Dari Sahl bin Sa’d radhiyallahu’anhu, dia berkata: Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke rumah Fathimah -putri beliau- radhiyallahu’anha namun beliau tidak menemukan Ali -suami Fathimah- ada di rumah. Maka beliau berkata, “Dimana putra pamanmu?”. Fathimah menjawab, “Ada sesuatu antara aku dengannya sehingga dia pun memarahiku lalu dia keluar rumah dan tidak tidur siang di sisiku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamlantas mengatakan kepada seseorang, “Lihatlah, dimana dia berada.” Kemudian orang itu kembali dan melaporkan, “Wahai Rasulullah, dia berada di masjid, sedang tidur.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatanginya dalam keadaan sedang berbaring sementara kain selendangnya lepas dari bahunya -sehingga tampaklah bahunya- dan terkena terpaan debu/tanah (turab, bhs arab). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mulai mengusap debu dari tubuhnya seraya berkata,“Bangunlah wahai Abu Turab, bangunlah wahai Abu Turab.” (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Fath al-Bari [1/627] dan Syarh Muslim [8/34])

Hadits yang agung ini menyimpan mutiara hikmah, antara lain:
  1. Bolehnya menyebut putra paman (saudara sepupu) kepada kerabat ayah. Karena Ali bin Abi Thalib adalah putra dari paman Nabi -yaitu Abu Thalib- dan bukan putra dari paman Fathimah (lihat Fath al-Bari [1/627])
  2. Arahan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam -sebagai seorang bapak- kepada Fathimah -putrinya- agar berbicara dengan suaminya menggunakan sebutan itu. Karena di dalam sebutan tersebut terdapat unsur kelemahlembutan dan jalinan kedekatan yang timbul karena ikatan tali kekerabatan. Seolah-olah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memahami apa yang ketika itu tengah terjadi di antara putrinya dengan sang suami -yaitu Ali bin Abi Thalib-. Dengan ungkapan itu beliau ingin agar putrinya bersikap lembut dan perhatian (tidak bersikap cuek/masa bodoh) terhadap suaminya (lihat Fath al-Bari [1/627])
  3. Tidur siang merupakan kebiasaan para salaf. Sebagaimana yang dikatakan oleh Sahl bin Sa’dradhiyalahu’anhu“Dahulu kami sering tidur siang -sebelum waktu zuhur- dan baru menikmati santap siang setelah sholat Jum’at.” (HR. Bukhari). Adapun hadits riwayat at-Thabrani yang bunyinya, “Tidurlah siang, karena sesungguhnya syaitan tidak tidur siang.”maka al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Di dalam sanadnya terdapat Katsir bin Marwan, sedangkan dia ini matruk/haditsnya ditinggalkan.” (lihat Fath al-Bari [11/79]). Yang dimaksud dengan ‘qoilulah’ (tidur siang) adalah tidur di pertengahan hari (lihat Syarh Muslim[8/34]). al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Qailulah adalah tidur di tengah siang, yaitu ketika matahari tergelincir ke barat, dan beberapa saat sebelum atau sesudahnya.” (Fath al-Bari[11/79]).
  4. Boleh tidur siang di masjid, meskipun orang tersebut memiliki kamar tidur di rumahnya dan meskipun hal itu -tidur di sana- bukan merupakan suatu keperluan yang mendesak baginya (lihat Fath al-Bari [1/627] dan [11/79-80]).
