28 Des 2009

HARUSKAH PEMBANTU WANITA BERHIJAB DI HADAPAN MAJIKAN LAKI-LAKINYA.

. 28 Des 2009
0 komentar

HARUSKAH PEMBANTU WANITA BERHIJAB DI HADAPAN MAJIKAN LAKI-LAKINYA.


Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Baz


Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Haruskah wanita yang bekerja sebagai pembantu di rumah berhijab dari majikan laki-lakinya ?

Jawaban.
Benar, ia diwajibkan berhijab dari majikannya dan tidak boleh menampakkan perhiasan di hadapannya, dan diharamkan bagi mereka berduaan berdasarkan keumuman dalil yang melarang 'khalwat'. Melepas hijab di hadapan majikannya bisa menimbulkan fitnah, demikian pula berduaan dengannya, merupakan sebab-sebab setan menjadikan fitnah tampak seperti indah. Hanya kepada Allah kita minta pertolongan.

[Fatawa Mar'ah. 2/81]


HUKUM BERDIAM DI RUMAH YANG ADA PEMBANTUNYA, TANPA KHALWAT

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin



Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum berdiam di rumah bersama pembantu laki-laki tapi tanpa ber-khlawat ?

Jawaban.
Permasalahan pembantu sekarang telah menjadi masalah sosial yang membahayakan. Berapa banyak kita mendengar peristiwa yang menakutkan yang berhubungan dengan masalah pengadaan tenaga kerja baik laki-laki maupun perempuan. Telah jelas sekali bahayanya yang besar dalam masyarakat selain juga tidak ada kebutuhan mendesak untuk itu dan hanya menampakkan tingkat kehidupan yang sejahatera. Didalamnya terdapat sebab-sebab timbulnya fitnah yang menjadikannya harus dilarang.

Pertama.
Tidak sepantasnya bagi orang yang berakal untuk mempekerjakan pembantu di rumahnya, kecuali dalam keadaan sangat mendesak sekali, tidak sekedar karena kebutuhan biasa dan untuk menampakkan tingkat kesejahteraan hidupnya. Karena ini merupakan bahaya bagi agama, kebodohan pada akal dan membuang-buang uang.

Kedua.
Pembantu yang bekerja haruslah taat pada agama dengan mengenakan hijab secara sempurna di hadapan laki-laki yang ada di rumah tersebut. Tidak diperbolehkan baginya untuk membuka wajah dan perhiasan di hadapan mereka.

Ketiga.
Kedatangan mereka harus disertai oleh mahramnya, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Tidak diperbolehkan bagi wanita untuk bepergian kecuali bersama mahramnya"

Ada sebagian orang yang mempekerjakan pembantunya karena ikut-ikutan saja, yang akhirnya hanya membawa bencana yang besar bagi mereka. Di antaranya, wanita meninggalkan kewajiban mengurus anak dan diserahkan kepada pembantunya, sehingga anak tidak mendapatkan kasih sayang dan didikan ibunya.

Adapun pertanyaan yang ditanyakan, jawabannya adalah selama pembantu tersebut mengenakan hijab secara sempurna, maka diperbolehkan baginya untuk berdiam di rumah selama tidak berduaan dan tidak membuka apa yang seharusnya ditutupi.

[Durus wa Fatawal Haramil Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 3/347]


[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita 3, hal 137-138 Darul Haq]




Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1495&bagian=0

Klik disini untuk melanjutkan »»

TAUBAT

.
0 komentar

TAUBAT
[Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah]


Taubat yaitu : Keluar dari maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk taat
kepada-Nya. Taubat sangat dicintai oleh Allah Azza wa Jalla.

"Artinya : Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan Allah
mencintai orang-orang yang mensucikan diri".

Taubat itu wajib bagi setiap Mukmin.

"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah
dengan sebenar-benar taubat".

Taubat merupakan penyebab memperoleh kemenangan.

"Artinya : Dan, bertaubatlah kamu kepada Allah semuanya wahai orang-orang yang
beriman, mudah-mudahan kamu memperoleh kemenangan".

Dan kemenangan itu adalah mencapai apa yang dimintanya serta selamat dari yang
ditakutinya. Taubat Nasuha yaitu Taubat yang Allah akan mengampuni semua dosa
dengannya, sebesar dan sebanyak apa pun dosanya ; sebagaimana firman Allah.

"Artinya : Katakanlah ; 'Hai hamba-hambaku yang melampui batas terhadap diri
mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya
Allah mengampuni lagi Maha Penyayang" [Az-Zumar : 53]

Janganlah berputus asa dari rahmat Allah wahai saudaraku yang banyak berbuat
dosa, karena pintu taubat selalu terbuka hingga matahari terbit dari arah barat.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Sesungguhnya Allah membentangkan tangan-Nya di malam hari untuk
menerima taubat orang-orang yang bebuat dosa di siang hari, dan membentangkan
tangan-Nya di siang hari untuk menerima taubat orang yang berbuat dosa di malam
hari, sampai matahari terbit dari arah barat". [Hadits Riwayat Muslim].

Dan berapa banyak orang yang bertaubat dari dosa besar yang tak terhitung
jumlahnya, Allah menerima taubatnya, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain berserta Allah
dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar,
dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia
mendapatkan (pembalasan) dosa(nya). (Yakni) akan dilipat gandakan adzab untuknya
pada hari kiamat dan ia akan kekal dalam adzab itu, dalam keadaan terhina.
Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shaleh ; maka
kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan, Dan adalah Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang" [Al-Furqan :
68-70]

Tuabat Nasuha adalah taubat yang terkumpul di dalamnya 5 syarat.

Pertama.
Ikhlas untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala, dengan menunjukkan taubatnya keharibaan
Wajah Allah Subhanahu wa Ta'ala, untuk mendapatkan pahala-Nya serta selamat dari
adzab-Nya.

Kedua.
Menyesali perbuatan maksiatnya dengan sebenar-benarnya penyesalan serta
berkemauan keras untuk tidak berbuat lagi.

Ketiga.
Segera meninggalkan maksiat. jika ia merupakan hak Allah, maka ia harus
meninggalkannya jika itu perbuatan yang diharamkan serta bersegera menunaikan
jika itu kewajiabn yang ditinggalkan.

Keempat.
Bercita-cita untuk tidak akan kemabli lagi kepada perbuatan maksiat tersebut di
masa mendatang.

Kelima.
Tidak menjadikan taubatnya berhenti sebelum diterimanya yaitu : sebelum
datangnya ajal atau terbitnya matahari dari arah barat.
Allah berfirman.

"Artinya : Dan, tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang
mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di
antara mereka, (barulah) ia mengatakan : 'sesungguhnya saya bertaubat sekarang
..." [An-Nisa : 18]

Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Siapa yang bertaubat sebelum terbit matahari dari arah barat, niscaya
Allah terima taubatnya" [Hadits Riwayat Muslim]

Ya Allah berikanlah kepada kami taubat sebenar-benar taubat, dan terimalah semua
amalan kami, sesunguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

[Fatawa Hammah wa Risalah Fii Sifati Sholatin Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
(Sifat Shalat Nabi Shallalahu 'alaihi wa sallam) Syiakh Muhammad bin Shalih
Al-Utsaimin, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Pustaka Al-Kautsar, hal 69-72]
-------------------------------------------------------------------------

Klik disini untuk melanjutkan »»

BERJANJI DAN BERSUMPAH UNTUK MENJADI SAUDARA

.
0 komentar

BERJANJI DAN BERSUMPAH UNTUK MENJADI SAUDARA


Oleh
Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta


Pertanyaan.
Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Saya laki-laki berumur 48 tahun sedang menderita sakit, sementara saya tidak mempunyai keluarga, tetapi saya mempunyai teman akrab, seorang muslim yang taat, akhirnya saya dirawat di rumahnya. Dan isteri teman saya itu seorang muslimah yang taat, yang selalu melayani dan merawat saya, hingga saya sembuh. Setelah saya sembuh, saya ingin istri teman saya itu menjadi saudara perempuan saya sebab saya tidak mempunyai saudara sama sekali. Kemudian kami (saya, teman saya dan istrinya) meletakkan tangan di atas Al-Qur’an, dan berjanji bahwa ia menjadi saudara perempuan dan sekaligus saudara mahram saya selamanya. Dan hal ini telah mendapat persetujuan dari keluarga teman saya serta putra-putrinya, sampai sekarang ia saya anggap seperti saudara kandung. Apakah boleh saya memegang tangan atau menjadi mahramnya dalam ibadah haji, hubungan kami ini sudah diketahui oleh kerabat saya dan kerabat dia. Semoga saya mendapat jawaban secara syar’i ?

Jawaban
Kebaikan apapun yang kamu dapatkan dari temanmu dan istrinya, dan usaha apapun yang kamu lakukan agar istrinya menjadi mahram bagimu adalah tidak bisa, sebab hubungan mahram seseorang dengan wanita hanya karena tiga hal, yaitu : mahram karena hubungan nasab, mahram karena persusuan dan mahram karena hubungan perkawinan yang semuanya telah ditentukan oleh syari’at secara mutlak. Tidak boleh bagi anda memegang tangannya atau anggota tubuh lainnya dan tidak boleh pergi bersamanya dalam ibadah haji atau lainnya.

Dan juga dilarang anda berkhalwat dengannya walaupun suami dan keluarganya telah menyetujuinya. Dalam segal hal anda adalah orang lain yang tidak memiliki hubungan mahram dengan istrinya. Adapun kebaikan yang anda peroleh dari mereka berupa pelayanan, pemberian materi dan keikhlasan dalam bersahabat tidak lebih hanya merupakan pemberian yang harus disyukuri dan dibalas serta dihargai.

[Fatawa Lajnah Da’imah 9/68]


[Disalin dari kitab Al-fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq]


Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1554&bagian=0

Klik disini untuk melanjutkan »»

BERGAUL DENGAN PENGHASUT, PEMAIN KARTU DAN SEJENISNYA

.
0 komentar

BERGAUL DENGAN PENGHASUT, PEMAIN KARTU DAN SEJENISNYA


Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin


Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Sekelompok ugal-ugalan kegiatannya seputar menggunjing, menghasut, main kartu dan sejenisnya. Bolehkah bergaul dengan mereka ? Perlu diketahui, bahwa mereka adalah kelompok saya, rata-rata terikat dengan hubungan persaudaraan, garis keturunan, persahabatan dan sebagainya.

Jawabannya
Bergaul dengan kelompok sempalan tersebut berarti memakan daging mayat saudara-saudara mereka. Sungguh mereka benar-benar dungu, karena Allah telah menyebutkan di dalam Al-Qur’an

“Artinya : Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya” [Al-Hujarat : 12]

Maka mereka itu adalah orang-orang yang memakan daging manusia dalam pergaulan mereka, na’udzu billah. Mereka telah melakukan dosa besar. Yang wajib anda lakukan menasehati mereka, jika mereka mau menerima dan meninggalkan perbuatan itu, maka itulah yang diharapkan. Jika tidak, maka hendaknya anda menjauhi mereka, hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al-Qur’an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olok (oleh orang kafir), maka janganlah kamu duduk berserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam jahannam” [An-Nisa : 140]

Allah menyatakan bahwa orang-orang yang duduk-duduk bersama mereka yang apabila mendengar ayat-ayat Allah mereka mengingkarinya dan mengolok-ngoloknya, Allah menganggap orang-orang tersebut sama dengan mereka. Ini merupakan perkara serius, karena berarti mereka keluar dari agama.

Maka orang yang bergaul dengan orang-orang durhaka yang kufur terhadap ayat-ayat Allah dan mengolok-ngoloknya. Jadi orang yang duduk di tempat gunjingan adalah seperti penggunjing dalam hal dosa. Karena itu hendaknya anda menjauhi pergaulan dengan mereka dan tidak duduk-duduk bersama mereka.

Adapun hubungan kuat yang menyatukan anda dengan mereka, sama sekali tidak berguna kelak di hari kiamat, dan tidak ada gunanya saat anda sendirian di dalam kubur. Orang yang dekat, suatu saat pasti akan anda tinggalkan atau meninggalkan anda, lalu masing-masing akan menyendiri dengan amal perbuatannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman di dalam Al-Qur’an

“Artinya : Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa” [Az-Zukhruf : 67]

[Fatawa Asy-Syaikh Ibn Utsaimin, Juz 2, hal.394]


[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-3, Darul Haq]




Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1571&bagian=0

Klik disini untuk melanjutkan »»

Bergaul dengan penghasut

.
0 komentar

Bergaul dengan penghasut


www.alsofwah.or.id

Sekelompok ugal-ugalan kegiatannya seputar menggunjing, menghasut, main kartu dan sejenisnya. Bolehkah bergaul dengan mereka? Perlu diketahui, bahwa mereka adalah kelompok saya, rata-rata terikat dengan hubungan persaudaraan, garis keturunan, persahabatan dan sebagainya.

Jawaban:
Bergaul dengan kelompok sempalan tersebut berarti memakan daging mayat saudara-saudara mereka. Sunggung mereka benar-benar dungu, karena Allah telah menyebutkan di dalam al-Qur'an,

"Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yaang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya." (Al-Hujurat: 12).

Maka mereka itu adalah orang-orang yang memakan dating manusia dalam pergaulan mereka, na'udzu billah. Mereka telah melakukan dosa besar. Yang wajib anda lakukan menasehati mereka, jika mereka mau menerima dan meninggalkan perbuatan itu, maka itulah yang diharapkan. Jika tidak, maka hendaknya anda menjauhi mereka, hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala ,

"Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam al-Qur'an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembi-caraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam jahannam. " (An-Nisa': 140).

Allah menyatakan bahwa orang-orang yang duduk-duduk bersama mereka yang apabila mendengar ayat-ayat Allah mereka mengingkarinya dan mengolok-oloknya, Allah menganggap orang-orang tersebut sama dengan mereka. Ini merupakan per-kara serius, karena berarti mereka keluar dari agama. Maka orang yang bergaul dengan orang-orang durhaka selain itu adalah seperti halnya mereka yang bergaul dengan orang-orang durhaka yang kufur terhadap ayat-ayat Allah dan mengolok-oloknya. Jadi orang yang duduk di tempat gunjingan adalah seperti penggunjing dalam hal dosa. Karena itu hendaknya anda menjauhi pergaulan dengan mereka dan tidak duduk-duduk bersama mereka. Adapun hubungan kuat yang menyatukan anda dengan mereka, sama sekali tidak berguna kelak di hari kiamat, dan tidak ada gunanya saat anda sendirian di dalam kubur. Orang yang dekat, suatu saat pasti akan anda tinggalkan atau meninggalkan anda, lalu masing-masing akan menyendiri dengan amal perbuatannya. Allah Ta’ala telah berfirman di dalam al-Qur'an,

"Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa. " (Az-Zukhruf: 67).

