27 Jun 2011

NAMA ISTRI-ISTRI RASULULLAH SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM

. 27 Jun 2011
0 komentar

NAMA ISTRI-ISTRI RASULULLAH SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM

Pertanyaan :

ما هي أسماء زوجات رسول الله صلى الله عليه وسلم؟

Siapa saja nama istri-istri Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam?

Syaikh Dr. Abdullah Al Faqih Hafizhahullah menjawab :

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أما بعد

Segala puji hanya bagi Allah, shalawat serta salam semoga senantiasa terlimpah kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, keluarganya dan para sahabatnya. Amma ba’du,

فأسماء زوجات النبي صلى الله عليه وسلم هي كالتالي:
1- خديجة بن خويلد رضي الله عنها.
2- سودة بنت زمعه رضي الله عنها.
3- عائشة بنت أبي بكر الصديق رضي الله عنها.
4- حفصة بنت عمر رضي الله عنها.
5- زينب بنت خزيمة رضي الله عنها.
6- أم سلمة هند بنت أبي أمية المخزومية رضي الله عنها.
7- أم حبيبة رملة بنت أبي سفيان رضي الله عنها.
8- جويرية بنت الحارث وكان اسمها برة، فسماها رسول الله صلى الله عليه وسلم جويرية.
9- ميمونة بنت الحارث الهلالية رضي الله عنها.
10- صفية بنت حيي بن أخطب رضي الله عنها.
11- زينب بنت جحش رضي الله عنها.
واختلف في ريحانة بنت زيد النضرية هل كانت من زوجاته أم من إمائه؟

Nama istri-istri Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam adalah sebagai berikut:

1. Khadijah binti Khuwailid Radhiallahu’anha.
2. Saudah binti Zam’ah Radhiallahu’anha.
3. ‘Aisyah binti Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu’anha.
4. Hafshah binti Umar Radhiallahu’anha.
5. Zainab binti Khuzaimah Radhiallahu’anha.
6. Ummu Salamah Hindun binti Abu Umayyah Al Makhzumiyyah Radhiallahu’anha.
7. Ummu Habibah Ramlah binti Abu Sufyan Radhiallahu’anha.
8. Juwairiyyah binti Al Harits Radhiallahu’anha, aslinya bernama Barrah, namun diganti oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjadi Juwairiyyah.
9. Maimunah binti Al Harits Al Hilaliyyah Radhiallahu’anha.
10. Shafiyyah binti Huyay bin Akhthab Radhiallahu’anha.
11. Zainab binti Jahsy Radhiallahu’anha.

Para ulama berbeda pendapat mengenai Raihanah binti Zaid An Nadhriyyah, apakah termasuk istri ataukah budak Rasulullah?

فهؤلاء نساؤه المعروفات اللاتي دخل بهن، أما من خطبها ولم يتزوجها، ومن وهبت نفسها له، ولم يتزوجها، فنحو أربع أو خمس، وقال بعضهم هن ثلاثون امرأة.

Inilah nama-nama shahabiyyah yang sudah ma’ruf digolongkan ke dalam deretan istri-istri beliau. Adapun beberapa shahabiyyah yang dilamar oleh Rasulullah namun belum dinikahi, serta para shahabiyyah yang menawarkan diri kepada Rasulullah dan tidak dinikahi, yang semacam ini ada empat atau lima orang. Sebagian orang ada yang mengatakan mencapai tiga puluh orang wanita.

وأهل العلم بسيرته وأحواله لا يعرفون هذا، بل ينكرونه، والمعروف عندهم أنه بعث إلى الجونية ليتزوجها، فدخل عليها ليخطبها فاستعاذت منه فأعاذها ولم يتزوجها، وكذلك الكلبية، وكذلك التي رأى بكشحها بياضاً فلم يدخل بها، والتي وهبت نفسها له فزوجها غيره على سور القرآن، وهذا هو المحفوظ. وراجع زاد المعاد 1/79. والله أعلم

Para ulama yang memahami sirah Rasulullah tidak ada yang mengetahui adanya pendapat ini (mencapai 30 orang). Bahkan para ulama mengingkari pendapat ini. Adapun yang ma’ruf adalah:

Rasulullah datang kepada Al Juniyyah (الجونية) untuk menikahinya. Ketika dilamar oleh Rasulullah, Al Juniyyah malah berlindung dari Rasulullah (menyatakan keengganan), maka Rasulullah pun menghindarinya dan tidak menikahinya.
Demikian juga Al Kalbiyyah
Juga shahabiyyah yang antara pinggang dan tulang rusuk belakangnya ada bercak putih di kulitnya, tidak dinikahi oleh Rasulullah
Juga shahabiyyah yang menawarkan dirinya kepada Rasulullah lalu Rasulullah menikahkan dia dengan orang lain dengan mahar hafalan Qur’an

Inilah beberapa kisah yang dapat diterima riwayatnya. Silakan merujuk pada kitab Zaadul Ma’ad (1/79).

Wallahu’alam.

[http://www.islamweb.net/ver2/fatwa/showfatwa.php?Option=FatwaId&lang=A&Id=24581]
Sumber : http://kangaswad.wordpress.com/2010/09/16/nama-istri-istri-rasulullah-shallallahualaihi-wasallam/
http://www.abuayaz.co.cc/2011/06/nama-istri-istri-rasulullah-shallallahu.html

Klik disini untuk melanjutkan »»

PERTEMANAN DENGAN NON MUSLIM

.
0 komentar

PERTEMANAN DENGAN NON MUSLIM

Pertanyaan :
Saya tinggal bersama seorang teman yang beragama Nasrani. Kadang ia berkata kepada saya: “Ya akhi (wahai saudaraku)“, atau berkata “Kita khan saudara“, kami juga makan dan minum bersama, apakah dibolehkan melakukannya?

Syaikh Abdul ‘Aziz Bin Baaz -rahimahullah- menjawab:
Orang kafir bukanlah saudaranya orang muslim. Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ

“Sungguh orang mu’min itu bersaudara” (QS. Al Hujurat: 10)

Dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

المسلم أخو المسلم

“Seorang muslim itu saudara bagi muslim yang lain“

Maka yang saudara itu adalah sesama muslim, bukan orang kafir, baik dia Nasrani, Yahudi, penyembah berhala, Majusi atau pun Syi’ah. Dan seorang muslim tidak boleh menjadikan mereka sebagai sahabat karib. Namun bila sekedar makan bersama sesekali, atau secara kebetulan kalian bertemu ketika makan, atau kalian makan bersama dalam sebuah acara jamuan yang sifatnya umum, ini semua dibolehkan.

Adapun jika anda menjadikannya teman karib, teman yang sering jalan bersama, sering makan bersama, ini tidak dibolehkan. Karena Allah telah memutuskan tali cinta dan loyalitas antara kita dan mereka. Allah Ta’ala berfirman dalam Al Qur’an:

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ

“Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja” (QS. Al Mumtahanah: 4)

Allah Ta’ala juga berfirman:

لا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يعني يحبون وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ

“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka” (QS. Al Mujaadalah: 22)

Kesimpulannya, seorang muslim wajib untuk berlepas diri dari orang-orang musyrik dan membenci mereka karena Allah. Namun, tidak boleh mengganggu mereka, meneror mereka, atau berbuat yang melebihi batas padahal anda tidak memiliki hak. Walau demikian, tetap tidak boleh menjadikan mereka teman karib atau orang yang sangat disayangi.  Adapun jika secara kebetulan anda makan bersama dalam sebuah jamuan, atau secara kebetulan menonton sesuatu bersama, tanpa menganggap dia sebagai teman karib dan tanpa ada rasa loyal terhadapnya, hukumnya boleh. [http://www.binbaz.org.sa/mat/4872]


Sumber : http://kangaswad.wordpress.com/2011/04/05/pertemanan-dengan-non-muslim/
http://www.abuayaz.co.cc/2011/06/pertemanan-dengan-non-muslim.html

Klik disini untuk melanjutkan »»

HARTA HARAM BERUBAH MENJADI HALAL

.
0 komentar

HARTA HARAM BERUBAH MENJADI HALAL


Oleh : Ust. Aris Munandar, S.S., M.A.

Bismillah,
Syekh Shalih Alu Syaikh, Menteri Agama KSA saat ini, mengatakan, “Di antara permasalahan yang disinggung oleh para ulama ketika membahas hadits keenam dalam kitab Arbain An-Nawawiyyah (yaitu hadits yang berisi perintah untuk menjauhi sesuatu yang belum jelas kehalalannya, pent.) adalah permasalahan memakan harta orang yang pendapatannya bercampur antara sumber yang halal dengan sumber yang haram.

Misalnya : Tetangga yang kita ketahui memiliki sumber pendapatan yang haram, berupa menerima uang suap, memakan riba, atau semisalnya, namun di sisi lain dia memiliki sumber pendapatan yang halal. Apa hukum harta orang semisal ini?


Dalam masalah ini, ada beberapa pendapat ulama :
Pertama : Ada ulama yang memasukkan kasus di atas ke dalam hadits keenam Arbain An-Nawawiyyah. Sehingga, bentuk sikap wara’ (baca: hati-hati, pent.) untuk masalah ini adalah menjauhi harta (misalnya: hadiah, jamuan ketika bertamu ke rumahnya, dan sebagainya, pent.) orang tersebut. Namun, hukum sikap ini adalah dianjurkan, tidak wajib, karena dengan sikap ini, kita menjadi lebih bersih dari kemungkinan yang tidak diharapkan.

