24 Feb 2011

Menuntut Ilmu di Masa Muda

. 24 Feb 2011
1 komentar

Menuntut Ilmu di Masa Muda



Keutamaan menuntut ilmu sangat banyak disebutkan dalam ayat-ayat maupun hadits-hadits shahih. Bahkan sampai di dalam hadits yang dho’if dan palsu, seperti berikut,
أَيُّمَا نَاشِئٍ نَشَأَ فِيْ طَلَبِ الْعِلْمِ وَالْعِبَادَةِ حَتَّى يَكْبُرَ وَهُوَ عَلَى ذَلِكَ أَعْطَاهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَوَابَ اثْنَيْنِ وَسَبْعِيْنَ صِدِّيْقًا
“Anak muda mana pun yang tumbuh dalam menuntut ilmu, dan ibadah sampai ia menjadi tua, sedangkan dia masih tetap di atas hal itu, maka Allah akan memberikannya pada hari kiamat pahala 72 orang shiddiqin”. [HR.Tamam Ar-Raziy dalam Al-Fawaid (2428), Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Al-Ilm (1/82)].
Namun hadits ini derajatnya adalah dho’if jiddan (lemah sekali), bahkan boleh jadi hadits ini palsu, karena di dalamnya ada rawi yang bernama Yusuf bin Athiyyah. Dia adalah seorang yang mungkarul hadits. Bahkan An-Nasa’iy menilainya matruk (ditinggalkan karena biasa berdusta atas nama manusia). Karenanya Syaikh Al-Albaniy menghukumi hadits ini dho’if jiddan dalam Adh-Dho’ifah (700).
Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 45 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Muhammad Mulyadi. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)
Dinukil dari http://almakassari.com/?p=223#more-223

Klik disini untuk melanjutkan »»

Syarat seorang Da’i

.
1 komentar

Syarat seorang Da’i 

Oleh : Abu Aqil Al-Atsary

 

 

Agama Islam adalah nasehat, dan salah satu bentuk dari sekian banyak bentuk-bentuk nasehat, adalah dakwah. Namun sebagaimana amalan-amalan lain yang dipahalai oleh Alloh Ta’ala, tentunya dakwah amar ma’ruf dan nahi mungkar mestilah dibarengi dengan ilmu tentangnya dan ilmu tentang apa yang diserukan. Misalnya, jika seseorang mengajak orang lain untuk mendirikan sholat, maka harusnya si pengajak (da’i) terlebih dahulu mengerti dan memahami segala ilmu tentangnya, sejak dari dalil-dalil pensyariatan sholat hingga tatacara sholat yang benar-benar sesuai petunjuk Rasululloh shallallohu ‘alaihi wasallam.
Hal inilah yang seringkali diacuhkan begitu saja oleh para da’i dewasa ini. Maka satu dari sekian banyak ketentuan yang harus ada dalam diri seorang da’i adalah ilmu tentang apa yang sedang dan yang akan ia serukan.
Alloh Ta’ala berfirman,
فَاْعْلَمْ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا اللهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلمُؤْمِنِينَ وَالمؤْمِنَاتِ وَاللهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُم
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.” [QS. Muhammad : 19]Dengan ayat inilah Al-Imam Bukhary -rahimahullohu ta’ala- membuat satu bab dengan judul باب العلم قبل القول والعمل“Bab Ilmu sebelum perkataan dan perbuatan.” [Shohih Bukhary 1/159] Hal tersebut bisa difahami bahwa Alloh Ta’ala telah memerintahkan kepada nabi-Nya dengan dua perkara; dengan ilmu dan kemudian amal. Adapun memulainya dengan ilmu itu dijelaskan dalam ayat tersebut,
فَاْعْلَمْ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا اللهُ
“Ketahuilah bahwa tiada sesembahan yang haq, selain Alloh.”
Baru kemudian diikuti dengan amal,
وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِك
“Dan mohonlah ampunan untuk dosa-dosamu.”
Dengan demikian, kita semua menyadari bahwa ilmu adalah syarat bagi amalan dan perkataan. Tanpa ilmu maka amalan dan perkataan itu tidak sangat jauh dari petunjuk Alloh dan RasulNya. Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullohu ta’ala- menjelaskan tentang syarat amar ma’ruf dan nahi munkar, dengan berkata;
ولا يكون عمله صالحاً إن لم يكن بعلم وفقه .. وهذا ظاهر فإن العمل إن لم يكن بعلم كان جهلاً وضلالاً ، واتباعاً للهوى وهذا هو الفرق بين أهل الجاهلية
“Dan tidaklah dianggap amalan sholih jika tanpa disertai dengan ilmu,… dan ini sudah jelas. Maka sungguh amalan itu jika tanpa disertai ilmu adalah kebodohan dan kesesatan, dan hanya mengikuti hawa nafsu saja, yang demikian termasuk golongan ahli jahiliyah / orang-orang bodoh.” [Al-amru bilma'ruf wan nahy anil munkar, Ibnu Taimiyah, hal. 17]
Hal ini juga sebagaimana atsar dari salafunas sholih, telah diriwayatkan secara marfu’, AlQadhi Abu Ya’la menyebutkan dalam Al-Mu’tamad,
لا يأمر بالمعروف وينهى عن المنكر إلا من كان فقيهاً فيما يأمر به ، فقيها فيما ينهى عنه ، رفيقاً فيما يأمر به ، رفيقاً فيما ينهى عنه ، حليماً فيما يأمر به ، حليماً فيما ينهى عنه
“Janganlah menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari kemunkaran kecuali bagi orang-orang yang telah memahami tentang yang diserukan itu, dan yang telah memahami terhadap larangan yang dilarang itu, dan hendaklah lemah lembut dalam menyampaikan apa yang diserukan itu, dan lemah lembut menyampaikan apa yang dilarang. hendaklah juga ia sabar dalam menyeru (kebaikan) dan sabar dalam mencegah (kemungkaran itu). [Mukhtasar Minhajul Qosidin, Ibnu Qudamah, hal 131]
Maka jelaslah bahwa bagi orang yang tidak memiliki ilmu, usaha yang harus ia lakukan pertama sekali adalah menuntut ilmu baru kemudian setelah itu ia boleh berdakwah.

http://salafiindo.wordpress.com/2008/01/31/syarat-seorang-dai/

Klik disini untuk melanjutkan »»

DOA BERSAMA SETELAH SHALAT

.
0 komentar

DOA BERSAMA SETELAH SHALAT
Oleh: asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan


Tanya: Saya menyaksikan sebagian orang-orang yang shalat berjamaah seusai mereka shalat, mereka berdoa dengan bersama-sama, setiap kali mereka selesai shalat, apa hal ini dibolehkan? Berilah kami fatwa semoga Anda mendapat balasan di sisi-Nya.
Jawab: Berdoa setelah shalat, tidak mengapa. Akan tetapi setiap orang berdoa sendiri-sendiri. Berdoa untuk dirinya dan saudaranya sesama ummat Islam. Berdoa untuk kebaikan agama dan dunianya, sendiri-sendiri bukan bersama-sama. Adapun berdoa bersama-sama setelah shalat, ini adalah bid’ah. Karena tidak ada keterangannya dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tidak dari shahabatnya dan tidak dari kurun-kurun yang utama bahwa dahulu mereka berdoa secara bersama-sama, dimana sang imam mengangkat kedua tangannya, kemudian para makmum mengangkat tangan-tangan mereka, sang imam berdoa dan para makmum juga berdoa bersama-sama dengan imam. Ini termasuk perkara bid’ah. Adapun setiap orang berdoa tanpa mengeraskan suara atau membuat kebisingan hal ini tidaklah mengapa, apakah sesudah shalat wajib atau sunnah.
Sumber : Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Shalih Al Fauzan (2/680), http://ahlussunnah-jakarta.com/artikel_detil.php?id=27
Diperbolehkan mengkopi artikel dengan menyertakan sumbernya.

Klik disini untuk melanjutkan »»

Menghidupkan Sunnah, kenikmatan tiada tara

.
0 komentar

Menghidupkan Sunnah, kenikmatan tiada tara

Penulis : Al Ustadz Abu Abdirrahman Abdul Aziz As Salafy
 
 
 
