27 Des 2009

Jadilah Perintis Kebaikan 3of3

. 27 Des 2009

Judul : Jadilah Perintis Kebaikan 3of3
Penulis : Syaikh Raid Bin Shabri

_________________________________________________________________________________________________
_________________________________________________________________________________________________


Saya (penulis) berkata: Anggaplah sahabat dari kalangan anshar tersebut melakukan perbuatan lain selain shadaqah, lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam menyetujuinya. Maka perbuatan atau perkataan sahabat ini menjadi sunnah setelah iqrar (persetujuan) Nabi Slallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Sunnah itu tidak hanya berdasarkan perkataan atau perbuatan Nabi SAW saja, namun juga ditetapkan karena persetujuan Nabi SAW. Sebagaimana terjadi pada seorang sahabat yang setelah bangun dari ruku’ membaca Rabbanaa wa lakal hamdu, hamdan katsiran tahyyiban mubarakan fiih . Ketika selesai shalat, Rasulullah SAW berkata “Siapakah yang berbicara tadi?” Sahabat itu menjawab, “Saya, wahai Rasulullah” Beliau lalu bersabda. “Aku melihat lebih dari tiga puluh malaikat bersegera menjadi yang pertama menuliskannya”.

Ini adalah persetujuan dan anjuran dari beliau SAW. Sehingga melakukan perbuatan ini menjadi sunnah dari sisi ini. Dan boleh dikatakan bahwa sahabat itu telah membuat sunnah (jalan) perkataan ini ketika I’tidal setelah ruku’. Dan ini adalah ‘sunnah hasanah’ yang diambil dari persetujuan Nabi SAW. Dan persetujuan Nabi SAW ini terputus (tidak akan ada lahi, Red) dengan wafatnya beliau SAW, kecuali persetujuan yang telah beliau tunjukkan sehingga ia tetep merupakan iqrar (persetujuan) beliau SAW.

Sebagian orang ada yang mencari nash lain untuk melegitimasi pendapatnya tentang pembagian bid’ah ini. Sebagian diantara mereka bergantung (berpegang) kepada pernyataan Umar tentang shalat tarawih (berjama’ah, Red). Yang bunyinya “Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini ”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam Iqtidha’ Shirathal Mustaqim hal. 270, “Sebagian orang ada yang berpendapat bid’ah itu terbagi dua bagian; hasanah (baik) dan qabihah (buruk) dengan dalil pernyataan Umar tentang shalat tarawih “sebaik-baik bid’ah adalah ini” dan dengan dalil beberapa perkataan dan perbuatan yang diada-adakan setelah Rasulullah SAW dan tidak dilarang; atau menganggapnya hasanah berdasarkan dalil-dalil ijma’ atau qiyas yang menunjukkan hal itu. Terkadang orang yang tidak mantap pemahaman dasar-dasar ilmunya memasukkan berbagai adat kebiasaan banyak orang atau yang lainnya ke dalam kategori ini. Lalu menjadikannya sebagai dalil baiknya sebagian bid’ah; entah dengan menjadikannya sebagai kebiasaannya dan kebiasaan orang yang sama dengannya, meskipun tidak mengetahui pendapat seluruh kaum muslimin dalam masalah tersebut atau enggan meninggalkan kebiasaannya sebagaimana kondisi yang telah Allah terangkan, Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul". Mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya" (QS Al-Maidah: 104)”

Alangkah banyak orang yang dianggap memiliki ilmu atau banyak ibadah berhujjah dengan dalil-dalil yang keluar dari kaidah-kaidah ilmu yang dijadikan pegangan dalam agama. Intinya bahwa nash-nash yang menunjukkan tercelanya kebid’ahan menentang dalil yang menunjukkan baiknya sebagian kebid’ahan baik itu dari dalil-dalil syari’at yang shahih atau dari alasan-alasan sebagian orang yang dijadikan pegangan oleh sebagian orang bodoh, atau orang yang suka menta’wilkan secara umum.

Orang-orang yang menentang ini terbagi dalam dua keadaan:

Pertama, mereka yang mengatakan “Jika telah pasti bahwa sebagian bid’ah itu baik dan sebagiannya itu buruk, maka yang buruk adalah bid’ah yang dilarang syari’at. Adapun bid’ah yang didiamkan syari’at, maka (demikian) itu tidak buruk, bahkan baik.” Begitulah yang terkadang disampaikan mereka.

Kedua, Bid’ah buruk dikatakan “Ini bid’ah hasanah, karena berisi kemaslahatan beginu dan begitu”. Mereka menyatakan “Tidak semua bid’ah sesat”.

Tanggapannya: Bukankah terdapat sabda Rasulullah SAW “Sesungguhnya sejelek-jeleknya perkara adalah yang baru dan dibuat-buat, dan setiap yang baru dan dibuat-buat adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan adalah di neraka” dan peringtan keras dari perkara-perkara baru.

Ini semua adalah nash dari Rasulullah SAW maka seseorang tidak boleh menolak kandungannya yang berisi celaan terhadap bid’ah. Barangsiapa yang menolaknya, maka ia seorang yang hina.

Mengenai sanggahan mereka maka dijawa salah satu dari jawaban berikut, dengan mengatakan kepada mereka: “Sesuatu yang sudah ditetapkan oleh syari’at maka ia bukan bid’ah”, sehingga lafazh setiap yang baru dan dibuat-buat adalah bid’ah
tetap umum tidak ada pengkhususan (pada hal tertentu -JJ). Atau dengan mengatakan kepada mereka “Sesuatu yang sudah ditetapkan baik oleh syari’at maka itu dikecualikan dari keumuman ini. Sehingga lafazh umum ini tetap, benar!”