Fatawa asy-Syaikh Ibn Utsaimin, juz 2, hal. 394

Klik disini untuk melanjutkan »»

Berdiri untuk Menyambut yang Datang

.
0 komentar

Berdiri untuk Menyambut yang Datang

www.alsofwah.or.id

Ketika seseorang masuk, sementara kami sedang duduk di suatu majlis, para hadirin berdiri untuknya, tapi saya tidak ikut berdiri. Haruskah saya ikut berdiri, dan apakah orang-orang itu berdosa?

Jawaban:
Bukan suatu keharusan berdiri untuk orang yang datang, hanya saja ini merupakan kesempurnaan etika, yaitu berdiri un-tuk menjabatnya (menyalaminya) dan menuntunnya, lebih-lebih bila dilakukan oleh tuan rumah dan orang-orang tertentu. Yang demikian ini termasuk kesempurnaan etika.

Nabi saw pernah berdiri untuk menyambut Fathimah, Fathimah pun demikian untuk menyambut kedatangan beliau. Para sahabat juga berdiri untuk menyambut Sa'd bin Mu'adz atas perintah beliau, yaitu ketika Sa'd tiba untuk menjadi pemimpin Bani Quraizah. Thalhah bin Ubaidillah juga berdiri dan beranjak dari hadapan Nabi saw ketika Ka'b bin Malik datang setelah Allah menerima taubatnya, hal itu dilakukan Thalhah untuk menyalaminya dan mengu-capkan selamat kepadanya, kemudian duduk kembali. (Peristiwa ini disaksikan oleh Nabi saw dan beliau tidak mengingkarinya). Hal ini termasuk kesempurnaan etika. Permasalahannya cukup fleksible.

Adapun yang mungkar adalah berdiri untuk pengagungan. Namun bila sekedar berdiri untuk menyambut tamu dan meng-hormatinya, atau menyalaminya atau mengucapkan selamat kepa-danya, maka hal ini disyari'atkan. Sedangkan berdirinya orang-orang yang sedang duduk untuk pengagungan, atau sekedar berdiri saat masuknya orang dimaksud, tanpa maksud menyam-butnya atau menyalaminya, maka hal ini tidak layak dilakukan. Yang lebih buruk dari itu adalah berdiri untuk menghormat, sementara yang dihormat itu duduk. Demikian ini bila dilakukan bukan dalam rangka menjaganya tapi dalam rangka menga-gungkannya.

Berdiri untuk seseorang ada tiga macam:
Pertama: Berdiri untuknya sebagai penghormatan, semen-tara yang dihormat itu dalam keadaan duduk, yaitu sebagaimana yang dilakukan oleh rakyat jelata terhadap para raja dan para pembesar mereka. Sebagaimana dijelaskan oleh Nabi saw , bahwa hal ini tidak boleh dilakukan, karena itulah Nabi saw menyuruh para sahabatnya untuk duduk ketikaa beliau shalat sambil duduk, beliau menyuruh mereka supaya duduk dan shalat bersama beliau sambil duduk( Silakan lihat, di antaranya pada riwayat al-Bukhari dalam al-Adzan (689); Muslim dalam ash-Shalah (411) dari hadits Anas.) . Seusai shalat beliau bersabda,

كِدْتُمْ آنِفاً لَتَفْعَلُوْنَ فِعْلَ فَارِسَ وَالرُّوْمِ يَقُوْمُوْنَ عَلىَ مُلُوْكِهِمْ وَهُوَ قُعُوْدٌ


"Hampir saja tadi kalian melakukan seperti yang pernah dila-kukan oleh bangsa Persia dan Romawi, mereka (biasa) berdiri untuk pra raja mereka sementara para raja itu duduk. " ( HR. Muslim dalam ash-Shalah (413) dari hadits Jabir.)

Kedua:Berdiri untuk seseorang yang masuk atau keluar tanpa maksud menyambut/mangantarnya atau menyalaminya, tapi sekedar menghormati. Sikap seperti ini minimal makruh. Para sahabat tidak pernah berdiri untuk Nabi saw apabila beliau da-tang kepada mereka, demikian ini karena mereka tahu bahwa beliau tidak menyakai hal tersebut.

Ketiga:Berdiri untuk menyambut yang datang atau menun-tunnya ke tempatnya atau mendudukkannya di tempat duduknya dan sebagainya. Yang demikian ini tidak apa-apa, bahkan termasuk sunnah, sebagaimana yang telah dijelaskan di muka.

Majmu' Fatawa Ibn Baz, juz 4, hal. 394

Klik disini untuk melanjutkan »»

Apa Yang Harus Diperbuat Oleh Seorang Pemudi Yang Hidup Di Tengah-Tengah Suasana Penuh Kemungkaran

.
0 komentar

Apa Yang Harus Diperbuat Oleh Seorang Pemudi Yang Hidup Di Tengah-Tengah Suasana Penuh Kemungkaran


APA YANG HARUS DIPERBUAT OLEH SEORANG PEMUDI YANG HIDUP DI TENGAH-TENGAH SUASANA YANG PENUH DENGAN KEMUNGKARAN.


Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Baz



Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : "Saya adalah seorang pemudi yang tinggal di daerah pedalaman bersama-sama para pelajar puteri. Alhamdulillah, Allah telah memberikan saya petunjuk kepada jalan kebenaran dan saya berpegang teguh kepadanya, tetapi saya sangat sedih sekali karena melihat di sekitar saya penuh dengan kemaksiatan dan kemungkaran, khususnya sebagian teman-teman pelajar puteri, seperti mendengar nyanyian, ghibah dan adu domba. Saya telah menasehati mereka tetapi sebagian mereka bahkan menghina saya dan mengolok-olok saya serta mengatakan bahwa saya adalah orang yang kolot. Saya mohon jawaban dari anda, apa yang harus saya perbuat ? Semoga Allah memberi anda pahala.

Jawaban.
Kewajiban anda adalah mencegah kemungkaran dengan semampunya, dengan ucapan yang baik, lemah lembut dan tutur kata yang baik serta menyebutkan ayat-ayat serta hadits-hadits yang sesuai dengan kondisi tersebut yang anda ketahui, lalu jangan ikut serta dengan mereka dalam bernyanyi dan tidak pula dalam ghibah serta tidak dalam perkataan dan pekerjaan haram lainnya. Jauhkan diri anda dari mereka sampai mereka membicarakan masalah yang lain, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Dan apabila kamu melihat orang yang memperolok-olokan ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain dan jika setan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zhalim itu sesudah teringat kembali (akan larangan tersebut)" [Al-An'am : 68]

Ketika anda menolak kemungkaran dengan lisan sesuai dengan kemampuan anda serta menjauhi perbuatan mereka, niscaya pekerjaan mereka tidak membahayakan anda dan tidak pula aib mereka menimpa anda sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu ; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk, hanya kepada Allah kamu semua kembali. Maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan" [Al-Maidah : 105]

Allah Subhanahu wa Ta'ala menerangkan bahwa orang mukmin tidak akan terkena mudharat dari orang-orang sesat apabila ia selalu dalam kebenaran dan istiqamah dalam petunjuk. Hal tersebut dengan menolak kemungkaran dan tetap dalam kebenaran, serta ajakan yang baik menuju jalan-Nya.

Niscaya Allah akan menjadikan jalan keluar untuk anda dan memberikan petunjuk kepada mereka apabila anda bersabar dan hanya mengharapkan pahala dari Allah. Saya memberi kabar gembira kepada anda dengan kebaikan yang banyak dan akibat yang terpuji selama anda selalu konsisten dalam kebenaran, menolak segala sesuatu yang mengingkarinya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertaqwa" [Al-A'raf : 128]

"Artinya : Maka bersabarlah, sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertaqwa" [Hud : 49]

"Artinya : Dan orang-orang yang berjihad (untuk mencari keridhaan) kami, benar-benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. Dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang berbuat baik" [Al-Ankabut : 69]

Semoga Allah memberi anda taufik untuk melaksanakan perbuatan yang diridhai-Nya dan memberi anda kesabaran dan keteguhan hati serta memberi taufiq saudara-saudara anda, keluarga anda dan teman-teman anda untuk melaksanakan perbuatan yang diridhai-Nya. Sesungguhnya ia Maha Mendengar lagi Maha Dekat. Dialah yang memberi petunjuk menuju jalan yang lurus.


[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita -3, hal. 204-206, Penerbit Darul Haq]




Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=mo re&article_id=226&bagian=0

Klik disini untuk melanjutkan »»

27 Des 2009

Sikap muslim dalam membenci dan memusuhi ahli bid’ah (II)

. 27 Des 2009
0 komentar

Sikap muslim dalam membenci dan memusuhi ahli bid’ah (II)
Penulis: Syaikh Dr. Ibrahim Bin Amir ar Ruhaili


Cara untuk membenci Ahli Bid'ah dan merealisasikan kebenciannya

Semua ulama ahlissunnah sepakat membenci ahli bid’ah, namun untuk merealisasikan harus memperhatikan dua masalah di bawah ini :

MASALAH PERTAMA : Cara merealisasikan kebencian kepada ahli bid’ah. Benci karena Allah termasuk amalan hati yang susah untuk direalisasikan berbeda dengan amalan lahiriah yang lebih mudah. Benci karena Allah merupakan buah dari keimanan, sehingga tidak semua orang bisa mewujudkan. Bahkan tidak mungkin terwujud, kecuali setelah sampai pada derajat keimanan yang sangat tinggi. Oleh karena itu, Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam menjadikan kebencian karena Allah sebagai tanda kesempurnaan iman sebagaimana dalam hadits Shalallahu ‘alaihi wassalam, ““Barangsiapa yang memberi karena Allah, menahan karena Allah, membenci karena Allah dan menikah karena Allah, maka telah sempurna keimanannya.” (HR Ahmad, At Tirmidzi, Al Hakim Abu Dawud dan disahihkan oleh Al Albani).

Realita ummat membuktikan bahwa membenci karena Allah berubah-ubah sesuai dengan kondisi keimanan. Ketika Iman bertambah, maka kebencian kepada musuh Allah dan para penentang syariatNya semakin bertambah, dan sangat marah tatkala melihat aturan Allah diinjak-injak.

Oleh karena itu Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam sangat marah ketika melihat aturan dan batasan Allah dilanggar hingga mukanya berubah menjadi merah karena marah.

Dari Amr bin Syuaib dari bapaknya dari kakeknya berkata, “Pernah suatu ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam mendapati para sahabat berdebat masalah takdir, tampaklah mukanya memerah seperti buah delima karena marah.”(HR Ibnu Majah dan HR Ahmad serta disahihkan dalam Shahih Ibnu Majah oleh Al Albani).

Begitu pula para Sahabat dan Ulama Salaf sangat marah, ketika melihat hukum dan aturan Allah dikebiri dan sangat membenci setiap penentang agama Allah. Berbeda dengan ummat Islam zaman ini yang sangat toleran, bermurah hati kepada musuh Allah, berkunjung, berkasih sayang dengan ucapan lembut dan tukar-menukar hadiah. Bahkan sebagian pengikut ahli sunnah zaman sekarang menaruh simpati dan kecintaan kepada Rafidhah yang banyak tersebar di sekitar Madinah, menjadikan sebagi teman karib dan sahabat dekat berkasih sayang dan makan minum bersama mereka, serta berbuka puasa bersama di meja makan Rafidhah padahal mereka menghujat para sahabat dan istri-istri Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam. Setelah itu tidak lama lagi, akidah dan agama orang tersebut akan rusak. Bila kebencian kepada musuh Allah sebagai tanda keimanannya bertambah, maka lemahnya kebencian kepada musuh sebagai tanda lemahnya iman.

Seorang muslim wajib melatih diri untuk membenci musuh Allah, menerapkan seluruh perkara yang membuat benci kepada mereka dan menghindar dari seluruh perkara yang membuat cinta kepada mereka. Diantara langkah yang harus ditempuh sebagai berikut.

Langkah pertama : Memutuskan segala penyebab timbulnya cinta dan kasih sayang dengan melakukan hal sebagai berikut :
a. Tidak memberi salam karena ucapan salam penyebab timbulnya dan tumbuhnya kecintaan kepada mereka, berdasarkan hadits dari Abu Hurairah bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Tidaklah kamu masuk surga hingga kamu beriman, tidaklah kamu beriman hingga kamu salng berkasih-sayang. Maukah kamu aku tunjukkan sesuatu bila kamu melakukannya, kamu bisa saling berkasih-sayang ? Sebarkanlah salam diantara kalian.” (HR Muslim). Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam menjelaskan bahwa memberi salam merupakan bagian dari pengikat kasih sayang diantara kaum muslimin. Sementara membenci ahli bid’ah dianjurkan, maka wajib meninggalkan salam. Imam Ahmad berkata, “Bila seorang muslim memberi salam kepada ahlu bid’ah, berarti ia mencintainya. Karena Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,”Maukah kamu aku tunjukkan sesuatu bila kamu melakukannya, kamu bisa saling berkasih-sayang ? Sebarkanlah salam diantara kalian.” (HR Muslim) (Al Adab Syar’iyyah 1/233).

b. Tidak duduk-duduk dan tinggal bersama di rumah, tempat kerja dan segala sarana yang memudahka pertemuan dan berbicara yang bisa menjadi penyebab akrab dan kasih sayang dengan mereka. Syaikh Hamud At Tuwaijiri berkata,”Jika berkasih sayang dan mencintai musuh Allah dilarang, maka ketahuilah bahwa ada beberapa hal yang bisa menumbuhkan benih cinta dan kasih sayang antara lain tinggal bersama mereka, bergaul, duduk-duduk di satu majlis, berteman, saling berkunjung, menyerahkan urusan kaum muslimin kepada mereka, berbaju dengan ciri khas baju mereka dan berperangai dengan etika mereka, serta menaruh rasa hormat kepada mereka baik berupa ucapan atau tindakan.” (Tuhfah Al Ikhwan hal 16).