 
Sesungguhnya kepatuhan seorang muslim kepada syariat Allah dan kecintaannya dalam mencontoh jejak Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam (baik berupa ucapan, perbuatan dan lain-lain), merupakan suatu bukti cintanya kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Apabila seorang hamba menjalankan agama sesuai dengan tuntunan sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam maka hatinya akan tenang dan lapang. Semakin kuat rasa cintanya kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam maka akan terjalin kuat pula rasa cintanya kepada Allah Azza wa Jalla. Oleh karena itu sebagai wujud rasa cinta kita kepada Allah Azza wa Jalla, mari kita hidupkan Sunnah Rasulullah yang telah dianggap asing di tengah-tengah ummat ini.
Al Qur’an membimbing kita untuk bersikap tengah-tengah dan sederhana dalam menjalankan ajaran agama Allah. Dan mencela sikap ekstrim (melampaui batas) serta sikap meremehkan agama-Nya. Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk berbuat adil dan kebaikan.” (An Nahl : 90)
Dan firman-Nya :
“Katakanlah ; Rabbku memerintahkan untuk berbuat adil. (Al A’raf : 29)
Ayat-ayat di atas memerintahkan kita untuk berlaku adil dan bersikap tengah-tengah dalam segala perkara. Baik dalam perkara aqidah, ibadah, adab, akhlak maupun muamalah sehari hari. Serta melarang dari lawannya, yaitu bersikap ekstrim dan meremehkannya pada banyak ayat.
Di dalam beribadah kepada Allah, kita diperintahkan untuk berlaku adil. Yaitu berpegang teguh dengan apa saja yang diajarkan oleh Rasulullah dan dilarang melampaui ajaran-ajaran beliau shallallahu’alaihi wasallam. Tentunya dilandasi dengan niat ikhlas semata mengharapkan wajah Allah Azza wa Jalla dan mutaba’ah (mencontoh) sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.
Bisa jadi tidak semua dari ajaran-ajaran Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam mampu untuk kita melaksanakannya, disebabkan kelemahan dan ketidakberdayaan kita. Namun hal tersebut bukan menjadi pemicu untuk kita mencerca ajaran beliau dan orang-orang yang menghidupkan ajaran-ajarannya. Justru dengan bukti kecintaan kita kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam menjadikan kita senantiasa senang mengikuti ajaran-ajaran beliau, walaupun dalam perkara-perkara yang dianggap remeh.
Berikut ini adalah beberapa contoh perkara, yang mana kita diperintah untuk berlaku adil dan bersikap tengah-tengah di dalam mengamalkannya. Yakni sesuai dengan bimbingan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam :
Dalam Perkara Sholat
Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
… لِيَصَلِّي أَحَدُكُمْ نَشَاطُهُ, فَإِذَا فَتَرَ فَلْيَقْعُد
“Sholatlah salah seorang diantara kalian dengan berdiri, maka apabila merasa lelah hendaknya dia duduk.” (Riwayat Bukhori dan Muslim dari hadits Anas radhiyallahu’anhu).
Suatu ketika Nabi shallallahu’alaihi wasallam masuk ke masjid, tiba-tiba beliau mendapatkan seutas tali yang terikat diantara dua tiang. Lantas beliau bertanya : “milik siapa tali ini?” mereka menjawab : “tali ini milik Zainab. Apabila dia lelah, maka dia mengikatkan tubuhnya dengan (tali tersebut).” Maka Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda : “tidak, lepaskan (ikatan tali tersebut). Sholatlah salah seorang diantara kalian dengan berdiri, maka apabila merasa lelah hendaknya dia duduk.”
Demikian pula Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
عَلَيْكُمْ مِنْ الأَعْمَالِ مَا تُطِيْقُوْنَ, فَوَ اللهِ إِنَّ اللهَ لاَ يَمِل حَتَّى تَمِلوا
“Hendaklah kalian beramal semampu kalian, demi Allah sesungguhnya Allah tidak akan menyusahkan kalian hingga kalian menyusahkan diri kalian sendiri.” (Dikeluarkan oleh Bukhori dan Muslim)
Demikian pula tatkala datang beberapa sahabat Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, lalu mengatakan : “Adapun saya, saya akan melaksanakan sholat malam dan tidak akan tidur.” Maka beliau bersabda : “Demi Allah, sesungguhnya aku lebih takut dan lebih bertaqwa kepada Allah daripada kalian. Akan tetapi aku….. tetap melaksanakan sholat malam dan tidur.” (Riwayat Bukhori dan Muslim).
Dan juga Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
وَأَحَبُّ الصَّلاَةِ إِلَى اللهِ صَلاَةُ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ كَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ, وَيَقُوْمُ ثُلُثَهُ, وَيَنَامُ سُدُسَهُ
“Sholat yang paling disukai Allah adalah sholatnya Nabi Daud ‘alaihis salam. Beliau tidur di pertengahan malam, lalu bangun disepertiga malam dan tidur diseperenamnya.” (Riwayat Bukhori dan Muslim).
Dalam Shohih Muslim dari hadits Aisyah radhiyallahu’anha, bahwasanya Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda : “Apabila salah seorang diantara kalian dihinggapi rasa kantuk di dalam sholat maka hendaknya dia tidur hingga hilang rasa kantuknya”. (Riwayat Muslim)
Dan dalam hadits Abu Hurairoh, dia berkata : Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda : “Apabila salah seorang diantara kalian hendak melaksanakan sholat malam lalu terasa berat melafadzkan ayat-ayat Al Qu’ran (karena rasa kantuk), sehingga dia tidak lagi mengetahui bacaannya. Maka hendaklah dia berbaring.” (Riwayat Muslim)
Riwayat-riwayat di atas menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang rahmat. Tidaklah agama ini diturunkan melainkan memberi kemudahan dan keringanan kepada seorang hamba dalam menjalankannya. Sungguh benar firman Allah Ta’ala : “Tidaklah Kami mengutus engkau (wahai Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.” (Al Anbiya : 107)
Di dalam hadits-hadits tersebut juga mengandung makna bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam tidak memerintahkan seseorang untuk tetap sholat dalam keadaan berdiri ketika mendapati dirinya lelah dan letih. Akan tetapi beliau justru memerintahkan untuk duduk. Dan hal ini sebagai wujud kasih sayang beliau terhadap ummat ini.
Dalam Perkara Puasa
Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda : “Berpuasalah dan berbukalah.” (Riwayat Bukhori dan Muslim)
Dan beliau bersabda : “Berpuasalah sehari dan berbukalah sehari, karena sesungguhnya hal tersebut adalah puasa yang paling dicintai Allah Azza wa Jalla.” (Riwayat Bukhori dan Muslim)
Hal ini juga merupakan kasih sayang Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam kepada ummatnya. Beliau memerintahkan kepada ummat ini untuk berpuasa seperti yang dicontohkan beliau shallallahu’alaihi wasallam. Karena tidaklah beliau memerintahkan suatu perkara melainkan akan mendatangkan kemaslahatan dan kebaikan yang banyak. Seperti dalam hadits di atas, beliau memerintahkan untuk berpuasa dan demikian berbuka. Beliau tidak memerintahkan untuk berpuasa secara bersambung. Karena hal ini telah dilarang oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, sebagaimana sabda Beliau : “Tidak ada puasa bagi orang yang melaksanakan puasa Al Abad (puasa terus menerus tanpa berbuka).” (Dikeluarkan Bukhori dan Muslim).
Dalam Perkara Tilawah Al Qur’an
Telah datang dari hadits Abdullah bin Amr bin Al Ash radhiyallahu’anhu, dia berkata : “Dulu aku pernah puasa Ad Dahr (terus menerus tanpa berbuka). Dan aku membaca Al Qur’an setiap malam. Maka beliau shallallahu’alaihi wasallam bertanya kepadaku : “Apakah engkau berpuasa Ad Dahr dan membaca Al Qur’an setiap malam?” lalu aku menjawab : “Wahai Nabi Allah! Tidaklah aku menginginkan hal tersebut melainkan hanya kebaikan.” Lalu beliau bersabda : “Sesungguhnya cukup bagimu untuk berpuasa tiga hari setiap bulannya.” Aku katakan : “Wahai Nabi Allah, sesungguhnya aku bisa lebih daripada itu.” Lalu beliau bersabda : “Sesungguhnya istrimu memiliki hak atas dirimu, tamu-tamumu juga memiliki hak, dan jasadmu memiliki hak.” Lantas beliau melanjutkan : “Berpuasalah seperti puasa Daud Nabi Allah alaihis salam, karena dia adalah seorang hamba yang sangat banyak beribadah.” Kemudian aku katakan : “Wahai Nabi Allah! Apakah puasa Daud itu?” Beliau menjawab : “(yaitu) berpuasa sehari dan berbuka sehari.” Lalu beliau melanjutkan : “Dan bacalah Al Qur’an setiap bulannya.” Aku katakan : “Wahai Nabi Allah, sesungguhnya aku bisa lebih daripada itu.” Kemudian beliau berkata : “Bacalah setiap dua puluh hari.” Aku katakan : “Wahai Nabi Allah, sesungguhnya aku bisa lebih daripada itu.” Kemudian beliau berkata : “Bacalah setiap sepuluh puluh hari.” Aku katakan : “Wahai Nabi Allah, sesungguhnya aku bisa lebih daripada itu.” Lantas beliau bersabda : “Bacalah pada setiap tujuh hari, dan jangan engkau tambah setelahnya, karena sesungguhnya istrimu memiliki hak atas dirimu, tamu-tamumu memiliki hak, dan jasadmu memiliki hak.” Lalu aku berkata : “Maka aku pun membebani diriku sendiri, sehingga teramat berat bagiku.” Nabi shallallahu’alaihi wasallam mengatakan kepadaku : “Sesungguhnya engkau tidak mengetahui, semoga umurmu panjang.”
Dalam sebuah riwayat disebutkan : “Sesungguhnya kedua matamu memiliki hak, dirimu dan keluargamu juga memiliki hak.”
Riwayat-riwayat di atas juga menunjukkan betapa nikmatnya menjalankan sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Tidak ada beban berat sedikitpun bila kita telah mengetahui ilmunya. Alhamdulillah agama ini mudah dan memberikan kemudahan setiap hamba di dalam melaksanakannya.
Dalam Perkara Infaq
Lihatlah betapa indahnya hikmah syariat yang hanif ini, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman : “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” Demikian pula Alah berfirman : “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan. Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya.” (Al Isro’ : 26-27)
Demikian pula lihatlah kepada firman Allah Ta’ala : “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan.” (Al A’raf : 31)
Sungguh ini adalah manhaj (metode) yang lurus, keadilan dan sikap tengah-tengah. Tidak bersikap boros dan tidak pula bakhil. Karena keduanya adalah prilaku yang tercela. Orang-orang yang boros merupakan teman-teman syaitan dan sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang boros. Demikian pula orang-orang yang berlaku bakhil, maka penyakit apakah yang paling parah daripada penyakit bakhil?
Barangsiapa yang mampu untuk mengekang kebakhilan yang ada pada dirinya, maka dia termasuk orang-orang yang beruntung.
Dan di sana masih terdapat lagi nash-nash dari Al Qur’an dan As Sunnah yang sudah sepatutnya diketahui oleh seorang hamba, diantaranya : sabda nabi shallallahu’alaihi wasallam : “Tidak ada hasad kecuali dalam dua perkara : “…Dan seorang yang Allah memberinya harta, lalu dia membelanjakannya dalam kebenaran.” (Riwayat Bukhori dan Muslim)
Demikian pula sabda nabi shallallahu’alaihi wasallam kepada Ka’ab bin Malik : “Tahanlah untukmu sebagian dari hartamu.” (Dikeluarkan oleh Bukhori dan Muslim)
Dan Abu Bakar ra ketika menemui Rasulullah dengan seluruh hartanya, lalu nabi shallallahu’alaihi wasallam bertanya kepadanya : “Apa yang engkau tinggalkan untuk keluargamu wahai Abu Bakar?” lalu Abu Bakar menjawab : “Aku tinggalkan untuk mereka Allah dan RasulNya.” (Riwayat Abu Daud, Tirmidzi)
Demikian juga Nabi shallallahu’alaihi wasallam mengatakan kepad Sa’ad bin Abi Waqqos : “Sesungguhnya apabila engkau meninggalkan untuk para pewarismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan susah lagi meminta-meminta kepada manusia.”
Demikianlah beberapa contoh dari sekian banyak contoh yang bisa kami sebutkan dalam lembaran terbatas ini. Mudahan Allah memberi kemudahan untuk kita menjalankan agamanya dan menggolongkan kita termasuk orang-orang yang senantiasa setia mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam serta merasa nikmat di dalam menjalankannya. Wallahu a’lam bish showab.

