bila berselisih tentang sesuatu untuk kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.

“Artinya : ... Dan jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [An-Nisaa': 59]

Imam Mujahid, Qatadah, Maimun bin Mihran dan ulama Salaf lainnya ketika menafsirkan ayat ini: “Kembali kepada Allah, yaitu mengembalikan kepada Al-Qur'an dan kembali kepada Rasul yaitu mengembalikan per-soalan yang diperselisihkan kepada As-Sunnah.[2]

Semua Sunnah yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah upaya untuk menjelaskan Al-Qur’an. Tidak ada satu pun yang samar atau tersembunyi dari semua penjelasan yang dibutuhkan manusia dalam kehidupan dunia dan akhirat, melainkan beliau telah jelaskan, ini menunjukkan bahwa agama Islam sudah sempurna. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

“Artinya :…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu…” [Al-Maa’idah: 3]

Para Sahabat telah memberi kesaksian atas hal itu pada peristiwa Hajjatul Wada’ ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri meminta mereka memberikan kesaksian, bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah menyampaikan seluruh risalah. Tidak ada satu pun yang beliau tidak sampaikan. Semua sudah disampaikan, apa saja yang membawa manusia ke Surga sudah beliau jelaskan, dan apa saja yang membawa manusia ke Neraka sudah beliau jelaskan pula. Karena itu, hilangnya satu bagian dari Sunnah Rasul sama buruknya dengan hilangnya satu bagian dari Al-Qur'an. Sehingga ummat Islam sepanjang sejarah telah berusaha sekuat tenaga untuk menjaga dan memelihara As-Sunnah. Upaya-upaya para ulama Ahli Hadits dalam menjaga As-Sunnah dapat diringkas sebagai berikut:

Pertama.
Para Shahabat yang mulia g langsung menerima hadits dari Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan yang tidak sempat hadir, mereka bertanya kepada yang hadir dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para Shahabat untuk menyampaikan As-Sunnah. Beliau bersabda:

“Artinya : Allah akan memberikan cahaya kepada wajah seseorang yang mendengarkan ucapanku, lalu ia menyampaikannya sebagaimana yang ia dengar. Maka boleh jadi di antara yang disampaikan kepada mereka itu ada yang lebih mengerti daripada yang mendengarkan (langsung dariku).”[3]

Kedua.
Kesungguhan para Shahabat dalam menyampaikan Sunnah Rasulullah di samping mereka langsung mengamalkan apa-apa yang datang dari al-Qur'an dan As-Sunnah.

Ketiga,.
Ketelitian para Shahabat yang tinggi dalam menerima As-Sunnah, bahkan ada yang diminta untuk menjadi saksi.

Keempat.
Kesungguhan para ulama sepanjang sejarah dalam mengumpulkan As-Sunnah dan ketelitian mereka dalam menerimanya, serta hafalan mereka yang luar biasa (matan dan sanadnya).

Kelima.
Pengetahuan mereka yang dalam tentang ihwal para perawi dan sikap kritis yang tinggi dalam menerima riwayat-riwayat mereka.

Keenam.
Penyusunan ilmu al-Jarh wat Ta’dil (kriteria penerimaan dan penolakan hadits berdasarkan perawi-nya). Seperti al-Jarh wat Ta’dil oleh Ibnu Abi Hatim ar-Razy (wafat th. 327 H).

Ketujuh.
Pengumpulan dan penyusunan ‘illat-‘illat (cacat) hadits dengan pembahasan yang lengkap. Seperti kitab ‘Ilal Imam ad-Daraquthni dan Imam at-Tirmidzi.

Kedelapan.
Penyusunan kitab-kitab untuk membedakan hadits-hadits maqbul (yang dapat diterima) dengan hadits mardud (ditolak).

Kesembilan.
Penyusunan kaidah-kaidah yang menjelaskan kriteria penerimaan atau penolakan suatu hadits dari berbagai segi.