Kedua : Sejumlah (ulama lain) berpendapat bahwa yang menjadi tolak ukur adalah jenis harta yang paling dominan. Jika yang paling dominan adalah harta yang berasal dari sumber yang haram maka kita jauhi harta tersebut. Jika yang paling dominan adalah harta yang berasal dari sumber yang halal maka kita boleh memakannya, selama kita tidak mengetahui secara pasti bahwa harta yang dia suguhkan atau dia hadiahkan kepada kita adalah harta yang berasal dari sumber yang haram.

 Ulama yang lain, semisal Ibnu Mas’ud, mengatakan bahwa kita boleh memakan harta orang tersebut, sedangkan tentang jalan haram--yang ditempuh orang tersebut dalam memperoleh hartanya--itu menjadi tanggung jawabnya, karena cara mendapatkan harta itu antara kita dengan dia berbeda. Orang tersebut mendapatkan harta itu melalui profesi yang haram, namun ketika dia memberikan harta tersebut kepada kita, dia memberikannya sebagai hadiah, hibah, jamuan tamu, atau semisalnya kepada kita.

Perbedaan cara mendapatkan harta menyebabkan berbedanya status hukum harta tersebut. Sebagaimana dalam kisah Barirah. Barirah mendapatkan sedekah berupa daging, lalu daging tersebut dia hadiahkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, sedangkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidaklah diperkenankan untuk memakan harta sedekah. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Daging tersebut adalah sedekah untuk Barirah, namun hadiah untuk kami.' (HR. Bukhari dan Muslim, dari Aisyah)

Meski daging yang dihadiahkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam itu adalah daging yang disedekahkan kepada Barirah, tetapi status hukumnya berbeda karena terdapat perbedaan cara mendapatkannya. Berdasarkan pertimbangan ini, sejumlah shahabat dan ulama mengatakan bahwa kita boleh memakan harta orang tersebut, sedangkan tentang adanya dosa, maka itu menjadi tanggungan orang yang memberikan harta tersebut kepada kita. Alasannya, kita mendapatkan harta tersebut dengan status hadiah, sehingga tidak ada masalah jika kita memakannya.

Keempat :
Sejumlah ulama yang lain mengatakan bahwa kita boleh memakan harta orang tersebut selama kita tidak mengetahui bahwa harta tertentu yang dia berikan kepada kita adalah harta yang haram. Jika kita mengetahui bahwa harta yang dia berikan kepada kita adalah harta yang berasal dari sumber yang haram, kita tidak boleh memakan harta tersebut saja, sedangkan hartanya yang lain tetap boleh kita makan.

Dalilnya adalah orang-orang Yahudi yang memberi makanan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, padahal mereka adalah para rentenir. Meski demikian, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tetap memakan makanan yang diberi oleh orang-orang Yahudi itu.

Inti kasus ini adalah: apakah contoh masalah yang diperselisihkan para ulama termasuk dalam hadits keenam Arbain Nawawiyyah ataukah tidak? Sebagian ulama mengatakan bahwa kasus di atas termasuk dalam hadits keenam Arbain Nawawiyyah, sebagai bentuk kehati-hatian, bukan karena orang yang memakan harta orang yang sumber pendapatannya bercampur itu berarti telah memakan harta yang haram. Meski demikian, sejumlah ulama peneliti menguatkan pendapat Ibnu Mas’ud.

Dari sisi dalil, pendapat Ibnu Mas’ud adalah pilihan yang tepat. Di antara ulama yang menguatkan pendapat Ibnu Mas’ud adalah Ibnu Abdil Bar Al-Maliki, dalam kitabnya 'At-Tamhid'.” (Syarah Arbain Nawawiyyah karya Syekh Shalih Alu Syekh, hlm. 153--155, terbitan Dar Al-‘Ashimah, Riyadh, cetakan pertama, 1431 H)

عن ذر بن عبد الله عن ابن مسعود قال : جاء إليه رجل فقال : إن لي جارا يأكل الربا ، وإنه لا يزال يدعوني ، فقال : مهنأه لك ، وإثمه عليه

Dari Dzar bin Abdullah, dia berkata, “Ada seseorang yang menemui Ibnu Mas’ud lalu orang tersebut mengatakan, 'Sesungguhnya, aku memiliki tetangga yang membungakan utang, namun dia sering mengundangku untuk makan di rumahnya.' Ibnu Mas’ud mengatakan, 'Untukmu enaknya (makanannya) sedangkan dosa adalah tanggungannya.'” (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf, no. 14675)

عن سلمان الفارسي قال: إذا كان لك صديق عامل، أو جار عامل أو ذو قرابة عامل، فأهدى لك هدية، أو دعاك إلى طعام، فاقبله، فإن مهنأه لك، وإثمه عليه.

Dari Salman Al-Farisi, beliau mengatakan, “Jika Anda memiliki kawan, tetangga, atau kerabat yang profesinya haram, lalu dia memberi hadiah kepada Anda atau mengajak Anda makan di rumahnya, terimalah! Sesungguhnya, rasa enaknya adalah hak Anda, sedangkan dosanya adalah tanggung jawabnya.” (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf, no. 14677)

Ringkasnya, harta haram itu ada dua macam :
Pertama : Haram karena bendanya. Misalnya: Babi dan khamar; mengonsumsinya adalah haram atas orang yang mendapatkannya maupun atas orang lain yang diberi hadiah oleh orang yang mendapatkannya.

Kedua : Haram karena cara mendapatkannya. Misalnya: Uang suap, gaji pegawai bank, dan penghasilan pelacur; harta tersebut hanyalah haram bagi orang yang mendapatkannya dengan cara haram. Akan tetapi, jika orang yang mendapatkannya dengan cara haram tersebut menghadiahkan uang yang dia dapatkan kepada orang lain, atau dia gunakan uang tersebut untuk membeli makanan lalu makanan tadi dia sajikan kepada orang lain yang bertamu ke rumahnya, maka harta tadi berubah menjadi halal untuk orang lain tadi, karena adanya perbedaan cara mendapatkannya antara orang yang memberi dengan orang yang diberi.

Inilah pendapat ulama yang paling kuat dalam masalah ini, sebagaimana pendapat ini adalah pendapat dua shahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu Ibnu Mas’ud dan Salman Al-Farisi.
[Artikel www.pengusahamuslim.com]


Sumber : http://www.pengusahamuslim.com/baca/artikel/1100/harta-haram-berubah-menjadi-halal
http://www.abuayaz.co.cc/2011/06/harta-haram-berubah-menjadi-halal.html

Klik disini untuk melanjutkan »»

24 Jun 2011

DOA DAN KEAJAIBANNYA

. 24 Jun 2011
0 komentar

DOA DAN KEAJAIBANNYA



Allah Ta’ala berfirman:

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ

“Dan jika hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) sesungguhnya Aku ini dekat, (yakni) Aku mengabulkan doa orang yang berdoa kepada-Ku jika mereka berdoa kepada-Ku.”
(QS. Al-Baqarah: 186)

Dari An-Nu’man bin Basyir radhiallahu 'anhu, dia berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

إِنَّ الدُّعَاءَ هُوَ الْعِبَادَةُ ثُمَّ قَرَأَ ( وَقَالَ رَبُّكُمْ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ )

“Sesungguhnya doa adalah ibadah.” Kemudian beliau membaca ayat, “Dan Rabb kalian berfirman: Berdoalah kalian kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkan (doa) kalian.” (QS. Ghafir: 60) (HR. Abu Daud no. 1479, At-Tirmizi no. 2969, Ibnu Majah no. 3873, dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 3407)

Dari Ibnu Abbas -radhiallahu anhuma- dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَفْضَلُ الْعِبَادَةِ هُوَ الدُّعَاءُ

“Ibadah yang paling utama adalah doa.” (HR. Al-Hakim no. 1805 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 1122)

Dari Salman Al-Farisi radhiallahu 'anhu, dia berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

لَا يَرُدُّ الْقَضَاءَ إِلَّا الدُّعَاءُ وَلَا يَزِيدُ فِي الْعُمْرِ إِلَّا الْبِرُّ

“Tidak ada yang dapat menolak takdir kecuali doa dan tidak ada yang bisa menambah umur kecuali amal kebajikan.” (HR. At-Tirmizi no. 3373, Ibnu Majah no. 3872, dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 2418)

Penjelasan ringkas :
Doa merupakan salah satu dari bentuk-bentuk ibadah kepada Allah Ta’ala, bahkan dia merupakan ibadah yang paling utama secara mutlak. Hal itu karena tidak ada satu pun ibadah kecuali di dalamnya terkandung doa (permintaan), yakni tidaklah seseorang beribadah kecuali di dalam hatinya dia menginginkan dengan ibadahnya tersebut agar dia mendapat pahala dan masuk surga atau tidak masuk neraka. Tatkala semua ibadah mengandung doa, maka ibadah juga dinamakan sebagai doa tapi doa ibadah.