c. Tidak mau menerima pemberian dan kebaikan dari mereka, karena bisa menebar benih kasih sayang. Mengingat jiwa manusia akan terpaut dengan orang yang berbuat baik kepadanya. Juga tidak memberi hadiah dalam rangka merekatkan tali persahabatan, sebab semua itu bertentangan dengan sikap membenci mereka. Abdullah bin Mubarak selalu berdo’a “Ya Allah janganlah Engkau jadikan ahli bid’ah menguasaiku dengan pemberian dan kebaikan, sehingga hatiku terpaut dengannya.” (Syarh Ushul Al I’tiqad Ahli Sunnah 1/140). Qadli ‘Iyadh dalam kitab Tartib Al Madarik menceritakan seorang bernama Imam Al Bahlul bin Rasyid Al Qairuwani salah seorang murid Imam Malik Rahimahullah,”Al Bahlul menyerahkan dua dinar kepada salah seorang temannya untuk membeli minyak zaitun yang sedap. Kemudian temannya Bahlul bertemu seseorang yang menunjukka bahwa ada seorang Nashrani memiliki minyak zaitun yang sangat sedap. Ketika mendatangi si Nashrani berkata,”Saya bertaqarrub kepada Allah dengan Bahlul sebagaimana kalian bertaqarrub dengannya”. Lalu dia memberi minyak zaitun dan ditambah dengan dua dinar. Kemudian orang tersebut menghadap kepada Bahlul dan beliau bertanya kepadanya,”Kamu sudah melaksanakan tugas maka kembalikan dua dinar kepada si Nashrani”. Ia berkata,”Kenapa ?” Ia menjawab,”Aku ingat firman Allah (لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءهُمْ أَوْ أَبْنَاءهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ Artinya : “Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Al Quran Surat Al Mujadilah 22). Aku khawatir dengan makan minyak zaitun orang Nashrani, hatiku tertaut dengannya, sehingga aku termasuk orang yang memusuhi Allah dan RasulNya dengan imbalan dunia yang rendah.” (Tartib Al Mulik, Al Qadhi ‘Iyadh1/337). Pada diri ulama Salaf terdapat suri tauladan buat kita semua dalam menjaga agama, karena jiwa manusia bertabiat lemah. Sehingga kita layak menolak pemberian musuh Allah untuk menjaga hati, agar tidak menaruh cinta dan kasih kepada musuh Allah. Apa yang saya sebutkan diatas hanya sekadar usaha dan sarana untuk membenci ahli bid’ah, sebab tidak mungkin kebencian kepada mereka terwujud kecuali dengan menutup seluruh sarana yang menjadi penyebab kasih sayang dengan mereka.

Langkah kedua : Menampakkan permusuhan lahiriyah dengan ahli bid’ah.

Tatkala permusuhan dan kebencian bagian dari amalan hati, maka perlu ada tanda ciri sebagai bentuk sikap yang tampak pada lahiriah. Bila tidak demikian, bagaimana kita tahu mereka membenci ahli bid’ah dan musuh Allah secara tulus karena Allah ?. Untuk menampakkan permusuhan dan kebencian kepada mereka dapat dilakukan dengan beberapa langkah sebagai berikut :
a. Mengungkapkan secara terus terang sikap kebencian dan permusuhan dalam lisan kepada ahli bid’ah seperti sikap Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang menyatakan secara tegas berlepas diri dan sikap permusuhan kepada kaumnya. Hal ini terdapat dalam firman Allah :
َدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَاء مِنكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاء أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
artinya : “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka:"Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.”(Al Quran Surat Al Mumtahanah 4). Meskipun ayat ini lebih spesifik kepada orang kafir, namun bisa diterapkan untuk semua orang yang memusuhi Allah, baik ahli bid’ah maupun ahli maksiat. Oleh sebab itu para ulama salaf sangat menampakkan permusuhan dan kebencian kepada ahli bid’ah, seperti pernyataan Ibnu Umar tentang Qadariyah, “Jika kamu bertemu dengan mereka, maka sampaikan kepadanya bahwa Ibnu Umar bersikap bara’ darinya dan mereka juga bara’ darinya, (sebanyak tiga kali).” Imam Muhammad Al Qaththani terus terang menampakkan kebencian kepada Asy’ariyah, beliau berkata, “Wahai Asy’ariyah, hai manusia yang paling hina, hai manusia tuli, bisu dantidak mempunyai telinga. Sesungguhnya aku sangat membenci kalian dan kelompok kalian yang membuat aku jengkel. Jikalau kedua mataku, aku sangat bersenang hati agar tidak melihatmu lagi.” (Nuniyah Al Qathani, hal 53).

b. Bermuammalah dengan mereka secara kasar dan keras. Diharapkan kebencian dan permusuhan bisa terwujud. Sehingga ulama Salaf berpegang teguh dengan manhaj ini dalam bermuammalah dengan ahlu bid’ah. Syaikh Ismail Ash Shabuni berkata,”Para ulama Salaf bersepakat untuk bersikap keras dengan ahli bid’ah, menghinakan, merendahkan, menjauhkan, menjauhi mereka serta tidak menjadikan teman dan sahabat karib bahkan menjauhi dan mengucilkan mereka dalam rangka taqarrub kepada Allah.” (Aqidah Salaf wa Ashab Al Hadits 1/134). Syaikh Bakr Abu Zaid berkata,”Para ulama Salaf menganggap bahwa menghina, merendahkan dan mengucilkan ahli bid’ah bagian dari ibadah kepada Allah.” (Hilyah Ath Tholib Al Ilmi, hal 29).

c. Menyumbat kucuran bantuan dan menggagalkan tujuan mereka. Demikian dalam usaha mereka yang mubah dan haram. Adapun menghambat usaha mereka yang mubah dalam rangka untuk menampakkan kebencian dan permusuhan, sedang menghambat usaha mereka yang haram karena kita dilarang untuk membantu mereka dalam hal yang haram, sebab Allah berfirman :
وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَن صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَن تَعْتَدُواْ وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
artinya : “Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil Haram, mendorong kamu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”(Al Quran Surat Al Maidah 2). Sikap diatas merupakan cara untuk menampakkan kebencian antara lain dengan tidak mengajak bicara mereka atau berbicara dengan kasar atau keras, atau berupa tindakan untuk memutuskan bantuan dan berusaha untuk mengganggu dan menggagalkan segala rencana dan tujuan mereka.

Sebenarnya, banyak cara untuk menunjukkan kebencian terhadap ahli bid’ah. Disini saya hanya menyebutkan beberapa contoh saja. Intinya sarana apa saja yang bisa menebar kebencian kepada ahli bid’ah dibolehkan, selama bukan suatu pelanggaran hak kepemilikannya dan kedholiman.

MASALAH KEDUA : Kebencian terhadap ahli bid’ah tidak bisa disamaratakan. Bahkan masing-masing berbeda tergantung kondisi dan status ahli bid;ah, mengingat kebid’ahan dan jauhnya mereka dari sunnah berbeda-beda (Ada yang bid’ahnya tingkat kekafiran ada yang tidak sampai murtad dari Islam, ada bid’ahnya yang mudah dikenali ada yang sangat berbahaya yakni samar, dst, red). Maka siapa yang menyamaratakan sikap kebencian kepada semua ahli bid’ah, maka dia telah melakukan kesalahan yang besar. Sebab ahli bid’ah ada yang kafir, zindik, fasik dan ada bid’ah yang kecil serta bid’ah yang besar. Meskipun semuanya masuk dalam lingkaran bid’ah yang menyesatkan dan memasukkan pelakunya ke dalam Neraka, tidak berarti sikap kita kepada mereka disamakan. Oleh karena itu, ahli bid’ah dibenci sesuai kadar kebid’ahan masing-masing. Bahkan ada sebagian ahli bid’ah masih sangat cinta dengan kebaikan, meskipun tetap harus dibenci. Sehingga dari satu sisi mereka berhak dicintai dan dari sisi lain berhak untuk dibenci.

Sudah menjadi ketetapan ahlusunnah, bila sebagian iman hilang tidak berarti lenyap semuanya. Oleh karena itu, ada seseorang yang dari satu sisi berhak mendapat imbalan dan pujian, sementara dari sisi lain berhak mendapat siksaan dan kebencian. Maka mencintai sesuai kadar keimanan yang ada dan membenci sesuai dengan hilangnya kadar keimanannya. Berbeda dengan firqah sesat seperti Jahmiyah, Murji’ah, Khawarij, Mu’tazilah yang menyatakan bahwa Iman satu perkara yang tidak dapat dipisah-pisahkan.

“Penerapan metode pengucilan sangat bergantung kepada kondisi obyek dakwah, baik dari sisi kuantitas dan kualitas. Yang menjadi sasaran inti adalah terwujudnya kesadaran dan perubahan dari pelaku kebid’ahan/kesesatan. Bila pengucilan dianggap mampu meminimalisir keburukan, maka sikap tersebut dibenarkan. Bila orang yang dikucilkan tidak sadar bahkan keburukannya semakin bertambah, sementara orang yang mengucilkan dalam posisi lemah, sehingga kerugian lebih besar volumenya dibanding kemaslahatan, maka tidak ada anjuran untuk hajr/pengucilan, namun metode persuasif lebih tepat untuk sebagian orang daripada pengucilan. Oleh karena itu terkadang Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam menggunakan metode pengucilan untuk suatu kelompok, dan terkadang menggunakan metode persuasif untuk yang lain. Sebagaimana metode yang diterapkan untuk mensikapi musuh dalam perang, terkadang dengan gencatan senjata dan terkadang dengan pemungutan jizyah/pajak, semua disesuaikan dengan kondisi dan kebaikan. Jika kita merenungi nash-nash Al Quran dan As Sunnah, banyak terdapat metode-metode tersebut di atas.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 28/206).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata,”Apabila dalam diri seseorang menyatu baik dan buruk, maksiat dan taat atau sunnah dan bid’ah, maka dia berhak diberi wala’ sebatas kebaikan yang ada dan berhak dibenci dan diberi sanksi sebatas keburukan yang ada. Berarti sekaligus dia berhak dihormati dan dimuliakan seperti pencuri miskin, harus dipotong tangannya karena mencuri dan sekaligus diberi santunan dari Baitul Mal untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Inilah manhaj Ahlussunnah yang ditentang oleh Khawarij dan Mu’tazilah, bahwa seorang muslim tidak hanya berhak mendapat imbalan atau siksaan belaka”.

Ahli Sunnah menyatakan bahwa Allah menyiksa siapa saja yang dikehendaki dari pelaku dosa besar, lalu dikeluarkan dari neraka dengan syafaat orang yang diberi izin memberi syafa’at. Atau dengan rahmat dan karunia Allah, sebagaimana yang telah menjadi ketetapan sunnah mutawatir. (Majmu’ Fatawa 28/209-210).

Ibnu Abu Izz al Hanafi berkata,”Sikap cinta dan benci sesuai dengan kebaikan dan keburukan yang ada. Karena pada diri seseorang bisa berkumpul dua sisi perilaku, dari satu sisi berhak diberi wala’ dan cinta dan dari sisi lain berhak dibenci dan dimusuhi. Hukum yang berlaku adalah yang ghalib. (Syarh Aqidah Ath Thahawiyah 434).

Kesimpulan, hasil yang dapat dipetik dari penjelasan diatas ada dua faidah besar antara lain :
Pertama : Ahli Bid’ah dibenci hanya sebatas keburukan yang ada. Kebencian kita kepada ahli bid’ah yang masih muslim tidak boleh sama dengan ahli bid’ah yang telah divonis kafir, meskipun mereka menyamakan secara umum dari sisi penentuan status muslim atau kafirnya ahli bid’ah.

Kedua: Ahli bid’ah yang muslim meskipun wajib dibenci dari sisi keburukan, namun dicintai sesuai dengan kebaikan yang ada. Walaupun hanya sebatas pengucapan syahadat dan penegakan shalat.

Akan tetapi, terkadang kecintaan (kepada ahli bid’ah yang semacam ini, red) tidak tampak pada sikap lahiriah, bila perangai buruk ahli bid’ah lebih menonjol daripada perangai baik, sehingga kebencianlah yang lebih nampak.

Inilah yang dimaksud ucapan Ibnu Abu Al Izz bahwa hukum yang berlaku pada mereka tergantung pada asalnya. Artinya, pengaruh kecintaan atau kebencian tampak dalam sikap laihirah, tergantung pada perangai yang menonjol pada diri seorang ahli bid’ah tadi. Namun akar kecintaan dan kebencian tidak hilang dalam hati, tidak bisa dihilangkan secara syar’i dan akal. Sebab masing-masing ada faktor penyebabnya. Bila faktor kecintaan (karena perbuatan baiknya ahli bid’ah, red) lebih menonjol dari faktor kebencian, maka yang harus lebih tampak adalah kecintaan. Dan bila yang lebih menonjol adalah faktor kebencian (karena perbuatan jeleknya ahli bid’ah, red) daripada faktor kecintaan, maka yang harus lebih tampak sikap cinta.

Demikianlah sikap ahli sunnah dalam membenci ahli bid’ah, bertumpu pada dalil-dalil akurat dan pernyataan tegas dari ulama Salaf.

Daftar Istilah Penting:
As Sunnah = Meniti jalan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dan meniru tingkah laku beliau dalam tiga hal, ucapan, perbuatan dan akidah.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah vol 4/180). Sunnah menjadi lawan dari bid’ah. Sunnah adalah jalan yang ditempuh mencakup seluruh ajaran Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam, para Khulafaur Rasyidin radhiyallahu ‘anhum, baik berupa keyakinan, tindakan dan ucapan. Oleh karena itu, ruang lingkup sunnah menurut generasi salaf mencakup itu semua. Demikian diriwayatkan dari Hasan al Bashri, AL Auza’I dan Fudhail bin ‘Iyadh (Jami’ Al Ulum wal Hikam 262).

Ahli Sunnah = Pengikut kebenaran, selain mereka berarti termasuk ahli bid’ah. Mereka adalah para Sahabat dan setiap orang yang meniti manhaj mereka dari kalangan Tabi’in, kemudian ahli Hadits dan para pengikut mereka dari kalangan ulama ahli Fikih, serta para pengikut mereka yang baik dari belahan bumi timur dan barat hingga saat ini.” (Al Fashl fi Al Milal wa Al Ahwa’ wa an Nihal 2/271). Ahli Sunnah adalah setiap orang yang berpegang teguh kepada Kitabullah dan sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam, serta ijma’ para generasi pertama dari kaum Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengiktui mereka dengan baik.” Barangsiapa berbicara sesuai dengan Al Quran dan As Sunnah serta ijm’a maka dia termasuk ahli sunnah.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah hal 375,346). Nama lain Ahli Sunnah adalah Ahli Sunnah wal Jama’ah, Firqah Najiyah (Golongan yang selamat), Thaifah Al Manshurah (Kelompok yang tertolong), Salafy (peniti jejak para pendahulu/salaf sholih yang setia) (Ma’alim Al Intilaq Kubra, Muh. Abdul Hadi Al Mishri 43-56, Hukm Al Intima’, Abu Zaid hal 28-40)

Bid’ah = Suatu ajaran yang tidak disyariatkan oleh Allah dan RasulNya, tidak ada perintah baik berbentuk kandungan wajib/sunnah. Adapun bila ada anjurannya, baik berbentuk wajib/dianjurkan dengan didukung dalil-dalil syar’I terhadap anjuran tersbeut, maka hal itu termasuk bagian dari Dien, meskipun terdapat perselisihan antara alim ulama dalam sebagian masalah. (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 4/107-108).