 http://salafiindo.wordpress.com/2007/09/25/menghidupkan-sunnah-kenikmatan-tiada-tara/

Klik disini untuk melanjutkan »»

Tasyabbuh Bahaya Laten di Tengah Ummat

.
0 komentar

Tasyabbuh Bahaya Laten di Tengah Ummat



Sejarah mencatat, kehidupan ummat manusia sebelum diutusnya Rasulullah sangatlah jauh dari petunjuk Ilahi. Norma-norma kebenaran dan akhlak mulia nyaris terkikis oleh kerasnya kehidupan. Tidak heran bila masa itu dikenal dengan masa jahiliyyah.
Ketika kehidupan ummat manusia telah mencapai puncak kebobrokannya, Allah mengutus Rasul pilihan-Nya Muhammad bin ‘Abdillah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa petunjuk Ilahi dan agama yang benar, untuk mengentaskan ummat manusia dari jurang kejahiliyyahan yang gelap gulita menuju kehidupan Islami yang terang benderang.
Beliau tunjukkan semua jalan kebaikan, dan beliau peringatkan tentang jalan-jalan kebathilan. Sehingga benar-benar terasa bahwa kenabian dan apa yang beliau bawa merupakan barakah dan rahmat bagi semesta alam.
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Al-Anbiyaa`:107)
Oleh karena itu, Allah telah menobatkan beliau sebagai suri tauladan terbaik bagi ummat manusia, dan Allah perintahkan seluruh ummat manusia untuk mengikutinya.
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagi kalian.” (Al-Ahzaab:21)
“Dan ikutilah dia, supaya kalian mendapat petunjuk.” (Al-A’raaf:158)
Lebih dari itu, Allah mengancam orang-orang yang menentangnya dan menyalahi perintahnya.
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam. Dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisaa`:115)
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa ‘adzab yang pedih.” (An-Nuur:63)
Atas dasar itulah, maka segala ajaran yang menyelisihi ajaran Rasulullah adalah bathil dan tidak boleh untuk diikuti, terlebih lagi bila bersumber dari orang-orang kafir. Oleh karena itu, di antara prinsip Islam yang kokoh adalah kewajiban mengikuti jejak Rasulullah dan dilarang untuk mengikuti atau bertasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir dan orang-orang yang menyelisihi Rasulullah.
Hakekat Tasyabbuh dan Menyelisihi Orang-Orang Kafir
Pengertian Tasyabbuh
Tasyabbuh secara etimologis adalah bentuk mashdar dari tasyabbaha ? yatasyabbahu yang berarti menyerupai orang lain dalam suatu perkara. Sedangkan secara terminologis adalah menyerupai orang-orang kafir dan orang-orang yang menyelisihi Rasulullah dalam hal aqidah, ibadah, perayaan/seremonial, hari-hari besar, kebiasaan, ciri-ciri dan akhlak yang merupakan ciri khas bagi mereka.
Hukum Tasyabbuh dengan Orang-Orang Kafir
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata,
“Telah kami sebutkan sekian dalil dari Al-Qur`an, As-Sunnah, Ijma’, atsar (amalan/perkataan shahabat dan tabi’in), dan pengalaman, yang semuanya menunjukkan bahwa menyerupai mereka dilarang secara global. Sedangkan menyelisihi tata cara mereka merupakan sesuatu yang disyari’atkan baik yang sifatnya wajib ataupun anjuran sesuai dengan tempatnya masing-masing.”
(Iqtidhaa Ash-Shiraathil Mustaqiim 1/473)
Siapakah Orang-Orang Kafir yang Tidak Boleh Kita Menyerupainya?
Orang-orang kafir yang tidak boleh kita menyerupainya meliputi ahlul kitab (Yahudi dan Nashara) dan orang-orang kafir lainnya.
Bahaya Tasyabbuh dengan Orang-Orang Kafir
Di antara bahaya dan dampak negatif tasyabbuh adalah:
1. Bahwa partisipasi dalam penampilan dan akhlak akan mewarisi kesesuaian dan kecenderungan kepada mereka, yang kemudian mendorong untuk saling menyerupai dalam hal akhlak dan perbuatan.
2. Bahwa menyerupai dalam penampilan dan akhlak, menjadikan kesamaan penampilan dengan mereka, sehingga tidak tampak lagi perbedaan secara zhahir antara ummat Islam dengan Yahudi dan Nashara (orang-orang kafir).
3. Itu terjadi pada hal-hal yang asalnya mubah. Dan bila terjadi pada hal-hal yang menyebabkan kekafiran, maka sungguh telah jatuh ke dalam cabang kekafiran.
4. Tasyabbuh dengan orang-orang kafir dalam perkara-perkara dunia akan mewariskan kecintaan dan kedekatan terhadap mereka. Lalu bagaimana dalam perkara-perkara agama? Sungguh kecintaan dan kedekatan itu akan semakin besar dan kuat, padahal kecintaan dan kedekatan terhadap mereka dapat meniadakan keimanan seseorang.
5. Lebih dari itu Rasulullah telah menyatakan,
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari mereka.”
(HR. Ahmad dan Abu Dawud dari ‘Abdullah bin ‘Umar, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albaniy dalam Shahiihul Jaami’ no.6025)
(Diringkas dari Iqtidhaa`ush Shiraathil Mustaqiim 1/93, 94 dan 550)
Perkara-Perkara yang Termasuk Tasyabbuh dan Diharuskan untuk Menyelisihinya
Perkara-perkara yang termasuk tasyabbuh dan diharuskan untuk menyelisihinya mencakup semua perkara yang merupakan ciri khas bagi mereka (di setiap masa) baik dalam hal aqidah, ibadah, hari-hari besar, penampilan/model, ataupun tingkah laku. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ketika mengomentari hadits Anas bin Malik, “Lakukanlah apa saja (terhadap istri kalian) kecuali nikah (jima’).” (HR. Muslim no.302)
“Maka hadits ini menunjukkan bahwa apa yang Allah syari’atkan kepada Nabi-Nya sangat banyak mengandung unsur penyelisihan terhadap orang-orang Yahudi. Bahkan beliau menyelisihi mereka dalam semua perkara yang ada pada mereka, sampai-sampai mereka berkomentar, ‘Orang ini (Rasulullah) tidaklah mendapati sesuatu pada kami kecuali berusaha untuk menyelisihinya.” (Iqtidhaa`ush Shiraathil Mustaqiim 1/214-215, 365)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin berkata,
“Tasyabbuh dengan orang-orang kafir terjadi dalam hal penampilan, pakaian, tempat makan, dan sebagainya karena ia adalah kalimat yang bersifat umum. Dalam artian, bila ada seseorang yang melakukan ciri khas orang-orang kafir, di mana orang yang melihatnya mengira bahwa ia termasuk golongan mereka (maka saat itulah disebut dengan tasyabbuh, pent).” (Majmuu’ Duruus wa Fataawaa Al-Haramil Makkiy 3/367)
Perkara-perkara yang merupakan ciri khas mereka tersebut terbagi menjadi tiga jenis:
1. Perkara yang disyari’atkan dalam agama kita dan juga dalam agama mereka. Atau dahulu bukan syari’at mereka namun saat ini mereka kerjakan sebagaimana kita mengerjakannya, seperti: shaum ‘Asyura (10 Muharram, pent), shalat, dan shaum (puasa). Maka cara penyelisihannya adalah mengerjakannya dengan cara/tuntunan yang berbeda dengan mereka.
Seperti mengiringkan shaum tasu’a (puasa 9 Muharram, pent) bersamaan dengan ‘Asyura, menyegerakan berbuka dan shalat maghrib, serta mengakhirkan sahur.
2. Perkara yang disyari’atkan dalam agama mereka namun kemudian dimansukh (dihapus) secara total, seperti hari Sabtu atau kewajiban shalat/shaum tertentu. Maka diharamkan bagi kita untuk menyerupai mereka dalam perkara tersebut. Bahkan menyerupai mereka dalam perkara tersebut lebih jelek daripada menyerupai mereka dalam perkara jenis pertama.
3. Perkara yang mereka ada-adakan dalam hal ibadah, adat, atau ibadah yang berkaitan dengan adat. Maka menyerupai mereka dalam jenis ini lebih jelek daripada menyerupai mereka dalam dua jenis lainnya. (Diringkas dari Iqtidhaa`ush Shiraathil Mustaqiim 1/437-477)
Bagaimana dengan Mobil, Pesawat Terbang, dan Perangkat Teknologi Lainnya?
Memanfaatkan dan meniru mobil, pesawat terbang, alat-alat sains, dan teknologi lainnya bukanlah termasuk dari tasyabbuh. Karena apa yang mereka buat dan kembangkan tersebut hakekatnya bukanlah ciri khas/kekhususan yang mereka miliki. Siapa saja baik muslim ataupun kafir yang bersungguh-sungguh mempelajari dan mengembangkannya akan mampu untuk membuatnya. Demikian pula mengimpor barang-barang tersebut dari negeri-negeri kafir dan menggunakannya, bukanlah bagian dari tasyabbuh. Karena Rasulullah sendiri pernah menggunakan produk orang-orang kafir baik pakaian, bejana, dan lain sebagainya. Sebagaimana pula beliau pernah menerima hadiah dari Muqauqis, seorang raja Mesir yang beragama Nashara. Namun bila penggunaan produk mereka diiringi dengan penerapan kebiasaan, tata cara, dan aturan yang merupakan ciri khas dari mereka (orang-orang kafir) maka yang demikian dilarang dan termasuk dari tasyabbuh. (Diringkas dari Muqaddimah (Muhaqqiq) Iqtidhaa` Ash-Shiraathil Mustaqiim 1/48 dengan beberapa tambahan)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin berkata,
“Adapun sesuatu yang sudah tersebar di kalangan ummat Islam dan orang-orang kafir, maka penyerupakan dalam hal ini diperbolehkan walaupun asalnya dari orang-orang kafir, selama bukan sesuatu yang dzatnya haram seperti pakaian sutra (untuk laki-laki, pent).” (Majmuu’ Duruus wa Fataawaa Al-Haramil Makkiy 3/367)
Bagaimana dengan Pantalon?
Asy-Syaikh Al-Albaniy berkata, “Pada pantalon (celana panjang yang umum dipakai kaum laki-laki saat ini, red.) ada dua musibah:
1. Pemakainya menyerupai orang-orang kafir, karena ummat Islam dahulu memakai sirwal (celana) yang luas dan lebar, yang sampai hari ini sebagiannya masih dipakai di Syiria dan Lebanon. Ummat Islam tidaklah mengenalnya kecuali setelah masa penjajahan. Dan ketika para penjajah itu hengkang, mereka tinggalkan peninggalan-peninggalan yang jelek, yang akhirnya diambil oleh (sebagian besar) ummat Islam karena kebodohannya.
2. Bahwasanya pantalon itu membentuk ‘aurat, karena ‘aurat laki-laki adalah dari lutut hingga pusar. Seorang yang mengerjakan shalat sudah seharusnya menjauhkan diri dari maksiat, lalu bagaimana dengan seseorang yang dalam keadaan sujud kepada Allah sementara kedua pantatnya bahkan di antara keduanya tampak membentuk (karena shalat memakai pantalon, pent)?! Bagaimana orang ini mengerjakan shalat (dalam keadaan demikian) sedangkan dia sedang menghadap Rabb Semesta Alam?!…” (Al-Qaulul Mubiin fii Akhthaa`il Mushalliin hal.20-21)
Bagaimana Membangun Tempat Ibadah di Bekas Tempat-Tempat Kekafiran dan Kemaksiatan?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Adapun tempat-tempat kekafiran dan kemaksiatan yang belum pernah terjadi padanya ‘adzab Allah, jika dijadikan sebagai tempat yang bernuansa keimanan dan ketaatan maka bagus (bukan termasuk tasyabbuh). Nabi telah memerintahkan penduduk Thaif agar membangun masjid di tempat sesembahan yang dahulu mereka punyai. Demikian pula penduduk Yamamah agar membangun masjid di tempat yang dahulu sebagai sinagog. Bahkan masjid beliau asalnya adalah kuburan orang-orang musyrikin (beliau bangun setelah dipindahkannya semua kuburan-kuburan tersebut ke tempat lain).” (Iqtidhaa`ush Shiraathil Mustaqiim 1/266-267)
Apakah Tasyabbuh Harus dengan Niat?
Suatu amalan yang menyerupai ciri khas orang-orang kafir akan dihukumi sebagai tasyabbuh, walaupun tidak ada niatan untuk menyerupainya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Demikian pula larangan tasyabbuh dengan mereka, mencakup perkara-perkara yang engkau niatkan untuk menyerupai mereka dan juga yang tidak engkau niatkan untuk menyerupai mereka.” (Iqtidhaa`ush Shiraathil Mustaqiim 1/473, 1/219-220, 226-227 dan 272)
Hikmah Menyelisihi Orang-Orang Kafir
Menyelisihi orang-orang kafir mempunyai hikmah yang sangat besar bagi ummat Islam. Di antara hikmahnya adalah:
1. Menyelisihi mereka dalam perkara-perkara yang zhahir (penampilan dan akhlak) merupakan suatu maslahat bagi orang-orang yang beriman. Dengan itu akan tampak perbedaan penampilan yang dapat menjauhkan mereka dari perbuatan-perbuatan para penghuni neraka tersebut.
2. Bahwasanya cara/jalan yang mereka miliki tidak keluar dari dua keadaan: merusak atau mempunyai kelemahan. Karena seluruh amalan yang mereka ada-adakan dalam agama dan juga yang masukh (terhapus dengan syari’at Islam) sifatnya merusak. Sedangkan amalan-amalan mereka yang tidak mansukh mempunyai banyak kelemahan, dan masih mengalami proses penambahan atau pengurangan dalam syari’at Islam.
3. Menyelisihi mereka merupakan sebab jayanya agama Islam.
4. Menyelisihi mereka termasuk tujuan utama diutusnya Rasulullah.
5. Dengan menyelisihi mereka akan terbedakan antara seorang muslim dengan seorang kafir, dan tidak saling menyerupai satu dengan yang lainnya. (Diringkas dari Iqtidhaa`ush Shiraathil Mustaqiim 1/197, 198, 209 dan 365)
[Diambil dari Asy-Syariah No.11/I/1425H/2004 hal.5-8]
Bagaimana dengan Valentine Day?
Valentine Day adalah hari bersejarah bagi orang-orang kafir (khususnya Nashara) dan merupakan salah satu ciri khas mereka yang selalu diperingati (dikenang dan diramaikan) pada setiap tanggal 14 Februari. Mereka menyebutnya sebagai hari kasih sayang dan cinta. Mereka saling memberikan bunga, tanda cinta dan sejenisnya kepada teman/kekasihnya.
Oleh karena valentine day merupakan salah satu kekhususan/ciri khas orang-orang kafir maka kita ummat Islam dilarang untuk ikut mengenang dan meramaikannya. Baik dengan memberikan bunga, hadiah, tanda cinta dan sejenisnya kepada seseorang.
Di samping itu, Islam telah melarang pacaran dan hal-hal yang mengarah ke sana seperti khalwat (berdua-duaan), ikhtilath dan sebagainya, yang perbuatan ini merupakan salah satu budaya dan kebiasaan orang-orang kafir.
Termasuk yang dilarang adalah ikut berjualan bunga, boneka, makanan, kueh atau coklat yang berbentuk hati dan sebagainya dalam rangka meramaikan hari tersebut. Demikian juga dilarang bagi kita untuk menampakkan kegembiraan pada hari tersebut.
Janganlah kita menjadi orang-orang yang ikut andil dan meramaikan hari-hari raya atau hari-hari kekhususan mereka.
“Dan janganlah kalian tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Al-Maa`idah:2)
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud dari ‘Abdullah bin ‘Umar)
Semoga pembahasan tentang tasyabbuh ini menjadi secercah cahaya yang dengannya Allah menunjuki kita untuk selalu mengikuti jejak Rasulullah dan para shahabatnya, dan menjauhkan kita dari jalan orang-orang kafir para penghuni neraka. Aamiin. Wallaahu A’lam.