Sungguh Allah Ta’ala telah berjanji akan mengabulkan semua doa yang ditujukan kepada-Nya dan sebaliknya Dia mengancam semua makhluk yang enggan untuk berdoa kepada-Nya, dan ini menunjukkan rahmat dan kedekatan Allah kepada para hamba-Nya. Adapun bentuk pengabulannya:

Dari Abu Said -radhiallahu anhu- dia berkata bahwa Nabi -shallallahu alaihi wasallam- bersabda, “Tidak ada seorang muslim pun yang berdoa dengan satu doa kepada Allah, yang mana doanya tidak mengandung dosa dan pemutusan silaturahmi, kecuali karenanya Allah akan memberikan kepadanya salah satu dari tiga perkara: Akan disegerakan pengabulan doanya, ataukah akan disimpankan untuknya di akhirat, ataukah akan dihindarkan darinya kejelekan yang semisalnya.” Mereka (para sahabat) berkata, “Kalau begitu kami akan memperbanyak doa,” maka beliau bersabda, “Allah akan lebih banyak lagi memberikan.” (HR. Ahmad dalam Al-Musnad: 3/18. Diriwayatkan oleh At-Tirmizi dari Jabir bin Abdillah no. 3381 dan dari Ubadah bin Ash-Shamit no. 3573, dan keduanya dinyatakan hasan oleh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmizi: 3/140,181)

Dari Ibnu Umar -radhiallahu anhuma- dari Nabi -shallallahu alaihi wasallam- beliau bersabda, “Doa itu bermanfaat untuk musibah yang sudah turun dan musibah yang belum turun, karenanya wahai hamba-hamba Allah hendaknya kalian berdoa.” ( HR. Al-Hakim: 1/493 dan Ahmad: 5/234. Dinyatakan hasan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’no. 3402)

Dan para ulama menyebutkan bahwa doa mempunyai 3 keadaan bersama musibah:
1. Doanya lebih kuat daripada musibah, maka dia akan menolak datangnya.
2. Doanya lebih lemah daripada musibah yang datang, maka musibah itu akan menimpa hamba tersebut, akan tetapi doa itu akan memperingan musibah tersebut walaupun doanya lemah.
3. Kekuatan keduanya berimbang sehinga keduanya saling menahan.
[Lihat Al-Jawab Al-Kafi karya Imam Ibnu Al-Qayyim hal. 22,23,24 cet. Daar At-Turats]

Tambahan :
Doa secara bahasa bermakna meminta dan merendah.
Adapun secara istilah, doa adalah permintaan hamba kepada Rabbnya dengan cara merendah. Misalnya dikatakan: دَعَوْتُ اللهَ – أَدْعُو – دُعَاءً (saya telah berdoa kepada Allah – saya akan berdoa – doa) maka maknanya adalah: Saya merendah kepada-Nya dengan meminta dan saya mengharapkan kebaikan yang ada di sisi-Nya. (Al-Mishbah Al-Munir: 1/194)

Doa di dalam syariat ada dua jenis: Doa ibadah dan doa mas`alah. Doa mas`alah mengandung doa ibadah dan doa ibadah melazimkan adanya doa mas`alah. Dan kata ‘doa’ di dalam Al-Qur`an terkadang bermakna doa ibadah, terkadang bermakna doa mas`alah, dan terkadang bermakna keduanya. (Lihat Fath Al-Majid hal. 180)

Berikut uraiannya :
Jenis pertama: Doa ibadah, yaitu meminta pahala dengan menggunakan (baca: bertawassul) amalan-amalan saleh seperti: Pengucapan dua kalimat syahadat dan pengamalan konsekuensi keduanya, shalat, puasa, zakat, haji, menyembelih untuk Allah, dan bernazar untuk-Nya. Barangsiapa yang mengerjakan ibadah-ibadah ini dan ibadah fi’liyah (yang berupa perbuatan) lainnya maka berarti dia telah berdoa dan meminta kepada Rabbnya -dengan keadaannya ketika itu (sedang beribadah)- agar Dia mengampuni dirinya. Kesimpulannya, doa ibadah adalah seorang beribadah kepada Allah untuk meminta pahala-Nya dan karena takut terhadap siksaan-Nya.

Jenis doa (ibadah) ini tidak boleh diperuntukkan kepada selain Allah Ta’ala, dan barangsiapa yang memalingkan sedikit pun darinya kepada selain Allah maka sungguh dia telah kafir dengan kekafiran akbar yang mengeluarkan dari agama. Inilah yang disinyalir dalam firman Allah Ta’ala, “Dan Rabb kalian berfirman: “Berdoalah kalian kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagi kalian. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (QS. Ghafir: 60)

Jenis kedua: Doa mas`alah atau doa berupa permintaan. Dia adalah permintaan akan sesuatu yang mendatangkan manfaat bagi orang yang berdoa berupa mendapatkan manfaat dan terhindar dari mudharat, serta meminta sesuatu yang merupakan kebutuhannya. Adapun hukum doa mas`alah, maka terdapat rincian sebagai berikut:

a. Jika doa mas`alah ini berasal dari seorang hamba dan ditujukan kepada yang semisalnya dari para makhluk sementara makhluk tersebut (yang ditujukan permintaan kepadanya, pent.) mampu memenuhi permintaannya, hidup, dan berada di dekatnya maka ini bukanlah kesyirikan. Misalnya kamu berkata kepada seseorang: Berikan saya air minum, atau kamu katakan: Wahai fulan, berikan saya makanan, atau ucapan semacamnya, maka yang seperti ini tidak bermasalah. Karenanya beliau -shallallahu alaihi wasallam- bersabda:

مَنْ اسْتَعَاذَ بِاللَّهِ فَأَعِيذُوهُ وَمَنْ سَأَلَ بِاللَّهِ فَأَعْطُوهُ وَمَنْ دَعَاكُمْ فَأَجِيبُوهُ وَمَنْ صَنَعَ إِلَيْكُمْ مَعْرُوفًا فَكَافِئُوهُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا مَا تُكَافِئُونَهُ فَادْعُوا لَهُ حَتَّى تَرَوْا أَنَّكُمْ قَدْ كَافَأْتُمُوهُ

“Barangsiapa yang meminta perlindungan dengan nama Allah maka lindungilah dia, barangsiapa yang meminta dengan menggunakan nama Allah maka berikanlah permintaannya, barangsiapa yang mengundang kalian maka penuhilah undangannya, dan barangsiapa yang berbuat kebaikan kepadamu maka balaslah dia, tapi jika kalian tidak mempunyai sesuatu untuk membalasnya maka doakanlah kebaikan untuknya sampai kalian menyangka kalian sudah membalas kebaikannya.” (HR. Abu Daud no. 1672, An-Nasai: 5/82, dan Ahmad dalam Al-Musnad: 2/68,99)

b. Seseorang berdoa dan meminta kepada makhluk sesuatu yang tidak ada yang sanggup memenuhinya kecuali Allah semata. Maka orang ini musyrik lagi kafir, baik makhluk tempat dia berdoa adalah orang yang masih hidup maupun telah meninggal, baik dia ada maupun tidak berada di dekatnya. Misalnya orang yang berdoa: Wahai tuanku, sembuhkanlah penyakitku, kembalikanlah barangku yang hilang, berikanlah kelapangan-berikanlah kelapangan, berikanlah aku anak. Ini adalah kekafiran akbar yang mengeluarkan dari agama. Allah Ta’ala berfirman, “Dan jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu.” (QS. Al-An’am: 17)

Jadi, doa ibadah tidak boleh ditujukan kepada selain Allah secara mutlak. Adapun doa mas`alah, maka dia bisa ditujukan kepada selain Allah dengan 3 syarat: Selain Allah itu hidup, hadir/mendengar permintaannya, dan sanggup untuk memenuhinya. Jika salah satu dari ketiga syarat ini tidak terpenuhi maka menyerahkan doa mas`alah kepada selain Allah adalah kesyirikan. Karenanya siapa saja yang beristighatsah kepada selain Allah atau berdoa kepada selain Allah dengan doa ibadah atau mas`alah pada sesuatu yang tidak ada yang sanggup memenuhinya kecuali Allah maka dia adalah orang yang musyrik lagi murtad.
Wallahu a'lam.

Sumber : http://al-atsariyyah.com/doa-keajaibannya.html
http://www.abuayaz.co.cc/2011/06/doa-dan-keajaibannya.html

Klik disini untuk melanjutkan »»

HUKUM BEROBAT KEPADA DUKUN

.
0 komentar

HUKUM BEROBAT KEPADA DUKUN

Oleh : Asy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz

Pertanyaan :
Di sini terdapat segolongan manusia yang berobat dengan penyembuhan yang terkenal -menurut mereka-, dan suatu saat saya mendatangi salah seorang dari mereka, dia berkata kepada saya, “Tulislah namamu dan nama ibumu!.” Kemudian kami kembali lagi keesokan harinya. Dan pada saat seseorang kembali kepada mereka, mereka akan mengatakan, “Sesungguhnya yang yang menimpamu adalah perkara ini dan itu, sedangkan obatnya adalah ini dan itu….”

Berkata pula salah seorang dari mereka, “Sesungguhnya mereka menggunakan kalamullah (Al-Quran) dalam melakukan pengobatan.” Apa pandangan Anda dalam permasalahan seperti ini? Dan apa hukum mendatangi mereka?

Jawaban :
Barangsiapa yang melakukan perkara tersebut dalam mengobati, ini menunjukkan bahwa dia meminta bantuan jin dan mengaku-aku tahu tentang ilmu gaib. Maka tidak boleh berobat kepada mereka, dan tidak poleh pula mendatangi serta bertanya kepada mereka, karena sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang manusia semacam mereka:

مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةُ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا

‘Barangsiapa mendatangi ‘arraaf’ (tukang ramal)) kepadanya, tidak akan diterima shalatnya selama empat puluh hari.” (HR. Muslim dalam sahihnya)

Dan telah sahih dari Nabi shallallahu alaihi wasallam hadits-hadits yang melarang untuk datang kepada dukun, peramal serta tukang sihir serta larangan untuk bertanya dan membenarkan mereka. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

مَنْ أَتَى كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا نَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ

“Barangsiapa yang mendatangi kahin (dukun) dan membenarkan apa yang ia katakan, sungguh ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad.”

Dan setiap orang yang mengaku-aku tahu tentang perkara gaib menggunakan seperti kerikil, rumah kerang, menggaris-garis di tanah atau bertanya kepada si sakit namanya, dan nama ibu atau kerabatnya, maka semua ini merupakan petunjuk bahwa dia seorang paranormal dan dukun yang Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang untuk bertanya dan membenarkannya.