Mungkin juga dikatakab “Sesuatu yang sudah ditetapkan baik oleh syari’at maka ia dikecualikan dari keumuman tersebut. Lafazh umum yang terkhususkan (ada pengecualiannya, Red) adalah dalil yang bisa dijadikan hujjah atas sesuatu yang tidak masuk dalam kekhususan. Sehinga orang yang meyakini bahwa sebagian bid’ah terkhususkan dari keumuman tersebut, maka ia membutuhkan dalil yang benar untuk takhsis (pengkhususan). Bila tidak ada, maka keumuman lafazh itu tetap menunjukkan larangan”
.
Kemudian yang mengkhususkan haruslah dalil-dalil syari’at berupa Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ baik secara nash atau istimbat (kesimpulan dari nash). Adapun adat kebiasaan sebagian negeri atau kebanyakan negeri, pendapat banyak ulama atau ahli ibadah atau kebanyakan mereka dan sejsnisnya, bukanlah sesuatu yang pantas untuk mengalahkan sabda Rasul SAW.

Barangsiapa meyakini bahwa kebanyakan adat yang menyelisihi sunnah sudah menjadi kesepakatan –karena ummat telah menyetujuinya dan tidak mengingkarinya- maka ia salah dalam keyakinannya ini. Karena pada setiap waktu, senantiasa akan ada orang yang melarang kebanyakan adat yang menyelisihi sunnah dan tidak boleh mengklaim ijma’ dengan berdasarkan amalan satu negeri atau beberapa negeri kaum muslimin, apalagi berdasarkan amalan sekelompok mereka.

Jika kebanyakan ulama tidak bersandar pada perbuatan ulama madinah dan ijma’ mereka pada zaman imam Malik, namun mereka tetap memandang sunnah sebagai hujjah atas mereka, sebagaimana atas selain mereka, padahal para ulama madinah tersebut telah diberikan ketinggian ilmu dan iman.

Lalu bagaimana seorang mukmin yang berilmua bersandar kepada adat kebiasaan kebanyakan orang awam, atau kebiasaan orang yang dianggap pemimpin oleh orang awam, atau kebiasaan satu kaum yang bodoh yang tidak memiliki ketinggian ilmu, tidak termasuk ulil amri, serta mereka tidak layak dijadikan anggota syura (musyawarah), bahkan mungkin iman mereka kepada Allah SWT dan RasulNya SAW belum sempurna.. Atau ada satu kaum dari ahl fadhl (yang memiliki kelebihan) bergabung bersama mereka dengan dasar hukum adat, tanpa memandang dengan ilmu. Atau karena syubhat bahwa lebih baik keadaan mereka sehingga mereka dianggap sejajar dengan kedudukan mujtahid dari kalangan para imi dan shiddiqin?

Berargumen dengan hujjah-hujjaj dan bantahannya ini sudah jelas, bahwa ini bukanlah cara ahlul ilmi berhujjah. Namun karena banyaknya kebodohan maka banyak orang yang bersandar kepada metode ini, sampai-sampai orang yang dianggap memiliki ilmu dan keshalihan. Dan terkadang, seseorang yangdianggap memiliki ilmu dan keshalihan itu merndapatkan sandaran (metode lain), namun bukan diambil dari Allah SWT dan RasulNya SAW, yaitu sandaran-sandaran yang tidak digunakan oleh ahli ilmu dan iman. Ia hanya menyampaikan-hujjah syar’iyyah sebagai hujjah atas perkara lain, dan melawan orang yang mendebatnya.

Kesimpulannya, sebagaimana dikatakan ash-shan’ani dalam Tsamaratun Nadzar (hal 11 dengan penomoran saya), “Mereka membagi bid’ah kepada hasanah dan tercela, dan saya yakin, pembagian ini termasuk perbuatan bid’ah.”

Imam asy-syatibi dalam Al-I’tisham, 1/191-192 berkata “Sungguh, pembagian ini adalah perkara baru yang tidak ada dasar syar’inya. Bahkan hal itu bertolak belakang, karena diantara hakikat bid’ah tidak ditunjukkan oleh dalil syar’I, dan tidak berada di atas kaidah. Seandainya terdapat dalil dari syari’at yang menunjukkan sunnah atau mubahnya tentu itu bukan bid’ah. Dan pasti, amalan tersebut masuk ke dalam keumuman amalan-amalan yang diperintahkan atau dimubahkan. Tidak bisa dipadukan antara sesuatu itu bid’ah dengan adanya dalil-dalil yang menunjukkan kewajibannya atau sunnahnya atau mubahnya, karena pemaduan dua hal ini merupakan pemaduan yang bertentangan.”

Akhirnya, saya tutup pernyataan ini dengan pernyataan Umar bin Khathab “seluruh bid’ah adalah sesat meskipun orang melihatnya baik.”¨
___________________________________________________________________________________________________

(Disalin dari kitab Tash-hihul akhtha wal auham al waqi'ah fi fahmi ahadits, karya Syaikh Raid Bin Shabri halaman 189-200)
[Disalin ulang oleh Jibril Jundurrahman dari Majalah As-Sunnah Edisi 04/ Tahun VIII/ 1425 H/ 2004 M Halaman 07-13 Dengan Perubahan]


¨ Dikeluarkan oleh Lalika’I dalam Syarhu Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah, 1/92, dan Muhammad bin Nashr dalam As-Sunnah, hlm. 24 dan Al-Baihaqi dalam Al-Madkhal Ila Sunan Al Kubra, No. 191 dengan sanad shahih.

0 komentar:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Posting Komentar

 
Namablogkamu is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com | The Blog Full of Games