22 Des 2009

MUQADDIMAH KEDUDUKAN AS-SUNNAH DALAM SYARI'AT ISLAM

. 22 Des 2009

MUQADDIMAH KEDUDUKAN AS-SUNNAH DALAM SYARI'AT ISLAM


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Bagian Pertama dari Dua Tulisan 1/2





Segala puji hanya bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya, kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri-diri kami dan kejelekan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menye-satkannya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.

Aku bersaksi bahwasanya tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwasanya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan Rasul-Nya.

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” [Ali ‘Imran: 102]

"Artinya : Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya, dan dari-pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (menggunakan) Nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu men-jaga dan mengawasimu." [An-Nisaa': 1]

"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang-siapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguh-nya ia telah mendapat kemenangan yang besar." [Al-Ahzaab: 70-71]

Amma ba’du.

Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah (Al-Qur'an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam (As-Sunnah). Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam agama), setiap yang diada-adakan (dalam agama) adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.

Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Al-Qur'an kepada Rasul-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberikan hak dan wewenang untuk menjelaskan Al-Qur'an, sehingga dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah manusia mendapat petunjuk ke jalan yang lurus (ash-Shirath al-Mustaqim). Tidak ada jalan yang benar me-lainkan jalan Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih, mengamalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, berdakwah (mengajak) ummat Islam untuk berpegang kepada keduanya, serta konsekuen dan kon-sisten di atas keduanya.

Pada saat ini banyak aliran-aliran sesat yang berusaha memalingkan ummat Islam dari sumbernya yang asli dan suci, mereka berusaha untuk menghancurkan Islam dengan segenap tenaga mereka dengan berbagai macam cara, dengan lisan, tulisan dan lainnya.

Dalam buku ini penulis membahas tentang Kedudukan As-Sunnah dalam Syari’at Islam, karena adanya orang-orang yang berusaha untuk meragukan kedudukan As-Sunnah. Mereka ingin membatalkan Al-Qur'an dengan cara meragukan As-Sunnah. Karena apabila ummat Islam sudah meninggalkan kedua pedoman hidup ini, niscaya mereka pasti akan sesat.

Mereka berusaha untuk memadamkan cahaya Islam, akan tetapi Allah akan tetap menyempurnakan cahayanya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Artinya : Mereka ingin memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahayanya meskipun orang-orang kafir benci.” [Ash-Shaff: 8]

Ummat Islam sejak zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meyakini bahwa As-Sunnah merupakan sumber ajaran Islam di samping Al-Qur'an. Bahkan As-Sunnah adalah wahyu sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

“Artinya : Ketahuilah sesungguhnya aku diberi Al-Kitab (Al-Qur'an) dan yang sepertinya bersamanya. Ketahuilah sesungguhnya aku diberi Al-Qur'an dan yang sepertinya bersamanya.” [1]

Maksud dari kalimat: “Dan seperti itu bersamanya” adalah As-Sunnah.

Al-Imam Abu Muhammad ‘Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm azh-Zhahiri, yang terkenal dengan Ibnu Hazm (wafat th. 456 H) berkata, “Sesungguhnya Allah telah berfirman:

“Artinya : Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” [Al-Hijr: : 9]

Kandungan dari ayat ini adalah bagi orang yang ber-iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hari Akhir bahwasanya Allah menjamin terpeliharanya Al-Qur’an dan tidak akan hilang selamanya. Hal ini tidak diragukan sedikit pun oleh seorang muslim dan begitu pula sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, semuanya adalah WAHYU, berdasarkan firman Allah:

“Artinya : Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur-an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” [An-Najm: 3-4]

Wahyu adalah Adz-Dzikr dengan kesepakatan seluruh ummat Islam, dan Adz-Dzikr terpelihara dengan nash Al-Qur'an, maka sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terpelihara dan pasti dijaga Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Artinya : Keterangan-keterangan (mukjizat) dan Kitab-Kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur'an agar kamu menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka. Dan supaya mereka memikirkan.” [An-Nahl: 44]

Ibnu Hazm rahimahullah berkata: “Dengan demikian, benarlah sabda Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyangkut urusan agama merupakan wahyu dari Allah Ta’ala. Para pakar bahasa Arab dan Ahli Fiqih tidak berselisih bahwa setiap wahyu yang diturunkan oleh Allah merupakan Adz-Dzikra (peringatan). Oleh karena itu, setiap wahyu adalah sesuatu yang pasti dipelihara oleh Allah Subhanhu wa Ta’ala dengan yakin. Semua yang dijamin oleh Allah dengan penjagaan-Nya, terjamin pula dari kepunahan dan tidak akan berubah satu pun darinya dan tidak ada yang membatalkannya. Jika wahyu tidak terjaga, niscaya firman Allah Ta’ala dan janji-Nya adalah sesuatu yang dusta dan jaminan-Nya sia-sia. Hal ini (tidak mungkin terjadi) dan tidak sedikit pun terlintas di benak orang yang berakal. Oleh karena itu, meru-pakan suatu kepastian bahwa segala sesuatu yang disam-paikan oleh Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berkaitan dengan masalah agama adalah terpelihara (terjaga) dengan pemeliharaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan disampaikan sebagaimana adanya ke-pada mereka selama-lamanya sampai hancurnya dunia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Artinya : … Dan al-Qur-an ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai al-Qur'an (kepada-nya)...” [Al-An’aam: 19]

Jadi kita dapat mengetahui bahwa semua sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sesuatu yang terjaga sepanjang waktu, tidak mungkin ada sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang hilang dalam masalah agama, dan tidak mungkin pula tersamar (bercampur) antara hadits yang palsu dan yang shahih. Kalau terjadi demikian berarti Adz-Dzikru tersebut tidak terjaga dan firman Allah Ta’ala: "Inna bahnu najjalnaa liddizkra wa innaa lahu lahafidhuun" adalah bohong dan janji palsu. Hal ini tidak mungkin diucapkan oleh seorang muslim.


[Disalin dari buku Kedudukan As-Sunnah Dalam Syariat Islam, Penulis Yazid Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO.Box 264 Bogor 16001, Jawa Barat Indonesia, Cetakan Kedua Jumadil Akhir 1426H/Juli 2005]
________
Foot Note
[1]. Hadits shahih riwayat Ahmad (IV/131), al-Ajurri dalam kitabnya asy-Syari’ah (I/415 no. 97) dan selain keduanya. Dari Shahabat al-Miqdam bin Ma’di Kariba al-Kindi rahimahullah
[2]. Al Ihkam fii Ushulil Ahkam (I/96, 207) cet. Darul Kutul al-Ilmiyah.

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=215&bagian=0

0 komentar:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Posting Komentar

 
Namablogkamu is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com | The Blog Full of Games