Maka wajib memperingatkan dari mereka, dari bertanya serta berobat kepada mereka. Apabila mereka mengira bahwa mereka mengobati dengan Al-Quran, telah menjadi kebiasaan para pelaku kebatilan, mereka menggunakan kedok dan tipu daya. Maka tidak boleh membenarkan apa-apa yang mereka katakan, dan wajib bagi orang yang mengetahui tentang keadaan mereka untuk mengangkat permasalahan ini kepada pihak yang berwenang seperti hakim, pemerintah, serta kepada kantor urusan agama pada setiap negeri sampai mereka dihukum dengan hukum Allah serta sampai kaum muslimin selamat dari kejahatan, kerusakan, serta pengambilan mereka terhadap harta-harta manusia dengan cara yang batil.

Allah-lah tempat meminta pertolongan, dan tiada daya dan upaya melainkan milik Allah.

(Diterjemahkan dari حكم السحر و الكهانة وما يتعلق بهما karya Asy Syaikh Ibn Baaz untuk blog www.ulamasunnah.wordpress.com)

Sumber : http://ulamasunnah.wordpress.com/2009/02/11/hukum-berobat-kepada-dukun/
http://www.abuayaz.co.cc/2011/06/hukum-berobat-kepada-dukun.html

Klik disini untuk melanjutkan »»

23 Jun 2011

ANAK KECIL YANG BELUM BALIGH DARI ANAK ORANG KAFIR , JIKA MENINGGAL, MASUK SURGA ATAU NERAKA?

. 23 Jun 2011
1 komentar

ANAK KECIL YANG BELUM BALIGH DARI ANAK ORANG KAFIR , JIKA MENINGGAL, MASUK SURGA ATAU NERAKA?

 
 
Oleh : Ust. Yulian Purnama

Banyak kaum muslimin yang bingung menghadapi pertanyaan semacam ini. Tidak jarang pula yang berangkat dari pertanyaan ini kemudian meragukan keadilan Islam lalu akhirnya menganggap semua agama benar. Padahal andaikan mereka sedikit berusaha mempelajari Islam dengan benar, mereka akan menemukan para ulama kita sudah menjelaskan dengan panjang-lebar jawaban dari pertanyaan semacam ini. Berikut ini kami kutipkan penjelasan bagus dari Syaikh Muhammad bin Abdillah Al Wuhaibi dalam kitabnya, Nawaqidhul Iman Wa Dhawabitut Takfir ‘Indas Salaf (1/294):

Perbedaan pendapat dalam masalah ini adalah tentang hukum di akhirat, bukan hukum di dunia. Tidak ada satupun para ulama yang mengatakan bahwa orang yang tidak pernah mendengar Islam itu adalah muslim, atau pada mereka diberlakukan hukum orang muslim di dunia. Oleh karena itu, perbedaan pendapat yang ada bukanlah tentang hukum di dunia. Al Imam Ibnu Qayyim Rahimahullah berkata: “Wajib bagi setiap orang untuk meyakini bahwa setiap manusia yang tidak beragama dengan agama Islam adalah kafir. Namun wajib juga meyakini bahwa Allah Ta’ala (di akhirat) tidak akan mengadzab orang yang belum disampaikan hujjah. Ini secara umum. Adapun secara khusus per individu, hanya Allah yang mengetahuinya. Ini semua berkaitan dengan balasan dan hukuman di akhirat. Sedangkan hukum di dunia, diterapkan berdasarkan apa yang nampak. Oleh karena itu, anak-anak kecil orang kafir dan orang gila yang kafir, di dunia diberlakukan hukum orang kafir kepada mereka” (Thariqul Hijratain, 384).

Pembahasan mengenai nasib orang yang belum pernah mendengar Islam di akhirat, adalah permasalahan ijtihadiyah yang banyak dibahas para ulama. Namun bahasan ini tidak termasuk ushuluddin (pokok agama) dan bukan ‘ijma. Oleh karena itu tidak dibahas pada kebanyakan kitab aqidah yang terkenal. Ada beberapa pendapat ulama dalam permasalahan ini:

Pendapat pertama : Orang yang mati dalam keadaan belum pernah mendengar Islam, masuk surga

As Suyuthi Rahimahullah berkata: “Para imam Asy ‘ariyah yang termasuk ahlul kalam dan ahlul ushul, serta ulama ahli fiqih madzhab Syafi’i berpendapat bahwa orang yang mati dalam keadaan belum pernah mendengar Islam, ia masuk surga” (Al Haawi Lil Fatawa, 2/202). Sebagian ulama juga berpendapat bahwa anak-anak kecil orang musyrik masuk surga, sebagaimana pendapat Ibnu Hazm, beliau berkata: “Mayoritas ulama berpendapat bahwa anak-anak kecil orang musyrik masuk surga, dan saya juga berpendapat demikian” (Al Fashl, 4/73). Juga Imam An Nawawi (Syarh Shahih Muslim, 16/208), Ibnu Hajar Al Asqalani juga mengatakan bahwa pendapat ini adalah pilihan Al Bukhari (Fathul Baari, 3/246), juga Imam Al Qurthubi (At Tadzkirah, 612) dan Imam Ibnul Jauzi (Majmu’ Fatawa Syaikhil Islam, 24/372).

Pendapat kedua : Orang yang mati dalam keadaan belum pernah mendengar Islam, masuk neraka

Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata: “Ini adalah pendapat dari sejumlah ulama ahlul kalam, ulama ahli tafsir, juga salah satu pendapat dari murid-murid Imam Ahmad. Al Qadhi membawakan riwayat dari Imam Ahmad tentang hal ini, namun telah dibantah oleh guru kami (Syaikhul Islam)” (Thariqul Hijratain, 362). Pendapat ini juga diambil oleh sejumlah murid Abu Hanifah (Jam’ul Jawami’ Imam As Subki, 1/62).

Pendapat ketiga : Tawaqquf (Abstain), dan menyatakan nasib mereka terserah pada kehendak Allah

Ini adalah pendapat Al Hamidain, Ibnul Mubarak, Ishaq Ibnu Rahawaih. Ibnu Abdil Barr berkata: “Nasib mereka tergantung kepada keputusan Al Malik, dan dalam hal ini tidak ada nash yang menjelaskan, kecuali riwayat dari para sahabat yang menegaskan bahwa anak-anak kecil muslim akan masuk surga dan anak-anak kecil kafir tergantung pada keputusan Allah” (At Tamhid, 18/111-112).

Pendapat keempat : Mereka akan dites di depan pintu neraka

Allah memerintahkan mereka masuk ke dalamnya. Jika mereka patuh, mereka akan merasakan hawa dingin dan mereka selamat. Namun yang enggan masuk, berarti ia telah membangkang kepada Allah Ta’ala dan dimasukkan ke dalam neraka.

Pendapat ini adalah pendapat mayoritas para ulama salaf, sebagaimana disampaikan oleh Abul Hasan Al Asy’ari (Al Ibanah, 33). Pendapat ini dipilih oleh Muhammad bin Nashir Al Marwazi, Al Baihaqi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan murid-muridnya, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, dan Ibnu Katsir. Syaikhul Islam berkata: “Manusia yang belum ditegakkan hujjah padanya, seperti anak-anak kecil, orang gila, ahlul fathrah, nasih mereka sebagaimana terdapat pada banya atsar, yaitu mereka akan dites pada hari qiamat. Ada yang diutus untuk memerintahkan mereka pada ketaatan. Jika mereka taat, mereka diberi surga. Jika mereka enggan taat, diberi neraka”. Imam Ibnu Qayyim setelah menjelaskan perbedaan pendapat dan dalil-dalilnya, beliau berkata: “Pendapat ke delapan, mereka berpendapat bahwa naka-naka kecil orang kafir akan dites di sebuah dataran di hari kiamat. Setiap orang dikirimkan Rasul (utusan). Orang yang mematuhi utusan tersebut, akan dimasuk surga. Yang membangkang akan masuk neraka. Dengan kata lain, sebagain mereka ada yang masuk surga dan sebagiannya ada yang masuk neraka. Pendapat ini yang mencakup dalil-dalil yang ada, dan didukung oleh banyak hadits” (Thariqul Hijratain, 369). Kemudian Ibnu Qayyim memaparkan dalil-dalil yang mendukung pendapat ini, lalu berkata: “Hadits-hadits ini saling menguatkan. Dikuatkan juga dengan ushul dan kaidah syariat. Dan pendapat yang sesuai dengan hadits-hadits ini adalah mazhab salafush shalih, sebagaimana dinukil oleh Al ‘Asy’ari Rahimahullah” (Thariqul Hijratain, 371)

Al Hafidz Ibnu Katsir Rahimahullah berkata: “Para ulama terdahulu dan ulama masa sekarang berbeda pendapat mengenai anak kecil yang meninggal dalam keadaan kafir, bagaimana statusnya? Demikian juga orang gila, orang tuli, orang tua yang pikun dan ahlul fatrah yang belum pernah mendengar dakwah, terdapat beberapa hadits yang membahas status mereka. Dengan inaayah dan taufiq Allah, akan saya sampaikan kepada anda”. Kemudian beliau memaparkan hadits-hadits tersebut, lalu menjelaskan pendapat-pendapat yang ada, dan memilih pendapat yang menyatakan bahwa mereka akan dites kelak di hari kiamat. Beliau berkata: “Pendapat inilah yang mencakup semua dalil yang ada. Dan hadits-hadits yang telah saya sebutkan pun menegaskannya dan saling menguatkan” (Tafsir Ibni Katsir, 3/30).

Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi, setelah menyatakan memilih pendapat ini, beliau berkata: “Ulama bersepakat bahwa selagi masih mungkin, wajib hukumnya untuk menggabungkan dalil-dalil yang ada. Karena mengamalkan dua dalil lebih utama daripada beramal dengan salahsatu saja. Dan tidak ada pendapat yang bisa mencakup seluruh dalil kecuali pendapat ini, yaitu mereka akan diberi udzur lalu dites” (Adhwa’ul Bayan, 3/440)

Dalil penting yang mendasari pendapat ini ada 2 macam:

1. Dalil Al Qur’an

Para ulama yang berpegang pada pendapat yang terakhir ini berdalil dengan keumuman ayat-ayat tentang tidak adanya azab sebelum disampaikan hujjah. Contohnya firman Allah Ta’ala:

كُلَّمَا أُلْقِيَ فِيهَا فَوْجٌ سَأَلَهُمْ خَزَنَتُهَا أَلَمْ يَأْتِكُمْ نَذِيرٌ. قَالُوا بَلَى قَدْ جَاءَنَا نَذِيرٌ فَكَذَّبْنَا

“Setiap kali dilemparkan ke dalamnya sekumpulan (orang-orang kafir), penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada mereka: “Apakah belum pernah datang kepada kamu (di dunia) seorang pemberi peringatan? Mereka menjawab: “Benar ada”, sesungguhnya telah datang kepada kami seorang pemberi peringatan, lalu kami mendustakan(nya)” (QS. Al Mulk: 8-9)

Juga firman Allah Ta’ala:

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً

“Sungguh Kami tidak akan mengadzab sebelum mengutus seorang Rasul” (QS. Al Isra: 15)

Dan ayat-ayat yang lain yang menunjukkan adanya udzur bagi ahlul fatrah, karena utusan yang memberi peringatan belum datang kepada mereka (Dalil Al Qur’an yang lain silakan lihat Adhwa’ul Bayan, 3/429-433). Syaikh Abdurrahman As Sa’di rahimahullah menafsirkan ayat ini: “Allah Ta’ala Maha Adil. Allah tidak akan mengadzab seseorang, kecuali orang tersebut sudah ditegakkan hujjah padanya lalu ia menentang. Sedangkan orang yang belum disampaikan hujjah, maka ia tidak akan diadzab. Ayat ini dijadikan dalil bahwa Ahlul Fatrah dan anak-anak kecil kafir tidak akan diadzab oleh Allah, sampai seorang utusan datang kepada mereka. Karena Allah tidak mungkin berbuat zhalim” (Tafsir As Sa’di, 4/266)

2. Dalil Hadits

Para ulama yang berpegang pada pendapat ini berdalil dengan hadits-hadits yang tegas menunjukkan bahwa orang yang belum pernah disampaikan hujjah akan dites kelak di hari kiamat. Hadits yang paling terkenal dalam hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al Aswad bin Sari’, bahwa NabiShallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

يكون يوم القيامة رجل أصم لا يسمع شيئاً، ورجل أحمق، ورجل هرم ورجل مات في فترة فأما الأصم فيقول: رب لقد جاء الإسلام وما أسمع شيئاً، وأما الأحمق فيقول: رب لقد جاء الإسلام والصبيان يحذفونني بالبعر، وأما الهرم فيقول: رب لقد جاء الإسلام وما أعقل شيئاً، وأما الذي مات في الفترة فيقول: رب ما أتاني لك رسول، فيأخذ مواثيقهم ليطيعنه، فيرسل إليهم أن ادخلوا النار، قال: فوالذي نفس محمد بيده لو دخلوها لكانت عليهم برداً وسلاماً

“Di hari kiamat ada seorang yang tuli, tidak mendengar apa-apa, ada orang yang idiot, ada orang yang pikun, ada yang mati pada masa fatrah. Orang yang tuli berkata: ‘Ya Rabb, ketika Islam datang saat itu aku tuli, tidak mendengar Islam sama sekali’. Orang yang idiot berkata: ‘Ya Rabb, ketika Islam datang, saat itu anak-anak nakal sedang memasung aku di dalam sumur’. Orang yang pikun berkata: ‘Ya Rabb, ketika Islam datang aku sedang hilang akal’. Orang yang mati pada masa fatrah berkata: ‘Ya Rabb, tidak ada utusan yang datang untuk mengajakku kepada Islam’. Lalu diuji kecenderungan hati mereka pada ketaatan. Diutus utusan untuk memerintahkan mereka masuk ke neraka. Nabi bersabda: ‘Demi Allah, jika mereka masuk ke dalamnya, mereka akan merasakan dingin dan mereka mendapat keselamatan‘” (HR. Ahmad no. 16344, Thabrani 2/79. Di-shahih-kan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 1434)

Terdapat juga hadits semisal yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, namun lafadz akhirnya berbunyi:

فمن دخلها كانت عليه برداً وسلاماً، ومن لم يدخلها سحب إليها

“Diantara mereka yang patuh memasuki neraka akan merasakan dingin dan akhirnya selamat. Sedangkan yang enggan memasukinya justru akan diseret ke dalamnya” (HR. Ahmad no. 16345)

Pendapat yang didasari hadits ini merupakan pendapat yang mencakup keseluruhan dalil, sebagaimana nukilan dari para imam. Syaikhul Islam berkata: “Dengan penjelasan hadits ini, maka tuntaslah perdebatan yang berupa pembicaraan panjang lebar sampai menimbulkan perdebatan. Karena bagi yang berpendapat bahwa mereka semua masuk neraka, terdapat nash yang menyalahkannya. Dan bagi yang berpendapat bahwa mereka semua masuk surga, juga terdapat nash yang menyalahkannya” (Dar’ut Ta’arudh, 8/401). Syaikh Asy Syinqithi Rahimahullah setelah memilih pendapat ini ia berkata: “Hadits in shahih dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Dan keshahihan hadits adalah solusi dari perdebatan. Maka tidak ada lagi sisi yang dapat didebat dengan adanya hadits ini” (Adhwa’ul Bayan, 3/438).


[muslim.or.id]
Sumber : http://abangdani.wordpress.com/2011/05/12/orang-yang-belum-pernah-mendengar-islam-apakah-kafir/
http://www.abuayaz.co.cc/2011/06/anak-kecil-yang-belum-baligh-dari-anak.html

Klik disini untuk melanjutkan »»

BOLEHKAH DAHI TERHALANG PECI/PENUTUP KEPALA KETIKA SHALAT?

.
1 komentar

BOLEHKAH DAHI TERHALANG PECI/PENUTUP KEPALA KETIKA SHALAT?

Bismillah,
Ada yang mengatakan : ”Sujud Tidak boleh kepada yang ditanggung badan atau yang segerak dengan badan (mahmul) atau segala sesuatu yang ada ditubuh misalnya sorban yang ada dikepala atau kain yang panjang menutupi tempat sujud. Sah jika diletakkan sapu tangan di tempat sujud, juga sah jika rambut menutup dahi dan tidak sah jika dahi tertutup oleh kopiah atau peci. Dari Ibnu ‘Abbas: “Sesungguhnya Nabi bersabda: ‘Saya diperintahkan bersujud dengan tujuh (anggota badan) dan aku tidak boleh merintanginya dengan rambut atau kain’ ” (HR. Ibnu Hibban)

Kesimpulannya: Karena dahi bukan aurat maka tidak boleh terhalang kain (sejenisnya). Sedangkan lutut termasuk aurat, maka boleh tertutup kain celana, sarung, ghamis, dll.

Mohon penjelasan dari keterangan diatas? Jazakumullah.
(Abu Nafilah)

Ustadz M. Subhan Khadafi, Lc. menjawab:
Bukanlah karena dahi termasuk aurat atau bukan seperti halnya lutut yang merupakan aurat dan harus tertutup ketika shalat berdasarkan kesepakatan para ulama. Masalah ini yang sesungguhnya adalah:

“Apakah dahi wajib menyentuh tanah atau lantai secara langsung tanpa terhalangi oleh kain yang dipakai oleh orang yang sholat tersebut seperti tertutup peci, surban, atau ‘imamah?”

Adapun bila dahi yang terhalangi alas seperti tikar yang melekat pada lantai atau tanah maka para ulama sepakat akan kebolehannya.

Dengan demikian maka pendapat yang kuat adalah: diutamakan dahi untuk tidak terhalang ketika sujud dengan kain yang dikenakan oleh orang yang sedang shalat tersebut berdasarkan atsar Ibnu Umar yang tidak suka melihat orang yang sujud sedangkan dahinya terhalangi oleh surbannya: “Sungguh Ubadah bin Shamit melepaskan sorbannya ketika hendak melaksanakan shalat“.

An Nakha’i juga berkata: “Sujud dengan menempelkan dahiku lebih aku sukai“. Demikian pula sudah menjadi kebiasaan Nabi -shallallaahu ‘alaihi wasallam- bersujud dengan menempelkan dahinya ke lantai atau tanah sampai diriwayatkan bahwa lumpur yang basah menempel pada dahi beliau –shallallaahu’alaihi wasallam- (HR Bukhari dan Muslim).

Sekalipun demikian jumhur ulama menganggap sah bila seseorang sujud sedangkan dahinya tertutup surban atau peci yang dikenakannya bila dikarenakan sebab tertentu seperti dinginnya atau panasnya lantai. Hal ini karena hadits Anas –rodhiallahu ‘anhu- yang dikeluarkan oleh Imam Al Bukhori dan Imam Muslim:

مَا رَوَى أَنَسٌ ، قَالَ : { كُنَّا نُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَضَعُ أَحَدُنَا طَرَفَ الثَّوْبِ مِنْ شِدَّةِ الْحَرِّ فِي مَكَانِ السُّجُودِ } رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ .

“Sungguh kita pernah sholat bersama Nabi –shallallaahu’alaihi wasallam-, maka sebagian diantara kita ada yang menjulurkan ujung pakaian yang dikenakannya sebagai alas sujudnya karena panas yang sangat menyengat“.

Adapun hadits yang dikeluarkan oleh Ibnu Hibban:

« أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةٍ ، لاَ أَكُفُّ شَعَرًا وَلاَ ثَوْبًا »

“Sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ‘Saya diperintahkan bersujud dengan tujuh (anggota badan) dan aku tidak boleh merintanginya dengan rambut atau kain’ ” ,

maka terjemahan yang tepat adalah bukan merintangi tapi melipat. Jadi hadits Ibnu Hibban diatas bukanlah dalil yang melarang seseorang menutup dahinya dengan rambut, surban atau peci yang dikenakannya.
Wallahu a'lam.


Penulis: Ustadz M.Subhan Khadafi, Lc
Artikel UstadzKholid.Com

Sumber : http://ustadzkholid.com/tanya-ustadz/fiqih-ibadah/bolehkah-dahi-terhalang-peci-ketika-shalat/
http://www.abuayaz.co.cc/2011/05/bolehkah-dahi-terhalang-pecipenutup.html

Klik disini untuk melanjutkan »»

SIAPA SAJAKAH ULAMA YANG BERGELAR SYAIKHUL ISLAM ?

.
1 komentar

SIAPA SAJAKAH ULAMA YANG BERGELAR SYAIKHUL ISLAM ?


Bismillah,
Tidak sembarang ulama yang memperoleh gelar Syaikh al-Islam. Ulama yang memiliki ketinggian ilmu saja yang pantas menyandangnya.

Gelar Syaikh al-Islam biasanya diberikan oleh beberapa ulama kepada seorang ulama atas ketinggian ilmunya. Ada beberapa kriteria untuk dapat menyandangnya.

Ibnu Nashiruddin, dalam kitab Radd al-Wafir, mencatat beberapa kriteria tersebut. Pertama, seorang tokoh yang paham al-Qur’an dan as-Sunnah dengan perbedaan qira’ah dan asbab an-nuzul-nya. Kedua, menguasai bahasa Arab secara sempurna. Ketiga, menguasai masalah ushul (pokok) dan furu’ (cabang) dalam Islam. Juga, ia adalah ulama yang menjaga ibadahnya, tawadhu, dan tak menganggap diri manusia maksum.

Walhasil, tak banyak ulama yang menyandang gelar tersebut. Berikut ulama yang bergelar Syaikh al-Islam.

1. Ibnu Qudamah Al-Maqdisi

Pemilik nama lengkapnya Asy-Syaikh Muwaffaquddin Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Qudamah al-Hanbali al-Maqdisi ini lahir di Nablusi, dekat Baitul Maqdis, Palestina, pada 541 Hijriah. Usia 10 tahun, ia sudah menghafal al-Qur`an.

Menginjak usia 20 tahun, Ibnu Qudamah, pergi ke Baghdad untuk menuntut ilmu kepada beberapa ulama, antara lain: Abu Zur’ah bin Thahir, Ahmad bin Muqarib, dan ulama perempuan Khadijah an-Nahrawaniyah. Merasa belum puas, ia lanjutkan perjalanan menuntut ilmu pada ulama di Damaskus dan Makkah.

Beberapa ulama, seperti Hafidz Dziya’ al-Maqdisi dan Hafidz al-Mizzi mengakui gelar Syaikh al-Islam pantas melekat pada Ibnu Qudamah al-Maqdisi.

Semasa hidupnya, Ibnu Qudamah telah menelurkan berbagai karya. Di antara nya al- Mughni (fiqih), al- I’tiqad (aqidah), ar- Raudhah, dan al-Burhan. Selain itu ia menulis biografi para ulama yang telah menjadi gurunya.

Ibnu Qudamah wafat pada hari Sabtu, bertepatan dengan hari Ied pada 620 Hijriah.

2. Izzudin bin Abdissalam

Izzudin, lahir tahun 577 hijriyah. Ia berguru pada ulama ternama, seperti Hafidz Ibnu Asakir dan Saif al-Amidi.

Ia adalah ulama yang berani berkata haq di hadapan penguasa. Sikap beraninya ini membuat beberapa penguasa Mesir di waktu itu tidak mampu menentangnya, termasuk ketika Izzudin meminta agar mereka menyiapkan pasukan untuk menghadapi pasukan Tatar di Syam.

Beberapa karya yang pernah ditulisnya adalah al-Qawa’id al-Kubra, Majaz al-Qur’an, Tafsir al-Qur’an, Muhtashar Shahih Muslim, dan Al Fatawa al-Mishriyah.

Itulah makanya, Tajuddin as-Subki, Ibnu al-Imad, Tilmitsani, dan Imam as-Suyuthi memberikan gelar Syaikh al-Islam kepada Izzudin. Ia wafat tahun 660 H dan dimakamkan di Cairo, Mesir.

3. Imam Nawawi

Lahir di Nawa, sebuah desa yang berada di Propinsi Dar’an Suriah pada 631 H. Keluarganya sangat menghargai ilmu dien.

Di tahun 649 hijriyah, ia melakukan perjalanan ke Damaskus, Syria untuk mempelajari kitab Tanbih dan al-Muhadzab. Kitab rujukan dalam madzhab Syafi’i itu berhasil ia lahap dalam tempo 4,5 bulan. Dalam sehari ia menghadiri 12 majelis ilmu dalam berbagai macam disiplin ilmu.

Beliau juga termasuk ulama yang produktif, beberapa karya beliau antara lain, Syarah Shahih Muslim, Syarah Muhadzab, dan Riyadh as-Shalihin.

Banyak ulama yang mengakui Imam Nawawi sebagai Syaikh al-Islam. Di antaranya, Tajuddin As Subki dalam Thabaqat-nya, Imam Sakhawi dalam al-Ihtimam, serta Syaikh Abdul Ghani Daqqar dalam karyanya Imam an-Nawawi Syaikh al-Islam wa al-Muslimin.

Beliau wafat pada tahun 676 H dan dikebumikan di Nawa.

4. Taqiyuddin Ibnu Daqiq al-Ied

Lahir pada 625 hijriyah, berasal dari keluarga terpandang. Melalui ayahnya, Abu Hasan Ali bin Wahab yang juga seorang ulama ia mendalami fikih mazhab Syafi’i. Ia juga mempelajari hal yang sama kepada murid ayahnya, Al Baha’ al-Qufthi. Sedangkan, ilmu bahasa Arab ia berguru kepada Muhammad bin Fadh al-Mursi.

Semangatnya dalam menuntut ilmu begitu kuat. Taqiyuddin terbang ke Cairo dan berguru kepada Izzudin bin Abdissalam.

Ia pernah mengajar di Dar al-Hadits, Qahira. Banyak ulama yang mengakui ketinggian ilmunya. Al Adfawi pernah berkata, ”Tidak ragu lagi bahwa ia adalah seorang mujtahid, tak ada yang menyanggah, kecuali orang-orang yang keras kepala.”

Karya yang telah dihasilkan, di antaranya Ihkam al-Ahkam, Syarh Umdah al-Ahkam, al-Iqtirah (Musthalah Hadits), dan Syarh Muqadimah Mathruzi (ushul fikih).

Beberapa ulama telah menyebutnya sebagai Syaikh al-Islam, antara lain Tajuddin as-Subki dalam Thabaqat-nya, Imam ad-Dzahabi dalam Tadzkirah al-Huffadz, dan Ibnu Hajar al-Haitami al-Maki. Taqiyuddin wafat pada 716 H.

5. Taqiyuddin Ibnu Taimiyah

Setelah pasukan Tatar menguasai Harran (kini berada di Turki), ia yang lahir di tahun 661 hijriyah, diajak ayahnya hijrah ke Damaskus. Di sana ia berguru kepada beberapa ulama, salah satunya Ibnu Abdu al-Qawi at-Thufi.

Penguasaan terhadap ilmu tidak diragukan lagi, selain menguasai masalah ushul dan furu’, ia juga seorang hafidz, faqih, dan mufassir. Tak heran pada umur 19 tahun beliau sudah berfatwa.

Guru dari Ibnu Qayim al-Jauziyah, dan Ibnu Katsir ini pernah membuat karya yang cukup fenomenal, Majmu’ah al- Fatawa, Jawab As Shahih, Iqtidha’ Sirath al-Mustaqim, dan Qawa’id Nuraniyah.

Para ulama yang menjulukinya sebagai Syaikh al-Islam antara lain, Imam Dzahabi, Ibnu Qayim al-Jauziyah, dan Hafidz al-Mizzi.

Ibnu Taimiyah Wafat pada 20 Dzulhijjah 728 H, ketika beliau dalam penjara Qal’ah Dimasyq yang disaksikan oleh salah seorang muridnya Ibnu Qayyim.

6. Taqiyuddin as-Subki

As Subki lahir di tahun 683 hijriyah. Ayahnya, Zainuddin adalah sekaligus gurunya itu adalah seorang hakim. Ia diboyong orang tuanya ke Mesir, untuk berguru kepada beberapa ulama, seperti Hafidz Dimyathi dan Syaikh al-Islam Ibnu Daqiq al-Ied.

Para ulama semasanya, seperti Al Baji, Ibnu Rif’ah, dan Dimyathi menjulukinya dengan Imam Muhaditsin, Imam Fuqaha, dan Imam Ushuliyin. Tajuddin as-Subki dan Hafidz al-Mizzi pun memberikan gelar Syaikh al-Islam.