Kesepuluh.
Penyusunan biografi para perawi hadits dengan pembahasan lengkap tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kesamaran atau perbedaan atau persamaan dalam nama dan kunyah. Seperti kitab:

[1]. Tahdzibul Kamal fi Asma-ir Rijal oleh al-Hafizh Ja-maluddin Abul Hajjaj Yusuf bin ‘Abdirrahman al-Mizzi (wafat th. 742 H)
[2]. Tahdziib Tahdzibul Kamal oleh al-Hafizh Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman adz-Dzahabi (wafat 748 H)
[3]. Mizanul I’tidaal (4 jilid) oleh al-Hafizh Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman adz-Dzahabi.
[4]. Tahdzibut Tahdzib (12 jilid) oleh al-Hafizh Syihabud-din Abul Fadhl Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-‘Asqalany (wafat th. 752 H)
[5]. Taqribut Tahdzib (2 jilid) oleh al-Hafizh Syihabuddin Abul Fadhl Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-‘Asqalany
[6]. Al-Kuna wal Asma’ oleh Abu Bisyr Muhammad bin Ahmad bin Hammad bin Sa’d al-Anshary ad-Daulaby (wafat th. 320 H), dan kitab-kitab lain, ratusan jilid kitab yang membahas tentang hal ihwal rawi.

Dengan penjelasan di atas, kita tahu bahwa As-Sunnah yang berada di tangan kita telah dikumpulkan, dikodi-fikasi, disusun dan dipelihara keabsahannya dan keoten-tikannya oleh para ulama Islam hingga hari Kiamat, sebagaimana pertama kali mereka dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Salah satu faktor terkuat yang memelihara keabsahan As-Sunnah adalah metode sanad dan kritik sanad. Ini merupakan keistimewaan tersendiri bagi ummat ini yang tidak ditemukan pada ummat-ummat lain.

Kata ‘Abdullah Ibnul Mubarak (wafat th. 181 H) berkata:

“Sanad itu merupakan bagian dari agama. Seandainya tidak ada sanad, niscaya siapa saja akan berkata me-nurut apa yang dikehendakinya.” [4]

Imam an-Nawawi (wafat th. 676 H) mengomentari perkataan di atas, bahwa bila sanad hadits itu dapat diterima, bila tidak shahih maka harus ditinggalkan. Dinyatakan hubungan hadits dengan sanadnya seperti antara hubungan hewan dengan kakinya.[5]

Dalam buku ini, penulis terangkan kedudukan As-Sunnah sebagai pembelaan terhadap As-Sunnah yang selalu dirongrong oleh musuh-musuh Islam dan orang-orang kafir, munafik, ahlul bid’ah, orientalis, dan para pengekornya. Mudah-mudahan penjelasan dalam buku ini dapat difahami, diamalkan, dan bermanfaat bagi kaum muslimin. Semoga tulisan ini menjadi timbangan amal kebaikan penulis pada hari Kiamat.

Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , keluarga, para Shahabatnya serta para pengikut beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tetap ittiba’ mengikuti Sunnah-nya, hingga akhir zaman.

Alhamdulillaahi Rabbil ‘Aalamiin.

Bogor,
30 Jumadil Awal 1426 H
7 Juli 2005 M

Penulis
Yazid bin Abdul Qadir Jawas
(Abu Fat-hi)

[Disalin dari buku Kedudukan As-Sunnah Dalam Syariat Islam, Penulis Yazid Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO.Box 264 Bogor 16001, Jawa Barat Indonesia, Cetakan Kedua Jumadil Akhir 1426H/Juli 2005]
_________
Foote Note
[1]. Al-Ihkam fii Ushulil Ahkam (I/117-118).
[2]. Lihat Tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari (IV/154 no. 9884-9889), cet. I Darul Kutub al-‘Ilmiyah-Beirut 1412 H dan lihat juga Tafsir Ibnu Katsir (I/568), cet. Darus Salam.
[3]. Hadits riwayat at-Tirmidzi (no. 2657), Ibnu Hibban (no. 74), dan lainnya. Dari Shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud z. At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih.”
[4]. Muqaddimah Shahih Muslim.
[5]. Shahih Muslim bi Syarah Imam an-Nawawi (I/88), cet. Darul Fikr.




Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=216&bagian=0

0 komentar:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Posting Komentar

 
Namablogkamu is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com | The Blog Full of Games