Ahli Bid’ah = Kebid’ahan yang membuat seseorang menjadi dikatakan ahli bid’ah, bila kebid;ahan tersebut telah dikenal luas oleh para ulama ahlussunnah telah menyelisihi Al Quran dan As Sunnah speerti kebid’ahan Khawarij, Rafidhah, Aqadariyah dan Murji’ah” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 35/414). Ahli Bid’ah adalah suatu ungkapan untuk semua hakikat tindakan seseorang yang membikin perkara bid’ah dalam agama, dengan merujuk pada hawa nafsunya untuk menetapkan suatu ajaran, dan menyatakan ajaran tersebut suatu yang syah, bahkan orang yang menolak ajaran tersebut dikatakan sesat, sedang yang suka menyatakan sebagai sunnah. Berbeda dengan orang yang ikut-ikutan saja, ia tidak mengikuti hawa nafsu melainkan mengikuti ajakan tokohnya (ahli bid’ah), maka orang yang taklid dalam kebid’ahan ini tidak bisa disebut ahli bid’ah (disebut sebagai pelaku bid’ah saja, red), kecuali dia ikut membuat ketetapan dan pandangan tentang baiknya perkara bid’ah tadi.” (Al I’tisham 1/162-164). Adapun ciri-cirinya mereka Ahli Bid’ah berpecah-belah dari jalan Allah, lebih mengikuti hawa nafsu pemimpinnya/dirinya, mengambil nash-nash Al Quran/Assunnah yang bisa dipelencengkan/mutasyabih, Mengkontradiksikan antara Al Quran dan As Sunnah, membenci Ahli Atsar/Ahli Hadits, menjelek-jelekkan Ahlu Sunnah, Tidak mau merujuk kepada Salaful Ummah, Mengkafirkan orang yang berbeda pendapat dengannya. (Dinukil dari Kitab Mauqif Ahlussunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa’ wal Bida’, Dr Ibrahim Ruhaili, Bab Definisi Ahli Bid’ah dan Ahli Ahwa’)

Sambungan dari Sikap muslim dalam membenci dan memusuhi ahli bid’ah (I)

(Dinukil dari Kitab Mauqif Ahlussunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa’ wal Bida’, Maktabah Al Ghura’a Al Atsriyah 1415 H, Penulis Syaikh Dr. Ibrahim Bin Amir ar Ruhaili, doktoral jurusan Aqidah dari Jami’ah Islamiyyah Madinah yang lulus dengan predikat Summa Cum Laude, edisi Indonesia Manhaj Ahli Sunnah Menghadapi Ahli Bid’ah, Bab Sikap Ahli Sunnah tentang membenci dan menampakkan permusuhan kepada Ahli Bid’ah)



Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya.
Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=415

Klik disini untuk melanjutkan »»

Sikap muslim dalam membenci dan memusuhi ahli bid’ah (I)

.
0 komentar

Sikap muslim dalam membenci dan memusuhi ahli bid’ah (I)
Penulis: Syaikh Dr. Ibrahim Bin Amir ar Ruhaili

Definisi dan Kedudukan Cinta (al Wala') dan Benci (Al Bara') dalam Islam

Cinta dan benci karena Allah merupakan bagian dari akidah Islam dan kesempurnaan iman. Muadz bin Anas meriwayatkan sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam : “Barangsiapa yang memberi karena Allah, menahan karena Allah, membenci karena Allah dan menikah karena Allah, maka telah sempurna keimanannya. (HR Ahmad, At Tirmidzi, Al Hakim, Abu Dawud dan disahihkan oleh Al Albani).

Masalah ini sangat penting dan bila saya uraikan panjang lebar, akan membuat pembahasan buku ini tak terarah. Oleh sebab itu, saya akan membatasi seputar masalah yang berkaitan dengan ahli bid’ah.

Hakikat cinta dan benci karena Allah secara umum seperti yang dituturkan para ulama diantaranya Yahya bin Muadz berkata “Hakikat cinta karena Allah adalah tidak bertambah dengan kebaikan dan tidak berkurang karena hubungan renggang. (Fathul Bari jilid I, hal 62).

Maksudnya cinta diberikan secara tulus ikhlas karena Allah. Kecintaanmu kepada seorang mukmin, tidak bertambah karena budi baik kepadamu dan tidak berkurang akibat hubungan renggang. Jika tidak demikian, maka cinta itu hanya untuk kepentingan pribadi, meskipun dibungkus dengan cinta karena Allah. Terbukti bertambah dan berkurangnya cinta sangat terpengarus oleh budi baik orang yang dicintai.

Pernyataan Yahya bin Muadz sejalan dengan hadits dari Anas bin Malik Radiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, (artinya) “Ada tiga perkara yang jika seseorang memilikinya akan merasakan manisnya iman, yaitu bila Allah dan RasulNya lebih ia cintai daripada selain keduanya dan tidak mencintai seseorang kecuali karena Allah, serta benci kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya daripadanya sebagaimana ia benci untuk dilemparkan ke neraka. (Muttafaq ‘alaihi).

Cinta karena Allah harus tulus tidak boleh tercampur oleh tujuan-tujuan yang tidak syar’i, dan harus sesuai dengan ketentuan syariat, agar diterima Allah tanpa ada unsur berlebihan (ifrath) dan meremehkan (tafrith).

Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah memberi bantahan kepada Syi’ah Rafidhah, “Cinta yang benar adalah mencintai seseorang sesuai dengan ketentuan syar’i. Bila sekarang ada seorang shalih dianggap Nabi dan pendahulu-pendahulunya, lalu dia dicintai karena hal itu, jelas ini merupakan kecintaan yang tidak benar. Sebab orang tersebut dicintai secara batil dan mencintai suatu yang tidak berwujud, seperti lelaki yang mau menikah lalu menghayal bahwa calon instrinya seorang yang kaya, cantik, taat beragama dan bernasab mulia. Dengan dasar itu, ia mencintainya. Namun ternyata, keadaaan wanita tersebut jauh di luar dugaan. Maka kecintaannya akan berkurang sejalan dengan berkurangnya keyakinannya. Hukum yang tetap karena suatu ‘illat (alasan), maka status hukum akan hilang bersama hilangnya ‘illat itu. Begitu juga orang yang mencintai sahabat secara batil, maka kecintaan itu tidak benar. Kecintaan Rafidhah kepada sahabat Ali seperti itu, sama saja mereka mencintai sesuatu yang tidak ada. Sebab anggapan dia bahwa Ali adalah imam yang maksum (tidak pernah salah, red). Sebab anggapandia bahwa Ali adalah imam maksum dan tidak ada imam setelah Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam kecuali Ali, dan mereka menganggap bahwa Abu Bakar dan Umar dzalim, perampas hak atau keduanya kafir. Bila ditampakkan di depan mereka nanti di hari Kiamat, ternyata Ali tidak lebih utama dari keduanya dan keutamaan Ali hanya sekadar mendekati keduanya. Beliau (Ali) mengakui imamah (kepemimpinan) dan keutamaan mereka berdua (Abu Bakar dan Umar) dan semua tidak ada yang maksum, serta tidak ada nash yang melegalisasi imamahnya. Jelas cinta mereka cinta palsu, bahkan mereka orang yang paling membenci Ali karena mereka membenci sifat kesempurnaan yang diakui oleh Ali tentang ketiga khalifah sebelumnya. Bahkan beliau mengakui kepemimpinan mereka. (Minhajus Sunnah 4/293-296).

Pernyataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Muadz bin Anas diatas, mengindikasikan bahwa kecintaan harus memenuhi dua syarat, yakni ikhlas dan mutaba’ah (mengikuti syariat Rasulullah). Keduanya merupakan syarat yang berlaku untuk segala jenis amalan sholih. Maka kecintaan tidak diterima kecuali harus memenuhi dua syarat tersebut. (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah I/333).

Tulus tidaknya kebencian karena Allah bisa diukur dengan kaidah, bahwa kebencian tidak bertambah karena disaikit dan tidak berkurang karena diperlakukan dengan baik. Kebencian demikian yang benar-benar tulus karena Allah dan sesuai dengan ajaran Allah. Bila tidak, maka hanya kepentingan pribadi saja. Benci yang sesuai dengan ajaran Allah adalah yang disebutkan yakni atas penyelewengan orang yang dibenci agama Allah dalam tiga perkara, yaitu kufur (kekafiran/penolakan atas syariat, red), bid’ah (perkara baru dalam agama yang tidak ada dasarnya, red) dan maksiat. Selain itu, tidak memberi pengaruh bertambah atau berkurangnya kebencian.

Syaikhul Islam berkata, “Setiap orang mukmin wajib kita berikan wala’ (kecintaan), walaupun dia berlaku aniaya dan dholim kepadamu. Dan setiap orang kafir wajib dimusuhi, walaupun memberi manfaat dan berbuat baik kepadamu. Allah mengutus utusan dan menurunkan Al Quran agar agama (yang dipeluk, red) hanya agama milik Allah saja. Seharusnya hanya mencintai para kekasihNya dan menghinakan para musuhNya serta pahala hanya untuk para kekasihNya dan siksaan untuk para musuhNya. (Majmu Fatawa 28/209).

Dalam masalah membenci orang juga harus semata-mata karena keburukan yang ada. Kebencian bertambah karena bertambahnya keburukan dan berkurang karena berkurangnya keburukan dan tidak berlebihan. Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang akamu kerjakan.” (Al Quran Surat Al Maidah 8).
Termasuk bersikap adil dalam membenci, tidak boleh membenci orang yang melakukan bid’ah kecil sama seperti orang yang melakukan bid’ah besar (yang mengeluarkan dari Islam, red) dan tidak boleh membenci pelaku dosa besar setimpal dengan membenci orang kafir.

Allah telah mengabarkan perbedaan kebencian orang-orang kafir kepada orang-orang beriman sebagaimana firman Allah :
لَتَجِدَنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَدَاوَةً لِّلَّذِينَ آمَنُواْ الْيَهُودَ وَالَّذِينَ أَشْرَكُواْ
Artinya : “Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik.” (Al Quran Surat Al Maidah 82).

Jika sikap mereka seperti itu, seharusnya kebencian kita kepada mereka juga tidak boleh sama antara orang yang sangat memusuhi orang mukmin dengan orang yang tidak begitu memusuhi. Apalagi dengan orang yang dinyatakan oleh Allah paling dekat persahabatan mereka dengan orang beriman.

Manhaj/metode ini berlaku pada setiap orang yang harus dibenci selain orang kafir, baik ahli bid’ah atau maksiat. Namun kebencian itu harus sesuai dengan kadar kebid’ahan dan kemaksiatan masing-masing.

Jadi, kedudukan cinta dan benci hendaknya tulus karena Allah dan sesuai dengan kehendak syariat. Hendaknya cinta kepada seseorang semata-mata karena perangai baik dan benci karena sifat buruk yang menyelisihi syariat yang ada pada diri seseorang. Maka kebencian terhadap ahli bid’ah semata-mata karena keluarnya mereka dari sunnah dan perbuatan bid’ahnya, sesuai dengan dalil-dalil syar’i, pernyataan Ulama Salaf dan ulama Ahli sunnah tentang kebencian dan bara’(berlepas diri) mereka dari ahli bid’ah.

Allah Ta’ala berfirman,
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءهُمْ أَوْ أَبْنَاءهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُوْلَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٍ مِّنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُوْلَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Artinya : “Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka denga pertolongan yang datang daripada-Nya.Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya.Allah ridha terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya.Mereka itulah golongan Allah.Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.” (Al Quran Surat Al Mujadilah 22).

Ayat diatas melarang untuk berkasih sayang dengan orang yang memusuhi Allah dan RasulNya, sementara ahli bid’ah secara nyata memusuhi Allah dan RasulNya dengan kebid’ahan. Permusuhan berarti perlawanan, dan bid’ah bertentangan dan bertabrakan dengan syariat. Oleh karena itu, mereka mendefinisikan bid’ah dengan sikap penentangan terhadap syari’at dalam bentuk menyalahi atau merusak dengan menambah atau menguranginya.

Imam Al Qurthubi mengomentari ayat diatas,”Imam Malik menggunakan ayat ini sebagai dasar untuk memusuhi Qadariyah dan tidak mau duduk-duduk bersama mereka.” Dari Asyhab berkata bahwa Imam Malik berkata,’Janganlah kamu duduk-duduk bersama Qadariyah dan musuhilah karena Allah berfirman :
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءهُمْ أَوْ أَبْنَاءهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
Artinya : “Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. (Al Quran Surat Al Mujadilah 22). (Tafsir Al Qurthubi 17/308).

Keimanan jelas menolak cinta kepada musuh Allah dan RasulNya. Namun Allah ingin memberi peringatan keras bagi orang yang mencintai musuh-musuh Allah dan RasulNya. Para ulama Salaf sangat membenci ahli bid’ah. Realisasinya, seorang ahli sunnah harus membenci ahli bid’ah dan kesesatannya, serta memusuhi mereka, tidak tinggal bersama mereka, tidak bersanding dan menyatakan permusuhan secara nyata dengan mereka.

Berikut sikap tegas Salafus Sholih, baik dari kalangan ulama Salaf dan khalaf. Sikap tegas ditunjukkan Ibnu Umar Rasiyalallahu ‘anhu ketika ditanya tentang orang yang mengingkari takdir, jawab beliau “Jika kamu bertemu dengan mereka, maka sampaikan kepadanya bahwa Ibnu Umar bersikap bara’ darinya dan mereka juga bara’ darinya, (sebanyak tiga kali).” (As Sunnah, Abdullah bin Ahmad, 2/420, Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah 2/588).