Beberapa karyanya antara lain, Tafsir Durar an-Nadzim, Al Ibhaj Syarh Minhaj, dan Majmu’ Syarh al-Muhadzab.

Jasad as-Subki, yang wafat pada tahun 756 di Cairo ini diiringi ribuan umat Islam. Ada yang mengatakan bahwa tidak ada yang bisa menandingi jumlah petakziyah Imam Ahmad bin Hanbal, kecuali jumlah petakziyah as-Subki.

7. Ibnu Hajar al-Atsqalani

Ia lahir dalam keadaan yatim pada tahun 733 hijriyah di Mesir. Di usia 9 tahun, beliau sudah mempu menghafal al-Qur’an, hafal al-’Umdah (kumpulan Hadits-Hadits hukum), Alfiyah Hadits Iraqi (ilmu Hadits).

Imam Syaukani menyebutkan bahwa guru-guru Ibnu Hajar adalah para pakar di bidang masing-masing, antara lain: Hafidz al-Iraqi (ahli Hadits), Ibnu Mulaqqin (ulama terbanyak berkarya), dan Al Bulqini (ahli fikih). Ia pun telah melakukan perjalanan ke Hijaz, Yaman, Syam, dan Makkah untuk mecari ilmu.

Guru dari Imam Sakhawi dan Imam Suyuthi ini menghasilkan karya fenomenal Fathu al-Bari, dalam waktu 25 tahun. Juga beberapa buku yang berhubungan dengan kedudukan periwayat Hadits, seperti Lisan al-Mizan dan Tahdzib at- Tahdzib.

Ulama yang menggelarinya dengan Syaikh al-Islam adalah Imam as Suyuthi. Imam Sakhawi pun mengarang buku khusus yang berjudul Jawahir ad Dhurar fi Tarjamah Syaikh al Islam Ibnu Hajar. Beliau wafat tahun 852 H di Mesir.


Sumber : http://www.facebook.com/note.php?note_id=79851919927&ref=n
http://www.abuayaz.co.cc/2011/05/siapa-sajakah-ulama-yang-bergelar.html

Klik disini untuk melanjutkan »»

LAGI, MENYOROT ESQ

.
3 komentar

LAGI, MENYOROT ESQ

Oleh : Ust. Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah

Telah sampai kepada kami sebuah buku yang berjudul ESQ Kecerdasan Emosi dan Spiritual yang ditulis oleh Ary Ginanjar Agustian.

Buku ini dikatakan oleh penulis di dalam kata pengantarnya akan membahas bagaimana cara membangun suatu prinsip hidup dan karakter, berdasarkan Rukun Iman dan Rukun Islam, sehingga akan diharapkan akan tercipta suatu kecerdasan emosi dan spiritual sekaligus langkah pelatihan yang sistematis dan jelas.

Akan tetapi, setelah kami telaah buku ini, ternyata di dalamnya terdapat banyak sekali hal-hal yang menyimpang dari agama Islam yang haq, agama yang dibawa oleh Rosululloh shollallohu ‘alaihi wassallam dan disampaikan kepada para sahabatnya rodliyallohu anhum dan kemudian disampaikan oleh para sahabatnya kepada generasi sesudah mereka. Karena itulah, insya Alloh di dalam bahasan kali ini akan kami paparkan sebagian catatan-catatan terhadap buku ini sebagai nasihat untuk para pembaca buku ini dan kaum muslimin secara umum.

Penulis dan Penerbit Buku Ini
Buku ini memiliki judul lengkap Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ Emotional Spiritual Quotient Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, diterbitkan oleh Penerbit Arga Jakarta cetakan kedua puluh dua, November 2005 M.

Talbis Penulis

Penulis berkata di dalam hal. xxxviii–xl :
Mengutip pemikiran EQ (Emotional Quotient) milik Stephen R. Covey tentang Fabel Aesop…Kecerdasan spriritual (SQ), yang merupakan temuan terkini secara ilmiah, pertama kali digagas oleh Danah Zohar dan Ian Marshall, masing-masing dari Harvard University dan Oxford University melalui riset yang sangat komprehensif. Pembuktian ilmiah tentang kecerdasan spiritual yang dipaparkan oleh Zohar dan Marshall dalam SQ, Spiritual Quotient, The Ultimate Intelegence (London, 2000), dua di antaranya adalah: Pertama, riset ahli psikologi/syaraf, Michael Persinger pada awal 1990-an, dan lebih mutakhir lagi tahun 1997 oleh ahli syaraf V.S. Ramachandran dan timnya dari California University yang menemukan eksistensi God-Spot dalam otak manusia. Ini sudah built-in sebagai pusat spiritual (spiritual center) yang terletak di jaringan syaraf dan otak … ESQ Model adalah software (isi) dari God Spot atau Spiritual Center secara transedental…

Meskipun keduanya berbeda, ternyata EQ dan SQ memiliki muatan yang sama-sama penting untuk dapat bersinergi antara satu dengan yang lain. Dan melalui perenungan yang panjang, akhirnya dengan izin Allah saya meminjam suara-suara hati milik-Nya untuk menggagas bentuk sinergi keduanya ke dalam ESQ (Emotional and Spititual Quotient).

Kami katakan: Penulis telah melakukan talbis (mencampuradukkan) Islam dengan pemikiran-pemikiran orang kafir, karena ESQ penemuannya adalah sinergi dari pemikiran EQ (Emotional Quotient) milik Stephen R. Covey dan SQ (Spiritual Quotient) yang pertama kali digagas oleh Danah Zohar dan Ian Marshall dan didukung oleh V. S. Ramachandran dengan teori God-Spot-nya. Talbis (pencampuradukan) antara haq dan batil adalah warisan jelek orang-orang Yahudi, Alloh subhanahu wata’ala telah mencela mereka di dalam kitab-Nya: Dan janganlah kalian campur adukkan yang haq dengan yang batil dan janganlah kalian sembunyikan yang haq itu sedang kalian mengetahui. (QS. al-Baqoroh [2]: 42)

Qotadah rohimahulloh berkata tentang tafsir ayat ini:
“Janganlah kalian campur adukkan agama Yahudi dan Nasrani dengan agama Islam, dalam keadaan kalian mengetahui bahwa agama Alloh yang haq adalah Islam dan bahwasanya agama Yahudi dan Nasrani yang kalian pegang sekarang ini adalah agama yang bid’ah bukan dari Alloh!” (Tafsir Ibnu Katsir 1/109)

Talbis (pencampuradukan) antara haq dan batil juga merupakan cara-cara ahli bid’ah dari masa ke masa, karena suatu bid’ah jika berupa kebatilan yang murni maka tidak akan mungkin diterima oleh manusia, bersegeralah setiap orang membantah dan mengingkarinya. Seandainya bid’ah itu kebenaran yang murni maka bukanlah merupakan bid’ah, melainkan adalah sunnah. Karena itu, bid’ah tersebar di kalangan manusia karena mengandung kebenaran dan kebatilan.

Suara Hati Sebagai Landasan Islam?!

Penulis berkata di dalam hlm. xxxix :
Kebenaran sejati, sebenarnya terletak pada suara hati yang bersumber dari spiritual center ini, yang tidak bisa ditipu oleh siapa pun, atau oleh apa pun, termasuk diri kita sendiri. Mata hati ini dapat mengungkap kebenaran hakiki yang tak tampak di hadapan mata…

Penulis juga berkata di dalam hlm. xlv :
Jadi, saya berani mengambil suatu kesimpulan bahwa agama Islam bisa dijadikan sebagai landasan pembangunan kecerdasan emosi dan spiritual, di mana suara hati adalah menjadi landasannya.

Penulis juga berkata di dalam hlm. liv:
Tidak perlu berpikir bahwa ini adalah buku dakwah atau buku agama, atau jangan berpikir bahwa buku ini akan mendoktrin anda tentang suatu agama. Pergunakan suara hati anda yang terdalam sebagai sumber kebenaran, yang merupakan karunia Tuhan.

Kami katakan: Demikianlah penulis menjadikan suara hati sebagai landasan Islam. Ini adalah metode agama Sufi yang sesat. Seorang tokoh Sufi, Abu Yazid al-Busthomi berkata kepada para ulama zamannya: “Kalian mengambil ilmu dari tulisan para ulama dari yang sudah mati dari yang sudah mati, sedangkan kami mengambil ilmu dari Dzat Yang Maha Hidup yang tidak pernah mati, kami katakan: Telah mengabarkan kepadaku hatiku dari Tuhanku!” (Thobaqoh Sya’roni 1/5)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh membantah perkataan ini dengan mengatakan: “Adapun yang dinukil dari orang-orang tsiqoh dari Nabi shollallho alahi wassallam yang ma’shum maka dia adalah haq, seandainya bukan karena penukilan yang ma’shum maka sungguh kamu dan orang-orang yang semisalmu boleh jadi termasuk orang-orang musyrik dan boleh jadi termasuk orang-orang Yahudi dan Nasrani. Adapun yang datang kepadamu maka dari mana kamu tahu bahwa itu adalah wahyu dari Alloh dan dari mana kamu tahu bahwa itu bukan wahyu dari setan? Sedangkan wahyu ada dua: wahyu dari Alloh dan wahyu dari setan.

Alloh subhanahu wata’ala berfirman:
"Sesungguhnya setan itu mewahyukan (membisikkan) kepada sekutu-sekutunya (dari manusia) agar mereka membantah kamu". [QS. al-An’am : 121].