  5. Hadits ini juga dijadikan dalil yang menunjukkan bolehnya kaum lelaki tidur di masjid -meskipun di malam hari-, sebagaimana diungkapkan oleh al-Bukhari dan an-Nawawi (lihatSyarh Muslim [8/34] dan Fath al-Bari [1/626]. Hal itu -bolehnya sering tidur di masjid- berlaku terutama bagi orang yang  belum punya tempat tinggal yang menetap, sebagaimana yang dikisahkan oleh Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma, bahwa beliau bersama dengan seorang pemuda lajang yang belum berkeluarga biasa tidur di masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam(lihat Fath al-Bari [1/627])
  6. Hendaknya mengatasi kemarahan yang timbul -seperti yang sering terjadi dalam rumah tangga, antara suami dengan istri- dengan cara yang tidak membangkitkan kemarahan pula, dan semestinya berusaha menempuh cara agar kemarahan tersebut menjadi reda dan suasana menjadi cair (lihat Fath al-Bari [1/627])
  7. Boleh memberi nama kun-yah (panggilan dengan Abu atau Ummu) kepada seseorang -ataupun untuk diri sendiri- bukan dengan menggunakan nama anaknya, sebagaimana halnya Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu yang disebut oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Abu Turab/bapaknya tanah (lihat Fath al-Bari [1/627])
  8. Boleh memberi tambahan nama kun-yah kepada orang yang sudah memiliki nama kun-yah. Hadits ini juga menunjukkan bolehnya menjuluki seseorang (memberikan laqab/gelar) dengan memakai nama kun-yah terhadap orang yang tidak marah akibat julukan itu (lihat Fath al-Bari[1/627-628])
  9. Seorang ayah boleh masuk rumah putrinya tanpa harus ijin terlebih dulu kepada suaminya selama dia mengetahui bahwa hal itu diridhai olehnya, artinya suami dari putrinya tidak akan mempermasalahkan hal itu (lihat Fath al-Bari [1/628])
  10. Tidak mengapa/tidak terlarang -bagi lelaki- menampakkan kedua bahu dalam keadaan terbuka (tidak tertutup kain/baju) di luar kondisi mengerjakan sholat (lihat Fath al-Bari [1/628]). Walaupun tentu saja yang lebih utama adalah menutupnya -karena itu lebih indah-, apalagi jika berada di tempat umum yang dilihat orang banyak -lelaki ataupun perempuan- sehingga akan menyebabkan rasa risih bagi orang yang melihatnya, Allahu a’lam.
  11. Problematika dalam hidup berumah tangga adalah masalah yang biasa terjadi kepada siapa saja. Namun, yang menjadi catatan adalah bagaimana cara menyelesaikan persoalan tersebut dengan baik dan tidak menimbulkan mafsadat atau kekacauan yang lebih besar. Oleh sebab itu dibutuhkan kesabaran dan sikap saling pengertian di antara komponen rumah tangga.
  12. Kebiasaan suami ketika menemui masalah dengan istrinya adalah keluar/pergi meninggalkan rumahnya. Dalam hal ini, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu memberikan contoh yang baik dimana beliau tidak pergi ke tempat yang bukan-bukan, akan tetapi beliau pergi ke masjid dan memilih beristirahat di sana. Dan hal ini sekaligus menunjukkan betapa kuat keterikatan hati beliau dengan masjid dan ketergantungan hatinya kepada Allah ta’ala. Ditinjau dari sudut ini, maka hadits ini menunjukkan keutamaan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu.
  13. Hadits ini menunjukkan besarnya perhatian seorang ayah kepada putrinya meskipun di saat putrinya sudah berumah tangga. Dan demikianlah yang dicontohkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, dimana beliau ikut memperhatikan keadaan rumah tangga putrinya dan sangat menginginkan keharmonisan rumah tangga yang mereka bina.
  14. Perintah untuk saling tolong menolong dalam kebaikan dan takwa. Dan hal ini berlaku secara umum bagi siapa saja, termasuk di dalamnya dalam lingkup rumah tangga, antara suami dengan istri, bahkan antara orang tua dengan anak serta menantunya. Inilah bukti kesempurnaan ajaran Islam yang diturunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  15. Kecintaan dan pengagungan kepada Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada diri para sahabat adalah sesuatu yang patut diteladani dan wajib dimiliki oleh setiap mukmin. Sebagaimana halnya Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu yang sangat menyukai sebutan ‘Abu Turab’ -yang secara makna notabene terkesan tidak mengandung pujian- dikarenakan orang yang memberikannya adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri. Sahl bin Sa’dradhiyallahu’anhu berkata, “Tidak ada nama yang lebih dicintai oleh Ali selain -panggilan- Abu Turab, dan sungguh beliau merasa senang jika dipanggil dengan nama itu.” (HR. Muslim, lihat Syarh Muslim [8/34]). Ya Allah, karuniakanlah kepada hati kami kecintaan terhadap Sunnah, dan kebencian terhadap Bid’ah …
  16. Boleh meminta tolong seseorang untuk mencarikan orang lain, dan hal ini tidaklah mengurangi tawakal. Demikian juga diperbolehkan meminta bantuan kepada orang lain -jika diperlukan- dalam perkara-perkara kebaikan, karena hal itu termasuk dalam cakupan perintah saling tolong menolong dalam kebaikan dan takwa, dengan syarat tetap menggantungkan hati semata-mata kepada Allah, bukan kepada orang atau sebab/perantara yang dipakai. Allahu a’lam.
http://abumushlih.com/bangunlah-wahai-abu-turab.html/