Juga sikap Ibnu Abbas Radiyallahu ‘anhu,”Tidak ada orang yang paling aku benci di muka bumi ini, selain orang yang datang kepadaku mengajak berdebat dalam masalah takdir. Karena mereka tidak tahu secara persis takdir Allah. Sesungguhnya Allah tidak pantas ditanya tentang apa yang Dia lakukan dan merekalah (makhluk) yang justru ditanya.” (Asy Syariah, Al Ajurri hal 213).

Ibnu ‘Aun berkata, “Tidak ada orang yang paling dibenci oleh Muhammad bin Sirrin daripada orang yang berbuat bid’ah dalam masalah takdir.” (Asy Syariah, Al Ajurri hal 219).

Syu’bah berkata,”Sufyan Ats Tsauri sangat membenci ahli bid’ah dan melarang duduk-duduk bersama mereka.” (Mukhtashar Al Hujjah, Nashr Al Maqdisi hal 460).

Imam Al Baghawi menukil ijma Ulama salaf dalam memusuhi dan menghindar dari ahli bid’ah, beliau berkata,”Para sahabat, tabi’in dan pengikut mereka serta para ulama ahli sunnah sepakat dan ijma’ dalam memusuhi dan menghindari ahli bid’ah (Aqidah Salaf Ashabul Hadits 1/131).

Hasan Al Bashri berkata,”Janganlah kalian beramah-tamah, mengajak berdebat dan mendengar kebid’ahan ahli ahwa / pengikut hawa nafsu”.

Abu Jauza’ berkata,”Lebih baik saya bertetangga dengan kera dan babi daripada bertetangga dengan manusia dari ahli bid’ah”.

Fudhail bin Iyadh berkata,”Saya sangat berharap diantara aku dengan ahli bid’ah ada tembok penghalang dari besi. Saya makan bersama orang Yahudi dan Nashrani, lebih baik daripada makan bersama ahli bid’ah”. (Al Ibanah al Kubra, 2/467 dan Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah 1/131).

Imam al Baghowi menukil riwayat bahwa para sahabat dan tab’in serta ulama sunnah telah berijma’ (bersepakat, red) dan sepakat untuk memusuhi ahli bid’ah dan memutuskan hubungan dengan mereka. (Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah, 2/638).

Demikian pula para ulama khalaf yang berijma’ untuk membenci dan memutuskan hubungan dengan ahli bid’ah. Sikap tersebut menjadi ketetapan baku ahli sunnah dan kesepakatan ulama salaf. (Syarh as Sunnah, Al Baghawi 1/227).

Syaikh Ismail Ash Shobuni ketika mensifati akidah salaf dan ahli hadits berkata,”Mereka sangat memebnci ahli bid’ah karen mereka mengada-ada perkara baru dalam agama, tidak mencintai mereka, tidak mau menjadi sahabat mereka, tidak mendengar ucapan mereka, tidak duduk-duduk bersama mereka dan tidak nberdebat dengan mereka dalam masalah agama, serta sangat menjaga telinga dari kebatilan mereka. Sebab bila masuk ke telinga dapat merusak hati dan menimbulkan was-was.” (Aqidah Salaf wa Ashabul Hadits 1/131).

Imam Al Qurthubi menukil dari Ibnu Khuwaiz bin Mindad dalam Tafsirnya,”Barang siapa yang berbicara tentang ayat-ayat Allahg tanpa ilmu, saya tidak mau duduk-duduk bersamanya dan memutuskan hubungan dengannya baik orang mukmin atau kafir. Begitu juga para rekan kami melarang masuk ke daerah musuh, gereja/tempat peribadatan orang kafir, duduk-duduk bersama orang kafir dan ahli bid’ah, tidak boleh mencintai mereka, tidak boleh mendengar ucapan mereka dan berdebat dengan mereka.” (Tafsir Al Qurtubi 7/13).

Asy Syatibi berkata, “Firqah Najiyah adalah ahli sunnah yang diperintah untuk memusuhi ahli bid’ah, mengusir dan memberi sanksi orang yang terpengaruhi, baik dengan hukuman mati atau selainnya. Dan para ulama melarang untuk berbicara dan duduk-duduk bersama mereka, sebagai bentuk permusuhan dan kebencian/” (Al I’thisam 1/120).

Syaikh Abullatif bin Abdurahman Asy Syaikh membuat tahdzir (peringatan) kepada sebagian ahlu bid’ah dari Oman yang telah menulis selebaran yang dapat mengaburkan pemahaman orang awam. “Sudah menjadi ijma’ Ulama Salaf termasuk Imam Ahmad bin Hambal bahwa mereka bersikap keras kepada ahli bid’ah, memutuskan hubungan, membiarkan, tidak berdebat dan menjauhinya sebisa mungkin, lebih mendekat kepada Allah meskipun dibenci dan dimusuhi oleh ahli bid’ah.” (Majmu ar Rasail wa Al Masail Najdiya, 3/111).

Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin berkata, “Yang dimaksud dengan memutuskan hubungan dengan ahli bid’ah adalah menjauhi mereka, tidak mencintai mereka dan tidak berwala’ loyal kepada mereka, tidak mengucapkan salam, tidak berkunjung dan tidak menjenguk ketika mereka sakit. Memutuskan hubungan dengan ahli bid’ah adalah wajib, karena Allah berfirman,
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءهُمْ أَوْ أَبْنَاءهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
Artinya : “Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. (Al Quran Surat Al Mujadilah 22). Karena Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam telah memutuskan hubungan dan tidak mengajak bicara Ka’ab bin Malik, Murarah bin Rabi’ Al Amri dan Hilal bin Umaiyah al Waqifi ketika absen dari perang Tabuk (tanpa alasan syar’i, red).” (Syarh Lum’atul I’tiqad hal 110).

Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid memberi batasan cinta dan benci karena Allah dalam kitab Hajr al Mubtadi’,”Kaidah ini termasuk logika aqidah Islam berdasarkan nash-nash dari Al Quran dan Assunnah yang banyak. Karena merupakan bagian dari ibadah yang berpahala. Bara’ dari ahli bid’ah dan menyatakan permusuhan serta memberi pelajaran dengan memutuskan hubungan hingga mereka bertaubat, merupakan ketetapan hampir dalam semua kitab-kita aqidah ahli sunnah wal jama’ah.” (Hajr al Mubtadi’ hal 19).

Bersambung ke Sikap muslim dalam membenci dan memusuhi ahli bid’ah (II)

Daftar Istilah Penting:
As Sunnah = Meniti jalan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dan meniru tingkah laku beliau dalam tiga hal, ucapan, perbuatan dan akidah.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah vol 4/180). Sunnah menjadi lawan dari bid’ah. Sunnah adalah jalan yang ditempuh mencakup seluruh ajaran Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam, para Khulafaur Rasyidin radhiyallahu ‘anhum, baik berupa keyakinan, tindakan dan ucapan. Oleh karena itu, ruang lingkup sunnah menurut generasi salaf mencakup itu semua. Demikian diriwayatkan dari Hasan al Bashri, AL Auza’I dan Fudhail bin ‘Iyadh (Jami’ Al Ulum wal Hikam 262).

Ahli Sunnah = Pengikut kebenaran, selain mereka berarti termasuk ahli bid’ah. Mereka adalah para Sahabat dan setiap orang yang meniti manhaj mereka dari kalangan Tabi’in, kemudian ahli Hadits dan para pengikut mereka dari kalangan ulama ahli Fikih, serta para pengikut mereka yang baik dari belahan bumi timur dan barat hingga saat ini.” (Al Fashl fi Al Milal wa Al Ahwa’ wa an Nihal 2/271). Ahli Sunnah adalah setiap orang yang berpegang teguh kepada Kitabullah dan sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam, serta ijma’ para generasi pertama dari kaum Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengiktui mereka dengan baik.” Barangsiapa berbicara sesuai dengan Al Quran dan As Sunnah serta ijm’a maka dia termasuk ahli sunnah.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah hal 375,346). Nama lain Ahli Sunnah adalah Ahli Sunnah wal Jama’ah, Firqah Najiyah (Golongan yang selamat), Thaifah Al Manshurah (Kelompok yang tertolong), Salafy (peniti jejak para pendahulu/salaf sholih yang setia) (Ma’alim Al Intilaq Kubra, Muh. Abdul Hadi Al Mishri 43-56, Hukm Al Intima’, Abu Zaid hal 28-40)

Bid’ah = Suatu ajaran yang tidak disyariatkan oleh Allah dan RasulNya, tidak ada perintah baik berbentuk kandungan wajib/sunnah. Adapun bila ada anjurannya, baik berbentuk wajib/dianjurkan dengan didukung dalil-dalil syar’I terhadap anjuran tersbeut, maka hal itu termasuk bagian dari Dien, meskipun terdapat perselisihan antara alim ulama dalam sebagian masalah. (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 4/107-108).

Ahli Bid’ah = Kebid’ahan yang membuat seseorang menjadi dikatakan ahli bid’ah, bila kebid;ahan tersebut telah dikenal luas oleh para ulama ahlussunnah telah menyelisihi Al Quran dan As Sunnah speerti kebid’ahan Khawarij, Rafidhah, Aqadariyah dan Murji’ah” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 35/414). Ahli Bid’ah adalah suatu ungkapan untuk semua hakikat tindakan seseorang yang membikin perkara bid’ah dalam agama, dengan merujuk pada hawa nafsunya untuk menetapkan suatu ajaran, dan menyatakan ajaran tersebut suatu yang syah, bahkan orang yang menolak ajaran tersebut dikatakan sesat, sedang yang suka menyatakan sebagai sunnah. Berbeda dengan orang yang ikut-ikutan saja, ia tidak mengikuti hawa nafsu melainkan mengikuti ajakan tokohnya (ahli bid’ah), maka orang yang taklid dalam kebid’ahan ini tidak bisa disebut ahli bid’ah (disebut sebagai pelaku bid’ah saja, red), kecuali dia ikut membuat ketetapan dan pandangan tentang baiknya perkara bid’ah tadi.” (Al I’tisham 1/162-164). Adapun ciri-cirinya mereka Ahli Bid’ah berpecah-belah dari jalan Allah, lebih mengikuti hawa nafsu pemimpinnya/dirinya, mengambil nash-nash Al Quran/Assunnah yang bisa dipelencengkan/mutasyabih, Mengkontradiksikan antara Al Quran dan As Sunnah, membenci Ahli Atsar/Ahli Hadits, menjelek-jelekkan Ahlu Sunnah, Tidak mau merujuk kepada Salaful Ummah, Mengkafirkan orang yang berbeda pendapat dengannya. (Dinukil dari Kitab Mauqif Ahlussunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa’ wal Bida’, Dr Ibrahim Ruhaili, Bab Definisi Ahli Bid’ah dan Ahli Ahwa’)

(Dinukil dari Kitab Mauqif Ahlussunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa’ wal Bida’, Maktabah Al Ghura’a Al Atsriyah 1415 H, Penulis Syaikh Dr. Ibrahim Bin Amir ar Ruhaili, doktoral jurusan Aqidah dari Jami’ah Islamiyyah Madinah yang lulus dengan predikat Summa Cum Laude, edisi Indonesia Manhaj Ahli Sunnah Menghadapi Ahli Bid’ah, Bab Sikap Ahli Sunnah tentang membenci dan menampakkan permusuhan kepada Ahli Bid’ah)



Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya.
Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=414

Klik disini untuk melanjutkan »»

Sikap Ahlussunnah dalam tahdzir dan ghibah atas ahli bid'ah (II)

.
0 komentar

Sikap Ahlussunnah dalam tahdzir dan ghibah atas ahli bid'ah (II)
Penulis: Syaikh Dr. Ibrahim Bin Amir ar Ruhaili


Masalah kedua : Menggunjing ahli bid’ah atau semua bentuk tahdzir (peringatan), sejajar dengan menghujat.

Dalam menjelaskan masalah ini ada dua poin :
Poin pertama : Sudah menjadi ketetapan ulama salaf, bahwa menggunjing sejajar dengan menghujat.
Poin kedua : Penggunaan lafadz ghibah sejajar dengan menghujat, tidak bertentangan dengan dalil haramnya ghibah.

Adapun point pertama, bahwa para ulama menggunakan lafadz ghibah sejajar dengan menghujat ahli bid’ah sebagai berikut :
- Hasan al Bahsri berkata, “Tidak dianggap ghibah dalam membicarakan ahli bid’ah”. Belai menambahkan,”Tiga orang yang menggunjing tidak diharamkan diantara mereka, karena ahli bid’ah yang berlebihan dalam kebid’ahannya.” Dalam riwayat lain, “Tidak ada ghibah bagi ahli bid’ah dan orang fasik yang menampakkan kesesatan mereka.” (Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah 1/140).
- Hani bin Ayyub bertanya kepada Muharib bin Datsaar tentang hukum menggunjing Rafidhah ? Beliau menjawab,”Kalau begitu apakah mereka suatu kaum yang jujur ?” Husain bin Ali salah seorang perawi atsar ini berkata, ”Beliau membolehkan menggunjing ahli bid’ah.” (As Sunnah, Al Khallal 5/49).
- Ibrahim An Nakhai berkata,”Tidak ada ghibah (tidak disebut ghibah yang terlarang, red) bagi ahli bid’ah”. (Syarh Ushul I’tiqad Ahlu Sunnah, 1/140, Sunan Ad Darimi 1/120).
- Sufyan bin ‘Uyainah berkata,”Membicarakan ahli bid’ah bukan termasuk perbuatan ghibah.” (Mukhtasar Al Hujjah, Nashr Al Maqdisi hal 538).

Beberapa atsar diatas membolehkan penggunaan lafadz ghibah sejajar dengan menghujat dan mentahdzir ahli bid’ah. Oleh karena itu, pernyataan mereka bahwa tidak ada ghibah dalam membicarakan ahli bid’ah, sebagai bentuk penyamaan menggunjing dengan menghujat dan semua itu dalam rangka mentahdzir ahli bid’ah.
Diantara pernyataan Ulama yang menyamakan antara ghibah dengan menghujat ahli bid’ah dan menyebutkan aib mereka adalah : Imam Bukhari, ketika memaparkan sebuah hadits tentang laki-laki yang datang ingin menemui Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam. Beliau bersabda, ”Izinkanlah, dia adalah seburuk-buruk teman bergaul.” Al Bukhari membuat bab (Boleh Menggunjing Ahli Maksiat dan Kesesatan). Sebab pencelaan Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam kepada orang tersebut bermaksud untuk mentahdzir, sehingga termasuk ghibah yang diperbolehkan.