Sumber:
Buletin Al Wala’ Wal Bara’
Edisi ke-14 Tahun ke-4 / 10 Februari 2006 M / 11 Muharrom 1427 H

http://salafiindo.wordpress.com/2007/12/16/tasyabbuh-bahaya-laten-di-tengah-ummat/

Klik disini untuk melanjutkan »»

22 Feb 2011

Pintu-Pintu Kerusakan

. 22 Feb 2011
0 komentar


Pintu-Pintu Kerusakan

 


Al Ustadz Zainul Arifin
Dzun Nun Al Mishri Rahimahullah (Seorang Ulama setelah masa tabi’ut tabi’in) berkata:
"Bukti seseorang cinta kepada Allah Azza Wa Jalla adalah cinta kepada Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam juga cinta kepada akhlaknya, amalan-amalannya, perintah-perintahnya serta sunnah-sunnahnya (ajaran beliau)"
Beliau juga berkata:
"Sesungguhnya kerusakan itu menyusupi hamba Allah Azza Wa Jalla pada enam perkara:
  1. Lemahnya niat akan amalan akhirat.
  2. Mereka menjadikan tubuh mereka sebagai jaminan (sarana) untuk melampiaskan syahwat mereka
  3. Panjangnya angan-angan mengalahkan harapan.
  4. Lebih mendahulukan keridhaan manusia daripada keridhaan Azza Wa Jalla.
  5. Mengikuti hawa nafsu dan meninggalkan sunnah (ajaran) Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam.
  6. Menjadikan ktergelinciran (kekeliruan) Ulama Salaf sebagai dalil baginya, lalu menyembunyikan keutamaan mereka"
Dinukil dari Majalah Asy Syari’ah
Vol. II/ No 24/1427 H/2006 M
Halaman 1
http://ghuroba.blogsome.com/2008/02/20/pintu-pintu-kerusakan/

Klik disini untuk melanjutkan »»

Beriman dan Beramal Shalih dengan Sebenarnya

.
0 komentar

undefined

Beriman dan Beramal Shalih dengan Sebenarnya

 