Abu Hamid menjelaskan tentang alasan diperbolehkan ghibah, ”Ketahuilah bahwa alasan yang membolehkan menyebutkan keburukan orang lain hanya sebatas untuk mewujudkan tujuan syar’i yang tidak mungkin tercapai kecuali dengan jalan ghibah, sehingga bisa menggugurkan dosa ghibah, yang demikian itu ada enam perkara : Dan yang keempat adalah, memperingatkan ummat Islam dari keburukan ketika ada seorang fakih (pandai, red) sering mendatangi ahli bid’ah atau fasik dan anda khawatir orang tersebut terjangkiti kefasikan atau kebid’ahan. Boleh bagi anda membongkar kebid’ahan dan kefasikan mereka, selagi tujuan utama untuk menghambat penularan kebid’ahan dan kefasikan. Dalam kitab Al Furuq karya Syihabuddin Al Qarafi terdapat bab Al Farqu Baina Qaidah Muharram dengan Qaidah Ghibah Allati la Tuharram, beliau menyebut enam perkara seperti Abu Hamid dan yang keempat,”Ahli bid’ah dan tulisan yang menyesatkan harus ditampakkan aibnya dan diekspos kesesatan mereka kepada semua orang, agar orang awam dan lemah tidak terjerat dengan kesesatan tersebut dan sebisa mungkin menjauhkan ummat dari mereka. Tapi dengan syarat, tidak dengan cara melampaui batas dan tidak mengada-ada suatu tuduhan dan kebohongan berupa kefasikan dan kekejian, tetapi hanya menyebutkan yang ada. (Al Furuq 4/205 dan 4/207-208)

Imam An-Nawawi berkata, “Ghibah diperbolehkan dengan tujuan syar’i yang tidak mungkin dicapai kecuali dengan cara ghibah dan ada enam faktor. Faktor kelima yaitu seorang yang menampakkan secara terang-terangan kefasikan atau kebid’ahan seperti orang yang terang-terangan minum khamr, memusuhi orang, mengambil pajak, mengambil harta orang secara zhalim dan mengurusi perkara batil untuk mereka, boleh menyebutkan keburukan yang mereka lakukan secara terang-terangan dan diharamkan menyebutkan selain itu kecuali ada sebab syar’i lain. (Riyadh Ash Sholihin 529)

Imam An-Nawawi menyebutkan enam faktor tersebut dalam Kitab Syarh Shahih Muslim, Riyadh Ash-Shalihin dan Al-Adzkar. Sedang Imam Asy-Syaukani membahasnya dalam Kitab Raf’u Ar-Ribah Amma Yajuzu Wama la Yajuzu min Al-Ghibah, dan beliau menerima sebagian dan menolak yang lainnya. (Syarh Shahih Muslim, 16/143 dan Al-Adzkar /304)

Diantara ulama menganggap ghibah ahli bid’ah sama dengan menghujat dalam rangka mentahdzir adalah, Ibnu Shalah. Beliau berkata, ”Boleh menggunjing ahli bid’ah bahkan menyebutkan kesesatan mereka, baik di hadapan atau di belakang mereka, dengan syarat maksud utama adalah untuk menjelaskan kepada khalayak kebid’ahan mereka. Itulah yang telah dilakukan ulama salaf, baik ghibah tersebut untuk menjawab pertanyaan atau tidak”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Dua perkara dimana ghibah dibolehkan, pertama: Orang yang terang-terangan menampakkan kejahatannya seperti kezhaliman, zina dan kedua adalah kebid’ahan. Bila mereka menampakkan kemungkaran wajib dibasmi sebatas kemampuan yang ada. Barangsiapa yang bermaksiat secara sembunyi-sembunyi berarti dia menutupi harga diri dan masih mempunyai rasa malu, sehingga wajib menasihati secara sembunyi-sembunyi atau didiamkan hingga bertaubat.” (Ad-Durar As-Sunniyah 4/501-504)

Di tempat lain beliau berkata, “Apabila seseorang menampakkan kemungkaran wajib dinasihati secara terang-terangan, dan bukan merupakan suatu ghibah, sebab orang yang melakukan kemungkaran secara terang-terangan wajib dibasmi secara terang-terangan agar berhenti darinya.” (Tanbih Ulil Abshar, 198-210)

Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam menjelaskan hadits, “Dia seburuk-buruk teman bergaul”, beliau berkata, “Bisa diambil kesimpulan hukum bahwa bukan merupakan suatu ghibah membicarakan orang yang menampakkan kefasikan dan keburukan, maka para ulama menyatakan dibolehkan menggunjing untuk tujuan syar’i, yang tidak bisa dicapai kecuali dengan cara tersebut.”

Diantara ulama yang menganggap ghibah terhadap ahli bid’ah sama dengan menghujat adalah Syaikh Abdullah Babathin, Syaikh Said bin Hija dalam Kitab Ad-Durar As-Sunniyah dan Shalih bin Sa’ad As-Suhaimi dalam Kitab Tanbih Ulil Abshar.

Jadi hukum menggunjing ahli bid’ah sama dengan menghujat dan menyebarkan aib mereka menurut para ulama salaf dan ulama sunnah, semua itu boleh.

Adapun poin kedua: Penjelasan bahwa ghibah terhadap ahli bid’ah tidak bertentangan dengan dalil yang mengharamkan ghibah.

Jika ghibah terhadap ahli bid’ah berfungsi sebagai bentuk tahdzir, maka ghibah berhukum mubah. Namun untuk menepis anggapan bahwa pembolehan ghibah terhadap ahli bid’ah kontradiksi dengan hadits yang mengharamkan ghibah, bisa dijelaskan dengan dua alasan :

Pertama : Ghibah terhadap ahli bid’ah dalam rangka tahdzir hanya sebatas makna bahasa bukan makna syar’i, seperti yang dimaksud dalil-dalil yang mengharamkan ghibah.

Hal itu seperti penjelasan Ibnu Hajar tentang hadits, Sebaik-baik kampung adalah kampung Banu Najjar.” Imam Al-Bukhari memasukkan hadis ini dalam penjelasan ghibah di bawah Bab (Qoulun Nabi Khairud Dar Al-Anshar), Ibnu Hajar berkata, “Bila itu bukan termasuk ghibah. Kecuali bila kelompok yang tersisih dari keutamaan tidak terima, sehingga perlu dikecualikan. Dan hadits Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam, “Menyebut sesuatu yang dibenci saudaramu“, hal itu dilarang bila tidak ada tujuan syar’i. Namun bila ada tujuan syar’i maka tidak termasuk ghibah meskipun orang yang dibicarakan tidak senang. (Fath Al-Bari 10/471-472)

Beliau menjelaskan hadits Aisyah, “Dia seburuk-buruk teman bergaul, “ yang dibuat bab oleh Al-Bukhari (bab Ma Yajuzu min Ightiyabi Ahli Ar-Raib Wa Al-Fasad) , masih diperselisihkan sebagai bentuk ghibah. Bahkan hanya sebagai bentuk nasihat agar para pendengar berhati-hati, hanya ucapan itu tidak dilontarkan di hadapan orang tersebut karena kebaikan akhlak beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam. Jika langsung disampaikan juga baik, namun tujuan utama sudah tercapai tanpa disampaikan secara berhadapan.

Jawab : Maksud ghibah di atas hanya menurut makna bahasa. Sebab ghibah ada dua macam, ghibah menurut arti bahasa yaitu menyebut sesuatu yang dibenci oleh orang lain, baik karena faktor syar`i atau bukan, termasuk ghibah yang mubah karena ada maksud syar`i. Dan bila tidak, maka ghibah berhukum haram sehingga ulama salaf menjadikan sikap menghujat ahli bid`ah sama halnya dengan ghibah. Atau ghibah menurut pengertian syar`i yaitu membicarakan seorang muslim dengan sesuatu yang dibenci tanpa ada alasan syar`i, dan inilah ghibah yang dihaaramkan oleh nash. (Fath Al Bari 10/471)

Dengan demikian, ghibah dalam masalah ini tidak ubahnya seperti lafazh bid`ah. Bisa digunakan dalam arti bahasa, yang berkonotasi terpuji atau tercela, tergantung ada tidaknya landasan syar’i, seperti ucapan Umar bin Khattahab dalam masalah shalat tarawih, ”Ini adalah sebaik-baik bid’ah,” dan ucapan Imam Asy-Syafi’i bahwa bid’ah ada dua macam, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Akan tetapi bila yang dimaksud bid’ah menurut istlah syar’i, maka artinya adalah mengada-ada suatu ajaran dalam agama yang tidak ada petunjuk dari syariat, maka semuanya tercela. Begitu juga ghibah, bila yang dimaksud makna bahasa, bisa mubah dan bisa diharamkan. Dan termasuk ghibah yang mubah adalah ghibah terhadap ahli bid’ah untuk tujuan tahdzir. Namun bila yang dimaksud ghibah dalam isstilah syar’i, jelas diharamkan secara mutlak.

Kedua : Ghibah terhadap ahli bid’ah untuk mentahdzir orang, menghujat dan menjelaskan beragai mereka bila bila dilihat dari istilah syar’i yang diharamkan. Namun keharaman itu hilang karena ada maslahat yang lebih besar, yaitu menjelaskan kesesatan ahli bid’ah dan dosa tersebut gugur karena maslahat tersebut. Oleh sebab itu, ulama tetap membolehkan, dengan tetap meletakkan istilah syar’i tersebut pada tempatnya semula. Suatu contoh, agama memberi kemudahan untuk menggunakan hal-hal yang haram, seperti khamer, bangkai, darah dan daging babi dalam keadaan darurat, sehingga boleh meminum khamer sekedar pembasah tenggorokan atau makan daging bangkai untuk mancegah lapar, namun seteguk khamer atau secuil daging bangkai tidak berubah menjadi halal karena darurat tersebut.

Begitu juga ghibah diperbolehkan untuk suatu maslahat, seperti menggunjing ahli bid’ah dalam rangka untuk tahdzir. Tidak tertutup kemungkinan istilah syar’i ghibah masih tetap ada.

Dengan demikian syubhat di atas bisa terjawab secara tuntas. Dan sudah menjadi ketetapan ulama salaf dan ulama sunnah, bahwa menggunjing bisa berfungsi sebagai pengganti menghujat dan mencela ahli ahli bid’ah dalam rangka mentahdzir mereka, agar fitnah bid’ah tidak menjalar kepada orang lain. Bila demikian, tidak kontradiksi dengan larangan ghibah.

Namun kita harus tetap waspada terhadap ungkapan “Tidak ada ghibah bagi ahli bid’ah atau semakna dengan itu, agar tidak dipahami secara keliru oleh sebagian orang awam. Untuk itu perlu dijelaskan makna sebenarnya agar orang yang mendengarkan tidak tidak mengira boleh berghibah, meskipun hanya karena hawa nafsu atau permusuhan tidak syar’i terhadap ahli bid’ah.Terlebih zaman sekarang ini, sangat sedikit pemahaman dalam mencerna sikap ulama salaf terhadap ahli bid’ah. Sebagian orang mengira bahwa pernyataan dan atsar ulama Salaf tersebut masih bias dan terkesan kontradiksi dengan nash-nash Al-Quran dan As-Sunnah. Bahkan diantara mereka mencela ulama Salaf dan aqidah Salafiyah, karena mendengar pernyataan sebagian penceramah baik lewat mimbar jum’at, kuliah umum atau majelis ta’lim yang menukil sebagian ungkapan ulama salaf yang dipahami secara keliru, seperti ungkapan, “Allah Ta’ala tidak menerima amalan ahli bid’ah “dan ungkapan, “Allah Ta’ala menolak menerima taubat ahli bid’ah,“ dan lainnya.

Seharusnya seorang ahli ilmu menjelaskan secara shahih kepada manusia ungkapan seperti itu, dan mendudukkan pada makna dan maksud yang benar sesuai dengan kaidah agama. Jika dianggap ada ungkapan yang menimbulkan salah paham bagi pendengar, hendaknya mengganti dengan ungkapan yang lebih jelas dan tidak menimbulkan penafsiran lain. Sebab ulama Salaf menggunakan ungkapan singkat padat tersebut, untuk para penuntut ilmu yang mampu memahami secara baik. Sehingga tidak logis dan kurang bijak, bila pernyataan ulama salaf tersebut disampaikan kepada orang awam zaman sekarang dengan ungkapan apa adanya, tanpa penjelasan dan rincian yang gamblang tentang maksud ungkapan ulama salaf tersebut.

Setelah kita mengetahui bolehnya menggunjing ahli bid’ah, bahkan bisa berhukum wajib bila tidak munghkin membasmi kemungkaran kecuali dengan cara itu, namun bolehnya menggunjing ahli bid’ah harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
Pertama : Ikhlas dalam menggunjing semata-mata untuk membongkar kesesatan ahli bid’ah, dan untuk menasihati kaum muslimin agar menjauhi mereka, bukan untuk maslahat tidak syar’i seperti permusuhan pribadi, cemburu, hasad dan semisalnya. Maka dalam kondisi seperti itu, ghibah tidak boleh meskipun ahli bid’ah sangat rusak. Karena motivasi ghibah untuk kepentingan pribadi, bukan ikhlas kepada Allah Ta’ala dan menasihati kaum muslimin.

Syaikul Islam Ibnu Taimiyah setelah menjelaskan hukum menggunjing ahli bid’ah Beliau berkata, “Orang yang membicarakan ahli bid‘ah hendaknya berniat ikhlas karena Allah Ta’ala, namun bila untuk popularitas atau merusak, maka hanya sekedar berjuang untuk membela diri atau riya’. Sebab bila ikhlas karena Allah Ta’ala, dia termasuk berjihad di jalan Allah Ta’ala dan penegak amanat para Nabi dan Khalifah para Rasul, serta bertentangan dengan hadits, “Ghibah adalah bila kamu menyebut saudaramu dengan sesuatu yang dibenci ” (Majmu’ Fatawa, 28/35).

Kedua: Hendaknya ahli bid’ah yang dighibah secara terang-terangan menampakkan kebid’ahan mereka. Bila mereka melakukan bid’ah secara sembunyi-sembunyi, tidak boleh digunjing dan dicemarkan nama baiknya. Menggunjing ahli bid’ah dalam rangka membasmi kemungkaran mereka. Dan tidak mungkin hal itu diterapkan, kecuali pada ahli bid’ah yang terang-terangan menampakkan kebid’ahan.

Imam Al- Auza’i berkata, “Pendahulu kalian sangat keras terhadap lisan meraka dalam membicarakan ahli bid’ah, sangat takut hati mereka dalam rangka menjelaskan kebid’ahan mereka. Apabila mereka melakukan bid’ah secara sembunyi-sembunyi, tidak satupun di antar ulama Salaf merobek kehormatan mereka yang telah tertutup rapi, karena Allah Ta’ala telah melindungi mereka dengan taubat. Namun jika mereka secara terang-terangan menampakkan kebid’ahan, mempropagandakan kebid’ahannya sehingga bid’ah semakin merajalela, maka menebar ilmu sebagai sumber kehidupan dan menyampaikan pesan Rasul sebagai bentuk rahmat agar menjadi pegangan bagi orang yang terus berbuat jahat dan ilhad (menyimpang, red) di hari kelak” (Al-Bida’, Ibnu Wadhdhah, hal. 45).

Ketiga: hendaknya ahli bid’ah yang dibicarakan masih hidup, dan bila telah meninggal dunia tidak boleh digunjing dan tidak boleh diungkit-ungkit perbuatan bid’ah yang telah dilakukan. Juga dilarang mencelanya setelah meninggal dunia sebab Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda (yang artinya), “Janganlah kamu menghujat orang yang sudah meninggal dunia, karena dia sudah menerima balasan atas yang diperbuat “(HR. Al-Bukhari).

Poin ketiga dikarenakan, hikmah diperbolehkan ghibah sudah tidak ada setelah orangnya meninggal dunia. Karena kekhawatirann penularan bid’ah sudah tidak ada lagi, kecuali bila ahli bid’ah tersebut meninggalkan karya berupa tulisan yang membela kebid’ahan atau kesesatan dan para pengikutnya sanagt fanatik menyebarkan kebid’ahan sepeninggalnya. Bila demikian, boleh membicarakan atau menggunjing ahli bid’ah tersebut dalam rangka menjauhkan manusia dari pengaruh kesesatan kitab dan pemikirannya karena faktor yang membolehkan ghibah masih ada, yaitu adanya kekhawatiran buku dan para pengikutnya mempengaruhi orang lain.

Imam Al-Qarafi berkata, ”Jika ahli bid’ah mati tidak meninggalkan pengikut yang mengkultuskan, atau karya tulis yang membahayakan, atau tidak ada faktor yang bisa merusak orang lain, sebaiknya setelah mati harus tetap dilindungi kehormatannya, dijaga aibnya serta urusannya diserahkan kepada Allah Ta’ala” (Al-Furuq, vol. 4, hal. 208).

Keempat Bersikap adil dan obyektif ketika menilai dan membicarakan ihwal ahli bid’ah. Tidak menyebutkan kecuali perilaku yang hakiki dan tidak menghujat kecuali keburukan yang nyata-nyata dikhawatirkan akan menular kepada orang lain. Sebab Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
artinya : “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang akamu kerjakan. ” (Al-Maidah : 8)

Jika melempar tuduhan yang tidak berdasar dan membuat suatu kebohongan keji, maka bukan termasuk ghibah yang mubah, bahkan termasuk tuduhan palsu yang haram dan sebagaimana sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Jika dia tidak sesuai dengan apa yang kamu bicarakan, maka kamu telah membuat suatu tuduhan.” (HR. Muslim)

Membuat tuduhan bohong dilarang oleh Allah Ta’ala, Rasul-Nya dan para ulama salaf, karena termasuk tindak kezhaliman yang diharamkan oleh Allah Ta’ala. Sementara membicarakan ahli bid’ah dalam rangka mencari ridha Allah Ta’ala. Dan ridha Allah Ta’ala tidak bisa didapat dengan murka Allah Ta’ala, kebohongan, dhalim dan kepalsuan. Hendaknya pembicaraan sekadar untuk tahdzir, dan membuat orang lain jauh dari kebid’ahan dan kesesatan mereka, tidak lebih dari itu.

(Dinukil dari Kitab Mauqif Ahlussunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa’ wal Bida’, Maktabah Al Ghura’a Al Atsriyah 1415 H, Penulis Syaikh Dr. Ibrahim Bin Amir ar Ruhaili, doktoral jurusan Aqidah dari Jami’ah Islamiyyah Madinah yang lulus dengan predikat Summa Cum Laude, edisi Indonesia Manhaj Ahli Sunnah Menghadapi Ahli Bid’ah, Bab Sikap Ahli Sunah Tentang Menggunjing Ahli Bid'ah Agar Umat Selamat Dari Pengaruh Mereka)



Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya.
Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=417

Klik disini untuk melanjutkan »»

Sikap Ahlussunnah dalam tahdzir dan ghibah atas ahli bid'ah (I)

.
0 komentar

Sikap Ahlussunnah dalam tahdzir dan ghibah atas ahli bid'ah (I)
Penulis: Syaikh Dr. Ibrahim Bin Amir ar Ruhaili


Banyak ditemukan dalam beberapa karya para ulama dan pernyataan mereka baik dahulu baik sekarang ungkapan yang berbunyi, tidak ada ghibah buat ahli bid’ah. Namun setelah dirinci, maksudnya adalah landasan dalam menghujat ahli bid’ah dan menyebarkan keburukan ahli bid’ah, agar umat tidak terpengaruhi keburukannya.

Dalam mendudukan sikap ahli sunnah terhadap ahli bid’ah, hendaknya berangkat dari dalil-dalil yang shahih dan pernyatan ulama salaf, juga sikap itu bisa dibenarkan oleh kaidah dasar syariat. Apalagi sikap di atas termasuk lanjutan dari sikap kebencian terhadap ahli bid’ah yang tampak secara lahiriyah

Masalah ini akan di bahas dalam dua bahasan di bawah ini:
Masalah pertama : Maksud dari ungkapan di atas adalah penjelasan tentang hukum menghujat ahli bid’ah dan menyebarkan keburukan ahli bid’ah, agar umat tidak terpengaruhi keburukannya. Setelah merujuk kepada Al-Qur’an dan As-sunnah serta pernyataan para ulama, ditemukan keputusan secara jelas bahwa, ”Bahwa boleh menghujat dan menyebutkan keburukan ahli bid’ah dengan tujuan untuk menasihati umat, agar mereka tidak terpengaruhi mereka“. Dalil-dalil yang mendukung ketetapan itu banyak sekali, namun saya batasi menjadi dua bagian :
Pertama : Dalil secara umum tentang kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar, seperti dalam firman Allah Ta’ala,
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
artinya : Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung. (Al Quran Surat Ali Imran 104).
Ibnu Katsir Rahimahullah menafsirkan, ”Allah Ta’ala menghendaki agar dari segolongan umat ada yang peduli masalah amar ma’ruf dan nahi mungkar. Meskipun demikian, setiap umat tetap memiliki tanggung jawab masalah tersebut, sesuai kadar kemampuan masing-masing, berdasarkan hadist dari Abu Hurairah bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Barangsiapa yang melihat kemungkaran, hendaklah mengubah dengan tangannya (Tafsir Ibnu Katsir 1/290).

Allah Ta’ala juga mengabarkan, bahwa baik tidaknya umat tergantung pada penegakan amar ma’ruf nahi mungkar sebagaimana firman Allah Ta’ala berikut :
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُم مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
artinya : Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.
(Al Quran Surat Ali Imran 110). Menurut Mujahid, ”Umat Islam akan tetap bisa menyabet predikat umat terbaik asal memenuhi syarat di atas.”

Sedangkan menurut Imam Asy-Syaukani, “Ayat di atas berstatus hal yang berarti predikat umat terbaik sangat terkait dengan kemauan dalam beramar ma’ruf dan nahi mungkar. “(Tafsir Fath Al Qadir, Asy Syaukani 1/371).

Abu Said Al-Khudri Radiyallahu ‘anhu meriwayatkan, saya mendengar Rasalullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: ”Barangsiapa yang melihat kemungkaran hendaklah mengubah dengan tangannya, bila tidak mampu maka dengan lisannya, dan bila tidak mampu, maka dengan hatinya. Demikian itu selemah-lemah iman.”(HR Muslim).

Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam menyuruh beramar ma’ruf dan nahi mungkar dengan tiga tingkatan sesuai kadar kemampuan masing-masing.

Dari Abdullah bin Mas’ud Radiyallahu ‘anhu, nabi bersabda : “Tiada seorang nabi yang diutus Allah kepada umatnya sebelumku, melainkan ada diantara umatnya yang menjadi hawari (pembela baginya) dan sahabat yang mengambil sunnahnya, mengikuti perintahnya. Kemudian datang setelah mereka generasi yang mengucapkan sesuatu yang tidak mereka kerjakan dan mengerjakan sesuatu yang tidak diperintahkan. Maka siapa yang memerangi mereka dengan tangannya, ia seorang mukmin, siapa yang memerangi mereka dengan lisannya, ia seorang mukmin dan barang siapa memerangi mereka dengan hatinya, ia seorang mukmin. Dan selain itu tidak memiliki keimanan sebiji sawipun. (HR Muslim).

Ijma’ juga menyatakan wajibnya amar ma’ruf dan nahi mungkar, seperti yang dikatakan Imam an Nawawi, “Antara Al Quran, As Sunnah dan Ijma telah selaras dalam membuat pernyataan wajibnya amar ma’ruf dan anhi munkar. Sebab hal itu, bagian dari nasihat dalam agama dan tidak ada yang menyangkal manhaj tersebut, kecuali sebagian Rafidhah. (Syarh Shahih Muslim, 1/22)

Jika kewajiban amar ma’ruf dan nahi mungkar telah menjadi ketetapan baku, sementara bagian dari amar ma’ruf nahi mungkar adalah mengajak orang kembali kepada As-Sunnah, memperingatkan mereka dari bahaya bid’ah, membongkar keburukan ahli bid’ah menghujat mereka karena penyelewengan dari manhaj yang benar dan mengikuti hawa nafsu sehingga terjerumus dalam kerusakan, kebid’ahan, kesesatan dan penyelewengan dalam agama, agar semua manusia tahu dan menjauhi mereka.

Syaikhul Islam menjelaskan bahwa tahdzir merupakan bagian amar ma’ruf dan nahi mungkar terhadap ahli bid’ah. Ia berkata, “Orang yang mengajak kepada bid’ah, berhak mendapat sanksi berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Sanksi tersebut bisa berupa hukuman mati seperti hukuman mati yang telah diterapkan pada Jahm bin Shafwan, Ja’d bin Dirham, Ghailan Al-Qadari dan yang lainnya. Andaikata (pelakunya, red) tidak mungkin dijatuhi sanksi, namun kebid’ahan harus tetap dijelaskan kepada umat. Sebab hal itu, bagian dari dari amar ma’ruf dan nahi mungkar yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya (Majmu’ Fatawa, 35/414).

Dengan demikian, mengungkap kebid’ahan dan menyebarkan bahaya ahli bid’ah kepada semua orang, merupakan bagian amar ma’ruf dan nahi mungkar berdasarkan ketetapan dalil yang shahih.

Kedua : Dalil secara khusus yang menganjurkan untuk membongkar dan memjelaskan bahaya ahli bid’ah kepada semua umat, antara lain:
Allah Ta’ala Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
لاَّ يُحِبُّ اللّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوَءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلاَّ مَن ظُلِمَ وَكَانَ اللّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا
(yang artinya) : “Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.“ (An Nisa’:148)

Ibnu Katsir meriwayatkan penafsiran Mujahid, “Ada salah seseorang bertamu lalu tidak mendapat hak tamu secara layak. Setelah keluar dari rumah orang tersebut, dia berkata kepada orang-orang, ‘Saya bertamu ke rumah si Fulan, tapi bsaya tidak mendapat hak tamu secara layak.’Beliau berkata, “Ini adalah ucapan buruk yang disampaikan dengan terus terang kecuali oleh orang yang teraniaya hingga yang lain memberikan hak tamu kepadanya (Tafsir Ibnu Katsir, vol.1, hal. 571)”. Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan secara tegas, bahwa peristiwa itu menjadi sebab turunnya ayat di atas (Majmu’ Fatawa, vol. 28, hal 230). Apabila terus terang mengucapkan ucapan buruk untuk membela diri diperbolehkan, maka untuk membela agama Allah Ta’ala dari perusak dan pengacau agama, lebih utama dan sangat dianjurkan, agar mereka tidak menebar fitnah bid’ah di kalangan umat.

Dalil dari Sunnah antara lain hadits dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, “Ada orang yang meminta izin untuk menemui Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dan beliau bersabda, “Izinkanlah dia, sungguh dia adalah seburuk–buruk saudara atau teman bergaul. Ketika orang tersebut masuk, beliau bertutur kata manis. Lalu saya bertanya, ‘Wahai Rasulullah, engkau telah mengatakan ucapan seperti itu, kemudian tiba-tiba engkau bertutur kata manis di depannya, ‘Beliau menjawab, ‘Hai Aisyah, sejelek-jelek orang adalah orang yang dijauhi karena takut kejahatannya (HR. AL-Bukhari dalam kitab Al-Adab dan Muslim dalam kitab Al-Birr).

Imam An-Nawawi menukil pendapat Al-Qadhi, “Orang yang dimaksud adalah Uyainah bin Hishn bin Hudzaifah Al-Fazari atau Abu Malik. Ketika itu, ia belum masuk Islam, walaupun telah menampakkan keislaman. Nabi ingin menjelaskan perangainya agar semua orang mengerti dan tidak terkecoh, juga sebagai bukti perangai buruk pada masa Nabi masih hidup. Setelah beliau wafat, dia murtad bersama kelompok orang-orang murtad, yang kemudian diserahkan kepada Abu Bakar, sehingga pernyataan beliau di atas sebagai tanda kenabian. Adapun Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersikap bersikap lemah lembut dan bertutur kata manis, dalam rangka membujuk hatinya agar tertarik dengan Islam. Hadits di atas menjadi dalil diperbolehkan basi-basi untuk menghindar dari kejahatannya dan menggunjing orang fasik yang menampakkan kefasikannya (Syarh Shahih Muslim, vol.16 hal. 144).

Aisyah berkata bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Saya tidak menyangka kalau dua orang itu mengerti sedikit pun tentang agama itu ?” Laits salah seorang perawi hadits berkata, “Dua orang tersebut termasuk orang munafik” (HR. Al-Bukhari).

Sikap Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam tersebut sebagai bentuk tahdzir. Dan hukum itu bisa berlaku kepada siapa saja yang semisal dengan orang tersebut.