Syaikh Abdurrahman Bin Nasir As Sa’di
Sarana yang paling agung yang merupakan sarana pokok dan dasar bagi tergapainya hidup bahagia adalah beriman dan beramal shalih. Allah Azza Wa Jalla berfirman (yang artinya), "Barangsiapa yang melakukan amal shalih [1] baik pria maupun wanita, sedangkan ia beriman, maka sesungguhnya akan Kami karuniakan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka lakukan."(An Nahl:97)
Kepada orang yang memadukan antara iman dan amal shalih, Allah Ta’ala memberitahukan dan menjanjikan kehidupan yang lebih baik di dunia dan pahala yang baik di dunia maupun di akhirat.
Sebabnya jelas, karena orang-orang yang beriman kepada Allah dengan iman yang benar lagi membuahkan amal shalih yang mampu memperbaiki hati, akhlak, urusan duniawi dan ukhrawi, mereka memiliki prinsip-prinsip mendasar dalam menyambut datangnya kesenangan dan kegembiraan, ataupun datangnya keguncangan, kegundahan dan kesedihan.
Mereka menyambut segala hal yang menyenangkan dan menggembirakan dengan menerima mensyukuri dan menggunakannya untuk sesuatu yang bermanfaat. Jika mereka menggunakannya demikian niscaya hal itu akan melahirkan nilai-nilai agung dibalik kegembiraan karenanya, pendambaan kelanggengan dan keberkahannya, dan keberharapan pahala seperti pahala yang diperoleh oleh hamba yang bersyukur. Nilai-nilai itu dengan setumpuk buah dan keberkahannya justru mengungguli wujud kegembiraan-kegembiraan itu, yang itu pun bagian dari buahnya.
Mereka hadapi cobaan marabahaya, kegundahan, dan kesedihan dengan melawan apa yang mungkin dilawannya, menepis sedikit apa yang mungkin ditepis, dan bersabar terhadap apa yang harus terjadi tidak boleh tidak. Dengan demikian, dibalik cobaan-cobaan itu lahirlah nilai-nilai agung berupa sikap melawan yang penuh arti, pengalaman dan kekuatan serta kesabaran dan ketulusan untuk hanya berharap kepada Illahi. Dengan melekatnya nilai-nilai agung itu di hati, kecillah di mata mereka aneka cobaan berat. Sedang yang bersemayam di hati justru kesenangan cita-cita dan dambaan untuk menggapai karunia dan pahala dari Allah.
Rasulullah menggambarkan ini dalam hadits shahih, beliau bersabda (yang artinya), "Sungguh mengagumkan perihal mukmin. Semua yang dialaminya adalah baik. Jika ia mendapatkan hal yang menyenangkan ia bersyukur. Maka hal itu menjadi suatu kebaikan baginya. Jika ia tertimpa hal yang menyakitkan, ia bersabar. Maka hal itu menjadi suatu kebaikan baginya. Sifat itu tidak dimiliki oleh siapapun kecuali oleh seorang mukmin."[2]
Baginda Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam menerangkan bahwasanya keberuntungan, nilai kebaikan dan buah perilaku seorang mukmin berlipat ganda pada saat mengalami kesenangan ataupun cobaan. Oleh sebab itu, bisa jadi anda menjumpai dua orang yang sama-sama mengalami ujian berupa keberuntungan dan bencana. Namun, antara satu dan yang lain berbeda jauh dalam menghadapi ujian itu sesuai dengan kadar iman dan amal shalih yang ada pada diri masing-masing.
Orang yang beriman dan beramal shalih menghadapi keberuntungan dengan rasa syukur dan sikap perilaku yang membuktikan kesungguhan syukur itu, dan menghadapi bencana dengan bersabar dan sikap perilaku yang membuktikan kesungguhan kesabaran itu. Dengan demikian, hal itu dapat membuahkan di hatinya  kesenangan, kegembiraan dan hilangnya kegundahan, kesedihan, kegelisahan, kesempitan dada dan kesengsaraan hidup. Selanjutnya, kehidupan bahagia akan benar-benar menjadi realita baginya di dunia ini.
Sedangkan yang lain menghadapi kesenangan hidup dengan kecongkakan, kesombongan dan sikap yang melampaui batas. Lalu melencenglah moralnya. Ia menyambut kesenangan hidup seperti halnya binatang yang menyambut kesenangan dengan serakah dan rakus. Seiring dengan itu, hatinya tidak tentram. Bahkan hatinya tercerai berai oleh berbagai hal. Hatinya tercerai berai oleh kekhawatirannya terhadap sirnanya segala kesenangannya banyaknya benturan-benturan yang pada umumnya muncul sebagai dampaknya. Hatinya tercerai berai tak menentu, karena memang hasrat jiwa tidak mau berhenti pada suatu batas. Bahkan terus gandrung pada keinginan-keinginan yang lain yang kadangkala dapat terwujud dan kadangkala tidak dapat terwujud. Andaikan -dibayangkan- dapat terwujud, ia tetap gelisah karena hal-hal tadi. Ia pun menyambut cobaan yang sulit dengan rasa gelisah, keluh kesah khawatir dan gusar. Tidak usah anda bertanya tentang dampak buruk dari itu semua, yang berupa kesengsaraan hidup, teridapnya penyakit jiwa maupun saraf dan rasa kekhawatiran bercampur ketakutan yang bisa jadi pada gilirannya akan menyeretnya pada kondisi yang paling buruk dan malapetaka yang paling mengerikan. Karena ia tidak mempunyai harapan pada pahala Illahi dan tidak memiliki kesabaran yang mampu melipurkan hatinya dan meringankan beban yang dirasakannya. Semuanya dapat dilihat melalui pengalaman. 
Satu Gambaran: Jika anda mengamati dan menilan keadaan orang pada umumnya dengan barometer iman dan amal shaleh, maka anda akan melihat perbedaan jauh antara orang mukmin yang berbuat sesuai dengan tuntutan imannya dan yang tidak demikian. Hal itu karena Islam sangat menganjurkan Qonaah (menerima dengan penuh kerelaan) terhadap rezeki dari Allah dan terhadap ragam karunia dan kemurahan-Nya yang diberikan-Nya kepada hamba-Nya.
Orang mukmin, jika diuji dengan datangnya penyakin atau kefakiran atau semacamnya -yang setiap orang bisa menjadi sasaran cobaan itu-, maka dengan iman dan jiwa qonaah serta ridha terhadap apa yang diberikan Allah kepadanya, anda akan dapati ia berhati sejuh dan bermata ceria, tidak menuntut sesuatu yang tidak ditakdirkan untuknya. Di segi materi, ia memandang kepada yang lebih rendah, tidak memandang kepada yang lebih atas. Bisa jadi kegembiraan, kesenangan, dan ketentraman batinnya melebihi orang yang meraih semua keinginan duniawinya jika orang itu tidak dikarunai jiwa qonaah.
Kemudian anda dapati orang yang tidak berbuat sesuai dengan tuntutan iman, jika ia diuji dengan sedikit kefakiran saja, atau tidak diperolehnya keinginan-keinginan duniawinya, maka anda dapati ia sangat hacur dan sengsara.
Gambaran lain: Jika terjadi pada seseorang hal-hal yang menakutkan dan ia tertimpa malapetaka atau bencana, maka orang yang benar imannya akan anda dapati ia berhati teguh , berjiwa tentram lagi tegar menangani dan mennyetir sesuatu yang menimpanya dengan pikiran ucapan, dan tindakan yang dimampuinya. Ia kokohkan jiwanya untuk menghadapi bencana yang menimpanya itu. Sikap seperti ni adalah sikap yang mententramkan dan mengkukuhkan hati seseorang. 
Sebaliknya orang yang tidak memiliki iman, jika terjadi peristiwa-peristiwa yang menakutkan, anda dapati ia guncang hatinya dalam menghadapinya, saraf-sarafnya tegang dan pikirannya tercerai berai. Rasa kekhwawatiran dan ketakutan merasuk di jiwanya. Rasa ketakutan dari ancaman luar dan seribu gejolak di dalam telah tertumpuk dan menyatu dalam dirinya, yang tidak mungkin digambarkan. Manusia semacam ini, jika tidak memiliki beberapa sarana terapi alami yang hal itu membutuhkan latihan banyak, maka ketahanan dirinya akan luluh dan saraf-sarafnya akan pun tegang. Itu semua karena ia tidak memiliki iman yang dapat membawanya untuk bersabar, terutama dalam situasi sulit dan kondisi yang menyedihkan lagi menguncangkan.
Orang baik dan orang jahat, orang mukmin dan orang kafir adalah sama di sisi keberanian yang diperoleh melalui upaya atau latihan dan di sisi naluri (instinct) yang berfungsi melipur dan menurunkan volume rasa takut. Akan tetapi, orang mukmin dengan kekuatan imannya, kesabarannya, kepasrahannya, dan kebersandarannya kepada Allah dan keberharapannya pada pahala-Nya, ia unggul dengan memiliki nilai-nilai lebih yang meningkatkan keberaniannya, meringankan tekanan rasa takutnya, dan membuatnya memandang kecil segala kesulitan yang dhadapinya. Allah berfirman (yang artinya), "Jika kamu menderita kesakitan, sesungguhnya mereka pun menderita kesakitan (pula), sebagaimana apa yang kamu derita. Sedangkan kamu mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan[3]" (QS Annisa:104)
Para mukminin dianugrahi ma’unah (pertolongan), ma’iyah (rasa kebersamaan), dan madad (bantuan) Allah yang khusus yang dapat menyirnakan segala ketakutan.
Allah berfirman (yang artinya), "Dan bersabarlah, sesungguhnya Allah bersama [4] orang-orang yang sabar" (QS Al Anfal:46)
Catatan Kaki (Penerjemah):
[1] Ibnu Katsir dalam Tafsirul Qur’anil Adzim berkata: man amila shalihan; wa huwa al amalul mutabi’ li kitabillahi wa sunnati nabiyyihi sholalallahu ‘alaihi wasallam, maksudnya yaitu amal perbuatan yang mengikuti kitab Allah dan sunnah nabiNya Sholallahu ‘Alaihi Wasallam.
[2] Imam Ahmad bin Hanbal, al Fathur Rabbani lil Tartibi Musnadil Imam Ahmad ibni Hanbal Asy Syaibani, Kitab Al Qadar, Muslim, Shahih Muslim, Kitab Zuhd Wa Raqaiq.
[3] Penulis dalam kitab tafsirnya Taisirul Mannan menjelaskan yaitu keberuntungan dengan memperoleh pahala-Nya dan keselamatan dari siksa-Nya.
[4] Di dalam Taisirul Mannan, Penulis menjelaskan yakni: Allah bersama dengan orang-orang yang sabar dengan mengkaruniakan pertolongan, kemenangan, dan dukungannya.   
Dinukil dari "Al Wasailul Mufidah lil hayatis Sa’idah"
Edisi Indonesia "Resep Hidup Bahagia"
Bab 1: "Beriman dan Beramal Shaleh dengan Sebenarnya", halaman 12-20
Direktorat Bidang Penerbitan dan Riset Ilmiah
Departemen Agama, wakaf, dakwah dan bimbingan Islam Arab Saudi 

Klik disini untuk melanjutkan »»