Menurut Ibnu Hajar, prasangka seperti itu bukan suatu yang dilarang, karena dalam rangka memberi tahdzir kepada kedua orang tersebut dan yang semisal dengan mereka (Fath Al-Bari, vol. 10, hal. 486).

Begitu juga kisah Fatimah bin Qais ketika Muawiyah bin Abu Sufyan dan Abu Jahm melamarnya, ia minta saran pada Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam, dengan siapa harus menikah? Rasululllah Shalallahu ‘alaihi wassalam menjawab, “Adapun Abu Jahm tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya dan Muawiyah bin Abu Sufyan miskin tidak punya harta” (HR. Muslim, kitab Ath-Thalaq).

Jika diperbolehkan mengungkap aib dua sahabat untuk maslahat dunia, maka membongkar aib ahli bid’ah lebih utama karena berkaitan dengan kepentingan agama umat secara umum.

Syaikhul Islam berkomentar tentang makna hadits di atas, “Demikian bagian dari nasihat buat wanita tersebut, meskipun harus menyebutkan aib pelamarnya. Hal ini bagian dari nasihat seseorang kepada temannya, wakilnya dan orang yang menerima wasiat. Bila untuk kepentingan pribadi saja boleh, maka untuk kepentingan umat secara umum lebih utama. Apabila bagi pemimpin, hakim, saksi dan pekerja, jelas lebih lebih utama untuk diperbolehkan (Majmu’ Fatawa, vol. 28, hal. 230).

Menurut hemat saya, lebih utama lagi ketika berkaitan dengan kepentingan keagamaan umat seperti memperingatkan bahaya ahli bid’ah, bahkan lebih utama darui semua perkara di atas.

Membuka aib ahli bid’ah dikuatkan ulama salaf, al-Lalika’i meriwayatkan dari Ashim Al Ahwal, “Saya duduk di sampung Qatadah. Dalam obrolan dia menyebut-nyebut Amr bin Ubaid dalam majlisnya maka saya berkata, “Wahai Abu Khaththab, saya tidak ingin melihat ulama satu sama lain saling berselisih.“ Ia berkata, “Wahai Ahwal, bukanlah kamu tidak tahu bila seseorang membuat suatu bid’ah harus disebut-sebut agar diketahui orang” (Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah, vol.2, hal.738).

Dalam kitab As-Sunnah karya Al-Khalaal, Zaidah mengisahkan, aku berkata kepada Manshur,”Wahai Abu Ithab ketika diantara kita berpuasa, boleh tidak mencela orang-orang yang mencela Abu Bakar dan Umar?” Beliau berkata, “Jelaskan pemikirannya kepada semua orang dan mintalah sehat wal afiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (lihat As Sunnah, Al- Khallal, vol.1, hal.495, Al-Ibanah Ash-Shughra, hal. 163 dan Talbis Al- Iblis, hal.17).

Dalam surat Asad bin Musa yang ditujukan kepada Asad bin Furaat berbunyi,”Wahai saudaraku, yang menjadi pendorong aku menulis surat kepadamu tidak lain hanyalah karena banyaknya orang yang memujimu tentang ketegasanmu dan sikap obyektifmu dalam menghidupkan sunnah, dan menampakan aib ahli bid’ah. Engkau seringkali menyebut-nyebut dan menghujat mereka, semoga Allah Ta’ala menghancurkan mereka lantaran kamu,dan menguatkan pengikut kebenaran. Semoga Allah Ta’ala memberi kekuatan kepadamu dalam memerangi dan menghujat ahli bid’ah. Dan semoga Allah Ta’ala menghinakan mereka, sehingga tidak melakukan bid’ah kecuali dengan sembunyi-sembunyi. Bergembiralah wahai saudaraku dengan balasan baik, dan semoga masuk dalam amal kebaikan paling utama dari shalat, puasa, haji dan jihad manakah yang lebih baik daripada menegakkan Kitabullah dan Sunnah Rasul .(Lihat Al-Bida’ wa An-Nahyu Anha, Ibnu Wadhdhah,hal 6)

Imam Al-Qahthani dalam Nuniyah menghujat Asy’ari :

”Aku akan potong-potong kehormatan kalian, selagi nyawaku masih di kandung badan.

Aku akan menyerang hizbi kalian dengan syairku, hingga badanku di bungkus kain kafan.

Aku akan robek penutup aibmu, hingga sampai titik darah penghabisan.

Aku akan menulis kepada penduduk negri ini yang berisi hujatan kepada kalian, hingga kalian berjalan terseok-seok laksana onta keletihan.

Aku akan bongkar seluruh syubhat kalian dengan hujjah –hujjahku, hingga kebodohan kalian tertutupi dengan pengetahuanku “
(lihat Nuniyah Al-Qathani, hal. 52).

Demikian itu pernyataan salaf yang terkenal taat beragam, bertaqwa zuhud dan wara. Mereka secara terang-terangan membolehkan menghujat dan menyebarkan aib ahli bid’ah. Bahkan termasuk kewajiban yang berpahala besar. Begitu juga para ulama’ setelah mereka, mengeluarkan pernyataan yang sama.

Imam al Qarafi berkata, “Aib ahli bid’ah dan kesesatan buku-buku mereka harus dijelaskan kepada semua orang, agar orang-orang yang lemah iman dan ilmu tidak terjerat oleh kesesatan mereka. Tetapi harus dipisahkan kejujuran obyektif dan tidak gampang melempar tuduhan fasik dan kekejian tanpa bukti. Oleh karena itu, kita tidak boleh menuduh ahli bid’ah berzina atau minum khamer tanpa bukti yang nyata. (Al Faruq 4/207-208).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkomentar tentang bolehnya menyebutkan keburukan ahli bid’ah, beliau berkata, ”Seperti tokoh-tokoh ahli bid’ah yang mempunyai pemikiran yang bertentangan dengan Al Quran dan As Sunnah atau ibadah yang bertentangan dengan Al Quran dan As Sunnah, memperingatkan umat dari bahaya mereka berhukum wajib menurut kesepakatan kaum muslimin, hingga pernah Imam Ahmad ditanya : “Manakah orang yang lebih engkau cintai orang yang berpuasa, sholat dan i’tikaf ataukah orang yang berbicara tentang keburukan ahli bid’ah ?” Beliau menjawab, “Jika seorang sholat dan i’tikaf hanya untuk dirinya sendiri, tetapi orang yang berbicara keburukan ahli bid’ah ?” Beliau menjawab, ”Jika seorang sholat dan i’tikaf hanya untuk dirinya sendiri, tetapi orang yang berbicara keburukan ahli bid’ah untuk seluruh kaum muslimin dan ini yang lebih utama. Berari berbicara keburukan ahli bid’ah lebih utama dan bagian dari jihad fardlu kifayah menurut kesepakatan kaum muslimin. Kalau tidak ada orang melakukan hal itu, maka agama lambat laun akan rusak. Bahkan lebih berbahaya dari penjajah, karena penjajah hanya merusak fasilitas fisik, sementara ahli bid’ah merusak hati lebih dahulu. (Majmu’ Fatawa 28/231-232).

Beliau menambahkan, ”Bila ahli bid’ah memiliki keyakinan atau cara ibadah yang bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah, serta dikhawatirkan mereka menyesatkan orang. Maka boleh dijelaskan kesesatan mereka dan semua itu dilakukan penuh dengan keikhlasan dan mencari ridha Allah Ta’ala, bukan karena unsur permusuhan pribadi yang berkaitan dengan dunia seperti dengki, hasad atau berebut popularitas. Atau berbicara tentang keburukan mereka seakan-akan ikhlas, ternyata di dalam hati tersimpan kebencian pribadi, jelas ini adalah perbuatan setan. (Majmu’ Fatawa 28/221)

Imam Ibnul Qoyyim dalam Zaad Al Ma’ad menyebutkan beberapa faidah perang Tabuk antara lain : Seorang muslim boleh menilai buruk kepada ahli bid’ah, bila dalam rangka membela Allah Ta’ala dan RasulNya. Seperti ahli hadits menilai buruk kepada para perawi hadits yang lemah atau ahli sunnah menilai buruk kepada ahli bid’ah, namun bukan untuk sekedar melampiaskan kepuasan pribadi. (Zaad Al Ma’ad 3/18).

Imam Asy-Syatibi menjelaskan masalah hukum membicarakan keburukan ahli bid’ah - Boleh menyebut-nyebut keburkan ahli bid’ah dan menjelaskan kebid’ahan mereka agar semua orang terhindar fitnah ucapan bid’ah dan bahayanya, sebagaimana yang dilakukan ulama salaf. (Al I’tisham 1/176).

Beliau menambahkan, ”Tidak boleh membicarakan ahli bid’ah secara khusus kecuali dalam dua keadaan, dan saya cukup menyebutkan kedua saja yaitu : Jika firqah tersebut mengajak kepada kesesatan dan membuat orang awam dan orang yang tidak berilmu menjadi tergiur dan terpedaya dengan kebid’ahan mereka. Bahaya mereka terhadap umat seperti bahayanya iblis, mereka termasuk setan dari kalangan manusia. Oleh karena itu, harus disampaikan secara tegas, bahwa mereka ahli bid’ah, penebar kesesatan. Dan boleh menisbatkan mereka kepada ahli bid’ah, penebar kesesatan. Dan boleh menisbatkan mereka kepada firqah bid’ah, asal didukung bukti kuat. Sebagaimana kisah ‘Ashim Ahwal dengan Qatadah di atas. Mereka perlu secara khusus menjelaskan bahaya mereka kepada masyarakat luas, mengingat bahaya mendiamkan mereka (tidak mencelanya, red) lebih besar, daripada membicarakan mereka. Kendatipun dikhawatirkan menciptakan permusuhan dan perpecahan. (Al I’tisham 2/228-229).

Dengan dalil-dalil dan pernyataan ulama salaf di atas, menjadi jelas bolehnya menghujat dan menjelaskan perangai ahli bid’ah secara khusus, agar semua orang selamat dari fitnah mereka. Bahkan suatu kewajiban yang paling wajib dan termasuk bagian dari jihad di jalan Allah yang lebih utama dari berjihad melawan musuh dengan pedang dan tombak. Ini ditinjau dari beberapa sisi :
Pertama : Sebagaimana penuturan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bahwa bahaya bid’ah langsung meracuni dan merusak hati umat Islam, sementara bahaya musuh perang hanya merusak perkampungan kaum muslimin. Maka berjihad melawan ahli bid’ah, lebih utama daripada berjihad melawan musuh dengan pedang dan tombak, meskipun keduanya tetap harus menjadi kewajiban setiap umat sepanjang zaman.

Kedua : Umat memahami akan bahaya perang fisik, sehingga mereka secara serentak bergerak bersama untuk melawan musuh. Berbeda dengan ahli bid’ah, tidak semua orang bisa memahami bahaya dan kerusakan yang ditimbulkan. Oleh karena itu, jihad melawan ahli bid’ah lebih utama daripada jihad melawan musuh fisik, mengingat sedikit sekali yang mau berjihad melawan ahli bid’ah. Bahkan sebagian umat secara sadar atau tidak, ikut serta membantu ahli bid’ah dalam menebar kesesatan. Orang yang berjihad dalam keadaan seperti ini bagaikan memerangi musuh, (seperti keadaan) setelah pasukan banyak melarikan diri dari medan perang. Manakah pahala orang yang berperang bersama tentara yang kuat dengan tentara yang ditinggalkan lari oleh pasukan ?

Ketiga : Berjihad melawan musuh fisik banyak orang yang siap, berbeda dengan jihad melawan ahli bid’ah, tidak mungkin dilakukan kecuali oleh para ulama yang istiqamah di atas As Sunnah. Lebih dari itu harus ada keberanian, hujjah yang kuat serta penguasaan manhaj dan pernyataan ulama’ salaf seputar masalah bid’ah, agar mampu merontokkan syubhat ahli bid’ah. Bagi pembaca buku sejarah bisa mengetahui kisah “Fitnah Al Qur’an Makhluk” pada zaman pemerintahan Abbasiyah di masa khalifah Makmun. Bagaimana kegigihan dan ketegaran ulama Sunnah dalam menghadapi cobaan dan penyiksaan dahsyat, bahkan tidak ada yang mampu menghadapi cobaan itu melainkan Imam Ahmad, Imam Ahli Sunnah wal jama’ah dan sekelompok kecil dari ulama. Mereka secara tegas menyatakan bahwa Al Quran Kalamullah bukan makhluk, membantah propaganda dengan dalil dan alasan-alasan yang lugas di bawah tekanan penyiksaan dan kebengisan pemimpin, serta ancaman cambuk dan pembunuhan.

Tidak banyak yang mampu menghadapi cobaan sebesar itu. Bahkan tidak sedikit yang terpaksa menyatakan Al Quran adalah makhluk. Ketika Imam Ahmad menghadapi siksaan cambuk, Bisyr bin Harits ditanya,”Wajib bagi kamu untuk berbicara.” Ia menjawab, ”Kalian ingin aku meraih kedudukan para Nabi ? Itu tidak saya miliki, semoga Allah Ta’ala menjaga Ahmad bin Hambal dari arah depan dan belakangnya.” Hal senada diungkapkan Yahya bin Main, ”Manusia menginginkan aku seperti Imam Ahmad. Demi Allah Ta’ala aku tidak bisa seperti Imam Ahmad, dan tidak bisa menempuh jalan Ahmad.” (Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah 1/140).

Dengan demikian memerangi ahli bid’ah dengan hujjah dan dalil kebenaran lebih mulia daripada perang fisik, karena sangat sedikit orang yang sanggup.

Oleh karena itu, wajib bagi orang yang mampu untuk berjihad melawan ahli bid’ah terutama ulama, agar semua orang memahami kesesatan mereka.

Bersambung ke Sikap Ahlussunnah dalam tahdzir dan ghibah atas ahli bid'ah (II)

(Dinukil dari Kitab Mauqif Ahlussunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa’ wal Bida’, Maktabah Al Ghura’a Al Atsriyah 1415 H, Penulis Syaikh Dr. Ibrahim Bin Amir ar Ruhaili, doktoral jurusan Aqidah dari Jami’ah Islamiyyah Madinah yang lulus dengan predikat Summa Cum Laude, edisi Indonesia Manhaj Ahli Sunnah Menghadapi Ahli Bid’ah, Bab Sikap Ahli Sunnah Tentang Menggunjing Ahli Bid'ah Agar Umat Selamat Dari Pengaruh Mereka)



Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya.
Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=416

Klik disini untuk melanjutkan »»
 
Namablogkamu is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com | The Blog Full of Games