Makna Aqidah Dan Urgensinya Sebagai Landasan Agama

.
0 komentar

Makna Aqidah Dan Urgensinya Sebagai Landasan Agama



Kitab Tauhid 1
oleh: Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al fauzan
Aqidah Secara Etimologi
Aqidah berasal dari kata ‘aqd yang berarti pengikatan. Kalimat “Saya ber-i’tiqad begini” maksudnya: saya mengikat hati terhadap hal tersebut.
Aqidah adalah apa yang diyakini oleh seseorang. Jika dikatakan “Dia mempunyai aqidah yang benar” berarti aqidahnya bebas dari keraguan. Aqidah merupakan perbuatan hati, yaitu kepercayaan hati dan pembenarannya kepada sesuatu.
Aqidah Secara Syara’
Yaitu iman kepada Allah, para MalaikatNya, Kitab-kitabNya, para RasulNya dan kepada Hari Akhir serta kepada qadar yang baik maupun yang buruk. Hal ini disebut juga sebagai rukun iman.
Syari’at terbagi menjadi dua: i’tiqadiyah dan amaliyah.
I’tiqadiyah adalah hal-hal yang tidak berhubungan dengan tata cara amal. Seperti i’tiqad (kepercayaan) terhadap rububiyah Allah dan kewajiban beribadah kepadaNya, juga beri’tiqad terhadap rukun-ru­kun iman yang lain. Hal ini disebut ashliyah (pokok agama). (1)
Sedangkan amaliyah adalah segala apa yang berhubungan dengan tata cara amal. Seperti shalat, zakat, puasa dan seluruh hukum-hukum amaliyah. Bagian ini disebut far’iyah (cabang agama), karena ia di­bangun di atas i’tiqadiyah. Benar dan rusaknya amaliyah tergantung dari benar dan rusaknya i’tiqadiyah.
Maka aqidah yang benar adalah fundamen bagi bangunan agama serta merupakan syarat sahnya amal. Sebagaimana firman Allah Subhannahu wa Ta’ala:
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhan­nya.” (Al-Kahfi: 110)
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu ter­masuk orang-orang yang merugi.” (Az-Zumar: 65)
“Maka sembahlah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allahlah agama yang bersih (dari syirik).” (Az-Zumar: 2-3)
Ayat-ayat di atas dan yang senada, yang jumlahnya banyak, menunjukkan bahwa segala amal tidak diterima jika tidak bersih dari syirik. Karena itulah perhatian Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam yang pertama kali adalah pelu­rusan aqidah. Dan hal pertama yang didakwahkan para rasul kepada umatnya adalah menyembah Allah semata dan meninggalkan segala yang dituhankan selain Dia.
Sebagaimana firman Allah Subhannahu wa Ta’ala: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu’, …” (An-Nahl: 36)
Dan setiap rasul selalu mengucapkan pada awal dakwahnya: “Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada tuhan bagimu selainNya.” (Al-A’raf: 59, 65, 73, 85)
Pernyataan tersebut diucapkan oleh Nabi Nuh, Hud, Shalih, Syu’aib dan seluruh rasul. Selama 13 tahun di Makkah -sesudah bi’tsah- Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam mengajak manusia kepada tauhid dan pelurusan aqidah, karena hal itu merupakan landasan bangunan Islam. Para da’i dan para pelurus agama dalam setiap masa telah mengikuti jejak para rasul dalam berdakwah. Sehingga mereka memulai dengan dakwah kepada tauhid dan pelurusan aqidah, setelah itu mereka mengajak kepada se­luruh perintah agama yang lain.
(1) Syarah Aqidah Safariniyah, I, hal. 4.

Sumber-sumber Aqidah Yang Benar dan Manhaj Salaf dalam mengambil Aqidah

Kitab Tauhid 1
oleh: Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al fauzan
Aqidah adalah tauqifiyah. Artinya, tidak bisa ditetapkan kecuali dengan dalil syar’i, tidak ada medan ijtihad dan berpendapat di dalam­nya. Karena itulah sumber-sumbernya terbatas kepada apa yang ada di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebab tidak seorang pun yang lebih mengetahui tentang Allah, tentang apa-apa yang wajib bagiNya dan apa yang harus disucikan dariNya melainkan Allah sendiri. Dan tidak seorang pun sesudah Allah yang lebih mengetahui tentang Allah selain Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam.
Oleh karena itu manhaj Salafus Shalih dan para pengikutnya dalam mengambil aqidah terbatas pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka segala apa yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sun­nah tentang hak Allah mereka mengimaninya, meyakininya dan men­gamalkannya. Sedangkan apa yang tidak ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah mereka menolak dan menafikannya dari Allah. Karena itu tidak ada pertentangan di antara mereka di dalam i’tiqad. Bahkan aqidah mereka adalah satu dan jama’ah mereka juga satu.
Karena Allah sudah menjamin orang yang berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan Sunnah RasulNya dengan kesatuan kata, kebenaran aqidah dan kesatuan manhaj. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, …” (Ali Imran: 103)
“Maka jika datang kepadamu petunjuk daripadaKu, lalu barang­siapa yang mengikut petunjukKu, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (Thaha: 123)
Karena itulah mereka dinamakan firqah najiyah (golongan yang selamat). Sebab Rasulullah telah bersaksi bahwa merekalah yang selamat, ketika memberitahukan bahwa umat ini akan terpecah men­jadi 73 golongan yang kesemuanya di Neraka, kecuali satu golongan. Ketika ditanya tentang yang satu itu, beliau menjawab: “Mereka adalah orang yang berada di atas ajaran yang sama dengan ajaranku pada hari ini, dan para sahabatku.” (HR. Ahmad)
Kebenaran sabda baginda Rasul Shallallaahu alaihi wa Salam tersebut telah terbukti ketika sebagian manusia membangun aqidahnya di atas landasan selain Kitab dan Sunnah, yaitu di atas landasan ilmu kalam dan kaidah-kaidah manthiq yang diwarisi dari filsafat Yunani dan Romawi maka ter­jadilah penyimpangan dan perpecahan dalam aqidah yang mengakibatkan pecahnya umat dan retaknya masyarakat Islam.

Penyimpangan Aqidah Dan Cara-Cara Penanggulangannya

Kitab Tauhid 1
oleh: Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al fauzan
Penyimpangan dari aqidah yang benar adalah kehancuran dan kesesatan. Karena aqidah yang benar merupakan motivator utama bagi amal yang bermanfaat. Tanpa aqidah yang benar seseorang akan menjadi mangsa bagi persangkaan dan keragu-raguan yang lama-kelamaan mungkin menumpuk dan menghalangi dari pandangan yang benar terhadap jalan hidup kebahagiaan, sehingga hidupnya terasa sempit lalu ia ingin terbebas dari kesempitan tersebut dengan menyudahi hidup, sekali pun dengan bunuh diri, sebagaimana yang terjadi pada banyak orang yang telah kehilangan hidayah aqidah yang benar.
Masyarakat yang tidak dipimpin oleh aqidah yang benar merupakan masyarakat bahimi (hewani), tidak memiliki prinsip-prinsip hidup bahagia, sekali pun mereka bergelimang materi tetapi terkadang justru sering menyeret mereka pada kehancuran, sebagaimana yang kita lihat pada masyarakat jahiliyah.
Karena sesungguhnya kekayaan materi memerlukan taujih (pengarahan) dalam penggunaannya, dan tidak ada pemberi arahan yang benar kecuali aqidah shahihah. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:
 ”Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih.” (Al-Mu’minun: 51)
“Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Daud kurnia dari Kami. (Kami berfirman): ‘Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud’, dan Kami telah melunakkan besi untuknya, (yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya; dan kerjakanlah amalan yang saleh. Sesungguhnya Aku melihat apa yang kamu kerjakan.” (Saba’: 10-11)
Maka kekuatan aqidah tidak boleh dipisahkan dari kekuatan madiyah (materi). Jika hal itu dilakukan dengan menyeleweng kepada aqidah batil, maka kekuatan materi akan berubah menjadi sarana penghancur dan alat perusak, seperti yang terjadi di negara-negara kafir yang memiliki materi, tetapi tidak memiliki aqidah shahihah.
Sebab-sebab penyimpangan dari aqidah shahihah yang harus kita ketahui yaitu:
  1. Kebodohan terhadap aqidah shahihah, karena tidak mau (enggan) mempelajari dan mengajarkannya, atau karena kurangnya perhatian terhadapnya. Sehingga tumbuh suatu generasi yang tidak mengenal aqidah shahihah dan juga tidak mengetahui lawan atau ke­balikannya.Akibatnya, mereka meyakini yang haq sebagai sesuatu yang batil dan yang batil dianggap sebagai yang haq. Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Umar Radhiallaahu anhu :
    “Sesungguhnya ikatan simpul Islam akan pudar satu demi satu, manakala di dalam Islam terdapat orang yang tumbuh tanpa mengenal kejahiliyahan.”
  2. Ta’ashshub (fanatik) kepada sesuatu yang diwarisi dari bapak dan nenek moyangnya, sekali pun hal itu batil, dan mencampakkan apa yang menyalahinya, sekali pun hal itu benar. Sebagaimana yang difirmankan Allah Subhannahu wa Ta’ala: “Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) ne­nek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (Al-Baqarah: 170)
  3. Taqlid buta, dengan mengambil pendapat manusia dalam ma­salah aqidah tanpa mengetahui dalilnya dan tanpa menyelidiki se­berapa jauh kebenarannya. Sebagaimana yang terjadi pada golongan-golongan seperti Mu’tazilah, Jahmiyah dan lainnya. Mereka bertaqlid kepada orang-orang sebelum mereka dari para imam sesat, sehingga mereka juga sesat, jauh dari aqidah shahihah.
  4. Ghuluw (berlebihan) dalam mencintai para wali dan orang-orang shalih, serta mengangkat mereka di atas derajat yang semestinya, sehingga meyakini pada diri mereka sesuatu yang tidak mampu dilakukan kecuali oleh Allah, baik berupa mendatangkan kemanfa­atan maupun menolak kemudharatan.Juga menjadikan para wali itu sebagai perantara antara Allah dan makhlukNya, sehingga sampai pada tingkat penyembahan para wali tersebut dan bukan menyembah Allah. Mereka bertaqarrub kepada kuburan para wali itu dengan he­wan qurban, nadzar, do’a, istighatsah dan meminta pertolongan.Seba­gaimana yang terjadi pada kaum Nabi Nuh Alaihissalam terhadap orang-orang shalih ketika mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwaa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr.” [1] (Nuh: 23)Dan demikianlah yang terjadi pada pengagung-pengagung kubu­ran di berbagai negeri sekarang ini.
  5. Ghaflah (lalai) terhadap perenungan ayat-ayat Allah yang ter­hampar di jagat raya ini (ayat-ayat kauniyah) dan ayat-ayat Allah yang tertuang dalam KitabNya (ayat-ayat Qur’aniyah). Di samping itu, juga terbuai dengan hasil-hasil teknologi dan kebudayaan, sampai-sampai mengira bahwa itu semua adalah hasil kreasi manusia semata, sehingga mereka mengagung-agungkan manusia serta menisbatkan se­luruh kemajuan ini kepada jerih payah dan penemuan manusia semata.Sebagaimana kesombongan Qarun yang mengatakan: “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku.” (Al-Qashash: 78)Dan sebagaimana perkataan orang lain yang juga sombong: “Ini adalah hakku …” (Fushshilat: 50)”Sesungguhnya aku diberi nikmat itu hanyalah karena kepinta­ranku”. (Az-Zumar: 49)Mereka tidak berpikir dan tidak pula melihat keagungan Tuhan yang telah menciptakan alam ini dan yang telah menimbun berbagai macam keistimewaan di dalamnya. Juga yang telah menciptakan manusia lengkap dengan bekal keahlian dan kemampuan guna menemukan keistimewaan-keistimewaan alam serta mengfungsikannya demi kepentingan manusia. “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”. (Ash-Shaffat: 96)
    “Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, …” (Al-A’raf: 185)
    “Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menu­runkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu, dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu berlayar di lautan dengan kehendakNya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. Dan Dia telah menunduk­kan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu ma­lam dan siang. Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya.” (Ibrahim: 32-34)
Pada umumnya rumah tangga sekarang ini kosong dari pen­garahan yang benar (menurut Islam). Padahal baginda Rasulullah telah bersabda: “Setiap bayi itu dilahirkan atas dasar fitrah. Maka kedua orang-tuanyalah yang (kemudian) membuatnya menjadi Yahudi, Nashrani atau Majusi.” (HR. Al-Bukhari)
Jadi, orangtua mempunyai peranan besar dalam meluruskan jalan hidup anak-anaknya. Enggannya media pendidikan dan media informasi melaksanakan tugasnya. Kurikulum pendidikan kebanyakan tidak memberikan perhatian yang cukup terhadap pendidikan agama Islam, bahkan ada yang tidak peduli sama sekali. Sedangkan media informasi, baik media cetak maupun elektronik berubah menjadi sarana penghancur dan perusak, atau paling tidak hanya memfokuskan pada hal-hal yang bersifat materi dan hiburan semata.
Tidak memperhatikan hal-hal yang dapat meluruskan moral dan menanamkan aqidah serta menangkis aliran-aliran sesat. Dari sini, muncullah generasi yang telanjang tanpa senjata, yang tak berdaya di hadapan pasukan kekufuran yang lengkap persenjataannya.
Cara menanggulangi penyimpangan di atas teringkas dalam point-point berikut ini:
  1. Kembali kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam untuk mengambil aqidah shahihah. Sebagaimana para Salaf Shalih mengambil aqidah mereka dari keduanya. Tidak akan dapat memper­baiki akhir umat ini kecuali apa yang telah memperbaiki umat pendahulunya. Juga dengan mengkaji aqidah golongan sesat dan mengenal syubhat-syubhat mereka untuk kita bantah dan kita waspadai, karena siapa yang tidak mengenal keburukan, ia dikhawatirkan terperosok ke dalamnya.
  2. Memberi perhatian pada pengajaran aqidah shahihah, aqidah salaf, di berbagai jenjang pendidikan. Memberi jam pelajaran yang cukup serta mengadakan evaluasi yang ketat dalam menyajikan materi ini. Harus ditetapkan kitab-kitab salaf yang bersih sebagai materi pelajaran. Sedangkan kitab-kitab kelompok penyeleweng harus dijauhkan.
  3. Menyebar para da’i yang meluruskan aqidah umat Islam dengan mengajarkan aqidah salaf serta menjawab dan menolak seluruh aqidah batil.
[1] Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr adalah nama berhala-berhala yang terbesar pada kabilah-kabilah kaum Nabi Nuh, yang semula nama-nama orang shalih. (Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI. pen.).

Makna Tauhid Rububiyah dan Kefitrahannya serta Pengakuan Orang-orang Musyrik Terhadapnya.

Kitab Tauhid 1
oleh: Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al fauzan
Tauhid adalah meyakini keesaan Allah dalam rububiyah, ikhlas beribadah kepadaNya, serta menetapkan bagiNya nama-nama dan si­fat-sifatNya.
Dengan demikian, tauhid ada tiga macam: tauhid rububi­yah, tauhid uluhiyah serta tauhid asma’ wa sifat. Setiap macam dari ketiga macam tauhid itu memiliki makna yang harus dijelaskan agar menjadi terang perbedaan antara ketiganya.
Pertama: Tauhid Rububiyah

Yaitu mengesakan Allah Subhannahu wa Ta’ala dalam segala perbuatanNya, dengan meyakini bahwa Dia sendiri yang menciptakan segenap makhluk. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Allah menciptakan segala sesuatu …” (Az-Zumar: 62)
Bahwasanya Dia adalah Pemberi rizki bagi setiap manusia, bina­tang dan makhluk lainnya. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rizkinya, …” (Hud: 6)
Dan bahwasanya Dia adalah Penguasa alam dan Pengatur seme­sta, Dia yang mengangkat dan menurunkan, Dia yang memuliakan dan menghinakan, Mahakuasa atas segala sesuatu. Pengatur rotasi siang dan malam, Yang menghidupkan dan Yang mematikan.
Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: Katakanlah: “Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Eng­kau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala ke­bajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau beri rizki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas).” (Ali Imran: 26-27)
Allah telah menafikan sekutu atau pembantu dalam kekuasaan-Nya. Sebagaimana Dia menafikan adanya sekutu dalam penciptaan dan pemberian rizki.
Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: Inilah ciptaan Allah, maka perlihatkanlah olehmu kepadaku apa yang telah diciptakan oleh sembahan-sembahan (mu) selain Allah …” (Luqman: 11)
“Atau siapakah dia ini yang memberi kamu rizki jika Allah menahan rizkiNya?” (Al-Mulk: 21)
Allah menyatakan pula tentang keesaanNya dalam rububiyah-Nya atas segala alam semesta. “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-Fatihah: 2)
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakanNya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintahNya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Ma­hasuci Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-A’raf: 54)
Allah menciptakan semua makhlukNya di atas fitrah pengakuan terhadap rububiyah-Nya. Bahkan orang-orang musyrik yang menyekutukan Allah dalam ibadah juga mengakui keesaan rububiyah-Nya. Katakanlah: “Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya ‘Arsy yang besar?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak ber­takwa?” Katakanlah: “Siapakah yang di tanganNya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi ti­dak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Ka­takanlah: “(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu di­tipu?” (Al-Mu’minun: 86-89)
Jadi, jenis tauhid ini diakui semua orang. Tidak ada umat mana pun yang menyangkalnya. Bahkan hati manusia sudah difitrahkan untuk mengakuiNya, melebihi fitrah pengakuan terhadap yang lain-Nya. Sebagaimana perkataan para rasul yang difirmankan Allah: Berkata rasul-rasul mereka: “Apakah ada keragu-raguan ter­hadap Allah, Pencipta langit dan bumi?” (Ibrahim: 10)
Adapun orang yang paling dikenal pengingkarannya adalah Fir’aun. Namun demikian di hatinya masih tetap meyakiniNya. Sebagaimana perkataan Musa Alaihissalam kepadanya: Musa menjawab: “Sesungguhnya kamu telah mengetahui, bahwa tiada yang menurunkan mu’jizat-mu’jizat itu kecuali Tuhan Yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata dan sesungguhnya aku mengira kamu, hai Fir’aun, seorang yang akan binasa”. (Al-Isra’: 102)
Ia juga menceritakan tentang Fir’aun dan kaumnya: “Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombon­gan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran) nya.” (An-Naml: 14)
Begitu pula orang-orang yang mengingkarinya di zaman ini, seperti komunis. Mereka hanya menampakkan keingkaran karena ke-sombongannya. Akan tetapi pada hakikatnya, secara diam-diam batin mereka meyakini bahwa tidak ada satu makhluk pun yang ada tanpa Pencipta, dan tidak ada satu benda pun kecuali ada yang mem­buatnya, dan tidak ada pengaruh apa pun kecuali pasti ada yang mempenga-ruhinya.
Firman Allah Subhannahu wa Ta’ala: “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu? sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan).” (Ath-Thur: 35-36)
Perhatikanlah alam semesta ini, baik yang di atas maupun yang di bawah dengan segala bagian-bagiannya, anda pasti mendapati semua itu menunjukkan kepada Pembuat, Pencipta dan Pemiliknya. Maka mengingkari dalam akal dan hati terhadap pencipta semua itu, sama halnya mengingkari ilmu itu sendiri dan mencampakkannya, keduanya tidak berbeda.
Adapun pengingkaran adanya Tuhan oleh orang-orang komunis saat ini hanyalah karena kesombongan dan penolakan terhadap hasil renungan dan pemikiran akal sehat. Siapa yang seperti ini sifatnya maka dia telah membuang akalnya dan mengajak orang lain untuk menertawakan dirinya.

Pengertian Rabb Dalam Al-Qur’an Dan As-Sunnah

Kitab Tauhid 1
oleh: Dr.Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al fauzan
Rabb adalah bentuk mashdar, yang ber­arti “mengembang­kan sesuatu dari satu keadaan pada keadaan lain, sampai pada keadaan yang sempurna”. Jadi Rabb adalah kata mashdar yang dipinjam untuk fa’il (pelaku). Kata-kata Ar-Rabb tidak disebut sendirian, kecuali untuk Allah yang menjamin kemaslahatan seluruh makhluk.
Adapun jika di-idhafah-kan (ditambahkan kepada yang lain), maka hal itu bisa untuk Allah dan bisa untuk lainNya. Seperti firman Allah Subhannahu wa Ta’ala:
“Rabb semesta alam.” (Al-Fatihah: 2)
“Tuhan kamu dan Tuhan nenek-nenek moyang kamu yang da­hulu”. (Asy-Syu’ara: 26)
Dan di antaranya lagi adalah perkataan Nabi Yusuf Alaihissalam yang difirmankan oleh Allah Subhannahu wa Ta’ala:
“Terangkanlah keadaanku kepada tuanmu.” Maka syaitan men­jadikan dia lupa menerangkan (keadaan Yusuf) kepada tuannya.” (Yusuf: 42)
Dan firman Allah Subhannahu wa Ta’ala: “Kembalilah kepada tuanmu …” (Yusuf: 50)
“Adapun salah seorang di antara kamu berdua, akan memberi minum tuannya dengan khamar …” (Yusuf: 41)
Rasulullah bersabda dalam hadits “Unta yang hilang”: “Sampai sang pemilik menemukannya”. Maka jelaslah bahwa kata Rabb diperuntukkan untuk Allah jika ma’rifat dan mudhaf, sehingga kita mengatakan misalnya: “Tuhan Allah Penguasa semesta alam” atau “Tuhan manusia”.
Dan tidak diperuntukkan kepada selain Allah kecuali jika di-idhafah-kan, misalnya: tuan rumah atau pemilik unta dan lainnya. Makna “Rabbal ‘alamiin” adalah Allah Pencipta alam semesta, Pemilik, Pengurus dan Pembimbing mereka dengan segala nikmat-Nya, serta dengan mengutus para rasulNya, menurunkan kitab-kitab-Nya dan Pemberi balasan atas segala perbuatan makhlukNya.
Imam Ibnul Qayyim berkata bahwa konsekuensi rububiyah ada­lah adanya perintah dan larangan kepada hamba, membalas yang ber­buat baik dengan kebaikan, serta menghukum yang jahat atas kejaha­tannya. [1]
Pengertian Rabb Menurut Pandangan Umat-Umat Yang Sesat

Allah Subhannahu wa Ta’ala menciptakan manusia dengan fitrah mengakui tauhid serta mengetahui Rabb Sang Pencipta. Firman Allah: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia ti­dak mengetahui.” (Ar-Rum: 30)
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” (Al-A’raf: 172)
Jadi mengakui rububiyah Allah dan menerimanya adalah sesuatu yang fitri. Sedangkan syirik adalah unsur yang datang kemudian. Baginda Rasul bersabda: “Setiap bayi dilahirkan atas dasar fitrah, maka kedua orang tu­a-nyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Seandainya seorang manusia diasingkan dan dibiarkan fitrahnya, pasti ia akan mengarah kepada tauhid yang dibawa oleh para rasul, yang disebutkan oleh kitab-kitab suci dan ditunjukkan oleh alam. Akan tetapi bimbingan yang menyimpang dan lingkungan yang atheis itulah faktor penyebab yang mengubah pandangan si bayi. Dari sanalah seorang anak manusia mengikuti bapaknya dalam kesesatan dan penyimpangan.
Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman dalam hadits qudsi: “Aku ciptakan hamba-hambaKu dalam keadaan lurus bersih, maka setanlah yang memalingkan mereka.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Maksudnya, memalingkan mereka kepada berhala-berhala dan menjadikan mereka itu sebagai tuhan selain Allah. Maka mereka jatuh dalam kesesatan, keterasingan, perpecahan dan perbedaan; karena masing-masing kelompok memiliki tuhan sendiri-sendiri. Sebab, ketika mereka berpaling dari Tuhan yang hak, maka mereka akan jatuh ke dalam tuhan-tuhan palsu.
Sebagaimana firman Allah: “Maka (Zat yang demikian) itulah Allah Tuhan kamu yang sebenarnya; maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan ke­sesatan.” (Yunus: 32)
Kesesatan itu tidak memiliki batas dan tepi. Dan itu pasti terjadi pada diri orang-orang yang berpaling dari Allah Subhannahu wa Ta’ala . FirmanNya: “… manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Mahaesa lagi Mahaperkasa? Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu.” (Yusuf: 39-40)
Dan syirik dalam tauhid rububiyah, yakni dengan menetapkan adanya dua pencipta yang serupa dalam sifat dan perbuatannya, adalah mustahil. Akan tetapi sebagian kaum musyrikin meyakini bahwa tuhan-tuhan mereka memiliki sebagian kekuasaan dalam alam semesta ini. Setan telah mempermainkan mereka dalam menyembah tuhan-tuhan tersebut, dan setan mempermainkan setiap kelompok manusia berdasarkan kemampuan akal mereka.
Ada sekelompok orang yang diajak untuk menyembah orang-orang yang sudah mati dengan jalan membuat patung-patung mereka, sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Nabi Nuh Alaihissalam. Ada pula sekelompok lain yang membuat berhala-berhala dalam bentuk planet-planet. Mereka menganggap planet-planet itu mempunyai pengaruh terhadap alam semesta dan isinya.
Maka mereka membuatkan rumah-rumah untuknya serta memasang juru kuncinya. Mereka pun berselisih pandang tentang penyembahannya; ada yang menyembah matahari, ada yang menyembah bulan dan ada pula yang menyembah planet-planet lain, sampai mereka membuat piramida-piramida, dan masing-masing planet ada piramidanya sendiri-sendiri. Ada pula golongan yang menyembah api, yaitu kaum Majusi.
Juga ada kaum yang menyembah sapi, seperti yang ada di India; ke­lompok yang menyembah malaikat, kelompok yang menyembah po­hon-pohon dan batu besar. Juga ada yang menyembah makam atau kuburan yang dikeramatkan. Semua ini penyebabnya karena mereka membayangkan dan menggambarkan benda-benda tersebut mempunyai sebagian dari sifat-sifat rububiyah. Ada pula yang menganggap berhala-berhala itu mewakili hal-hal yang ghaib.
Imam Ibnul Qayyim berpendapat: “Pembuatan berhala pada mulanya adalah penggambaran ter­hadap tuhan yang ghaib, lalu mereka membuat patung berdasarkan bentuk dan rupanya agar bisa menjadi wakilnya serta mengganti kedudukannya. Kalau tidak begitu, maka sesungguhnya setiap orang yang berakal tidak mungkin akan memahat patung dengan tangannya sendiri kemudian meyakini dan mengatakan bahwa patung pahatannya sendiri itu adalah tuhan sembahannya.” [2]
Begitu pula para penyembah kuburan, baik dahulu maupun sekarang, mereka mengira orang-orang mati itu dapat membantu mereka, juga dapat menjadi perantara antara mereka dengan Allah dalam pemenuhan hajat-hajat mereka. Mereka mengatakan: “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (Az-Zumar: 3)
“Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfa’atan, dan mereka berkata: ‘Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah’.” (Yunus: 18)
Sebagaimana halnya sebagian kaum musyrikin Arab dan Nasrani mengira tuhan-tuhan mereka adalah anak-anak Allah. Kaum musyrikin Arab menganggap malaikat adalah anak-anak perempuan Allah. Orang Nasrani menyembah Isa Alaihissalam atas dasar anggapan ia sebagai anak laki-laki Allah.
Sanggahan Terhadap Pandangan Yang Batil Di Atas Allah Subhannahu wa Ta’ala telah menyanggah pandangan-pandangan tersebut:
  1. Sanggahan terhadap para penyembah berhala:
    “Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) mengang­gap Al-Lata dan Al-Uzza, dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)?” (An-Najm: 19-20)Tafsir ayat tersebut menurut Imam Al-Qurthubi, “Sudahkah eng­kau perhatikan baik-baik tuhan-tuhan ini. Apakah mereka bisa men­datangkan manfaat atau madharat, sehingga mereka itu dijadikan se­bagai sekutu-sekutu Allah?” Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Dan bacakanlah kepada mereka kisah Ibrahim. Ketika ia berkata kepada bapaknya dan kaumnya: ‘Apakah yang kamu sem­bah?’ Mereka menjawab: ‘Kami menyembah berhala-berhala dan kami senantiasa tekun menyembahnya’. Berkata Ibrahim: ‘Apa­kah berhala-berhala itu mendengar (do’a) mu sewaktu kamu berdo’a (kepadanya)? atau (dapatkah) mereka memberi manfaat kepadamu atau memberi mudharat?” Mereka men­jawab: ‘(Bukan karena itu) sebenarnya Kami mendapati nenek moyang kami berbuat demikian’.” (Asy-Syu’ara: 69-74)
    Mereka sepakat, berhala-berhala itu tidak bisa mendengar permo­honan, tidak bisa mendatangkan manfaat dan madharat. Akan tetapi mereka menyembahnya karena taklid buta kepada nenek moyang mereka. Sedangkan taklid adalah hujjah yang batil.

  2. Sanggahan terhadap penyembah matahari, bulan dan bintang.
    Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “… dan (diciptakanNya pula) matahari, bulan dan bintang-bin­tang (masing-masing) tunduk kepada perintahNya.” (Al-A’raf: 54)”Dan sebagian dari tanda-tanda kekuasaanNya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan janganlah (pula) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah Yang menciptakannya, jika kamu hanya kepadaNya saja menyembah.” (Fushshilat: 37)
  3. Sanggahan terhadap penyembah malaikat dan Nabi Isa atas dasar anggapan sebagai anak Allah.
    Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:
    “Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, …” (Al-Mu’minun: 91)
    “Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempun­yai isteri.” (Al-An’am: 101)
    “Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.” (Al-Ikhlas: 3-4)
[1] Lihat Madarijus Salikin, I, hal. 68.
[2] Ighatsatul Lahfan, II, hal. 220.
bersambung
http://belajartauhid.wordpress.com/

Klik disini untuk melanjutkan »»
 
Namablogkamu is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com | The Blog Full of Games