Dan Alloh subhanahu wata’ala berfirman:
"Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebagian mereka mewahyukan (membisikkan) kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia)". [QS. al-An’am: 112]

Dan Alloh subhanahu wata’ala berfirman:
"Apakah akan Aku beritakan kepadamu, kepada siapa setan-setan itu turun? "[QS. asy-Syu’aro‘ : 221].” (Majmu’ Fatawa 13/73)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh juga berkata: “Di antara pokok-pokok yang disepakati di kalangan para sahabat dan para pengikut mereka di dalam kebaikan bahwasanya tidak diterima dari siapa pun yang menentang al-Qur‘an dengan pemikirannya atau perasaannya atau akalnya atau qiyasnya … tidak ada dari salaf yang mengatakan bahwa dia memiliki perasaan atau pembicaraan atau mukasyafah yang menyelisihi al-Qur‘an dan al-Hadits.” (Majmu’ Fatawa 13/28 dan untuk bahasan lebih lanjut di dalam masalah ini silakan merujuk kepada kitab al-Muqoddimatul ’Asyr fi Naqdhi Ushul Shufiyyatil ’Ashr oleh Syaikh Abdul Aziz bin Royyis ar-Royyis)

Adapun Islam maka sumber pengambilannya adalah wahyu yang diturunkan Alloh kepada NabiNya yang berupa al-Qur‘an dan as-Sunnah yang shohihah—dengan pemahaman para sahabat— kemudian Ijma’ yang mu’tabar dan Qiyas yang shohih.

Al-Imam asy-Syafi’i rohimahulloh berkata: “Tidak boleh orang yang memiliki kemampuan sebagai hakim atau mufti menghukumi atau berfatwa kecuali dari arah kabar yang lazim yaitu al-Kitab kemudian as-Sunnah, atau yang disepakati oleh ahli ilmu (ijma’) atau qiyas (analogi) atas sebagian hal ini.” (al-Umm 7/298)

Metode Rasionalis Penulis
Buku ini secara global adalah kesimpulan-kesimpulan “olah akal” penulis di dalam menafsirkan dalil-dalil agama. Demikian juga, penulis begitu gandrung dengan teori-teori ilmu pengetahuan masa kini sehingga dia seret ayat-ayat al-Qur‘an untuk bisa berjalan di belakang teori-teori ilmu pengetahuan tersebut. Dari awal sampai akhir buku ini pembaca akan banyak dikejutkan dengan tafsir-tafsir nyeleneh (ganjil) dari penulis yang menyelisihi al-Qur‘an, Sunnah, dan Ijma’.

Maka penulis telah terjatuh ke dalam kesalahan yang fatal di dalam metode penafsiran ayat-ayat al-Qur‘an. Sungguh, merupakan hal yang dimaklumi oleh setiap orang yang memiliki perhatian terhadap ilmu tafsir bahwa metode terbaik dalam menafsirkan al-Qur‘an adalah al-Qur‘an ditafsirkan dengan al-Qur‘an, karena yang global di suatu ayat diperinci di ayat lain, dan jika ada yang diringkas dalam suatu ayat maka dijabarkan di ayat yang lainnya. Jika hal itu menyulitkan maka wajib dicari di dalam sunnah Rosululloh sholallahhu ‘alahi wassallam, karena Sunnah adalah syarah (penjelas) bagi al-Qur‘andan penjelas dalam al-Qur‘an. Dan jika kita tidak menjumpai tafsir di dalam Kitab dan Sunnah maka kita kembalikan hal itu kepada perkataan para sahabat f karena mereka lebih tahu tentang hal itu. (Lihat Muqoddimah fi Ushuli Tafsir hlm. 93)

Adapun tafsir dengan sekadar akal manusia— apalagi dengan teori-teori orang-orang kafir— maka hukumnya adalah haram sebagaimana dalam atsar yang shohih dari Ibnu Abbas rodliyallohu anhuma: “Barang siapa yang berkata tentang al-Qur‘an dengan akalnya atau dengan tanpa ilmu maka hendaknya mengambil tempat duduknya di neraka.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/10 cet. Darul Fikr)

Di antara contoh-contoh penafsiran rasionalistik yang dilakukan penulis adalah :

1. Di dalam hlm. 10 dia menafsirkan ayat 9 dari Surat as-Sajdah:

Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya.

Penulis berkata:
Artinya sifat-sifat mulia itu juga ditiupkan ke dalam jiwa manusia. Maksud contoh-contoh yang dikemukakan di atas adalah bahwa manusia sebenarnya memiliki suara hati yang sama. Itulah yang disebut God Spot atau fitrah.

2. Di dalam hlm. 11 penulis membawakan ayat 172 dari Surat al-A’rof:

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Alloh mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.”

Penulis berkata:
Kita sering mengangguk-angguk sebagai tanda pengakuan, disadari atau tanpa disadari. Itulah makna dan bukti dari pengakuan manusia, sesuai dengan perjanjian jiwa antara manusia dan Tuhan, sebelum manusia dilahirkan. Ketika itu jiwa manusia menjawab dan mengaku, “Betul Engkau Tuhan kami.” Jiwa manusia mengangguk. Inilah sebuah anggukan universal.

3. Penulis berkata di dalam hlm. 46 :
Ucapan Subhanallah, Maha Suci Allah, harus diterapkan untuk membangun kekuatan pikiran bawah sadar, sehingga akan mendarah daging di dalam diri kita menjadi suatu kekuatan, itulah yang disebut “Repetitive Magic Power” yang akan menghilangkan pengaruh pikiran-pikiran buruk, paradigma, dan ketujuh belenggu di atas, yang membuat manusia menjadi buta hati, tidak peka, atau memiliki kecerdasan hati yang minim. Repetitive Magic Power adalah dzikir, dan bertasbih.

Mengingkari Mukjizat Nabi

Penulis berkata di dalam hlm. 100 :
Menurut ahli sejarah, Muhammad Husein Haikal bahwa: “Perikehidupan Muhammad sifatnya manusia semata-mata dan bersifat perikemanusiaan yang luhur. Dan untuk memperkuat kenabiannya itu tidak perlu ia harus bersandar kepada apa yang dilakukan oleh mereka yang suka kepada yang ajaib-ajaib.” Itulah tanda bahwa Nabi Muhammad SAW merupakan nabi penutup, atau yang terakhir, yang begitu mengandalkan logika dan suara hati, bukan mukjizat-mukjizat ajaib semata yang tidak bisa diterima oleh akal sehat saat ini.

Kami katakan: Penulis telah mengingkari mukjizat dan menganggapnya tidak dapat diterima oleh akal dan tidak bisa diterima oleh akal sehat saat ini. Mengingkari mukjizat adalah kufur dengan ijma’ para ulama, karena berarti mengingkari nash-nash al-Qur‘an dan Hadits Mutawatir yang menetapkan mukjizat bagi para Nabi ’alaihimushsholatu wassalam. Begitu banyak ayat-ayat Alloh dan hadits-hadits shohih yang menjelaskan mukjizat para nabi seperti air bah yang diturunkan pada masa Nabi Nuh alahi salam, unta pada Tsamud kaum Nabi Sholih alahi salam, tongkat Nabi Musa alahi salam, Nabi Isa alahi salam yang menghidupkan orang yang sudah mati, Nabi Muhammad sholallahhu ‘alahi wassallam yang membelah bulan, dan banyak lagi kejadian-kejadian luar biasa yang ditampakkan oleh Alloh sebagai bukti-bukti kebenaran para nabi dan risalah yang mereka bawa.

Alloh subhanahu wata’ala telah mengancam siapa saja yang mengingkari ayat-ayat-Nya:

"Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan adzab. Sesungguhnya Alloh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". [QS. an-Nisa‘: 56].

Al-Imam Ibnu Hazm rohimahulloh berkata: “Para ulama sepakat bahwa siapa saja yang beriman kepada Alloh Ta’ala dan Rosul-Nya dan semua yang dibawa oleh Nabi sholallahhu ‘alahi wassallam dari apa-apa yang dinukil darinya dengan penukilan secara keseluruhan, dan dia ragu di dalam tauhid atau di dalam kenabian atau pada Muhammad sholallahhu ‘alahi wassallam atau di dalam satu huruf dari apa yang dibawa oleh Nabi sholallahhu ‘alahi wassallam atau di dalam syari’at yang dibawa oleh Nabi sholallahhu ‘alahi wassallam dari apa-apa yang dinukil darinya dengan penukilan secara keseluruhan, maka sesungguhnya barang siapa yang mengingkari sesuatu dari yang telah kami sebutkan atau ragu di dalam sesuatu darinya dan mati atas hal itu maka dia kafir musyrik kekal di neraka selamanya.” (Marotibul Ijma’ hlm. 177)

Kesimpulan dan Penutup

Dari uraian di atas maka kami simpulkan bahwa:

1. Penulis telah melakukan talbis (mencampuradukkan) Islam dengan pemikiran-pemikiran orang kafir.
2. Penulis menjadikan suara hati sebagai landasan Islam, padahal sebenarnya ini adalah metode agama Sufi yang sesat.
3. Penulis memakai metode tafsir rasionalis.
4. Penulis mengingkari mukjizat para nabi.

Inilah yang bisa kami sampaikan dari telaah ringkas terhadap buku ini dan semoga Alloh selalu memberikan taufiq kepada kita semua agar bisa selalu menempuh jalan yang lurus di dalam semua segi kehidupan. Amiin.
Wallohu A’lamu bishshowab


Sumber : http://www.majalahalfurqon.com/index.php/kitab/146-esq
http://www.abuayaz.co.cc/2011/05/lagi-menyorot-esq.html

Klik disini untuk melanjutkan »»

22 Jun 2011

JANGAN LUPAKAN ADAB KETIKA BERCANDA

. 22 Jun 2011
1 komentar

JANGAN LUPAKAN ADAB KETIKA BERCANDA



Bismillah,
Bercanda merupakan salah satu hal yang digemari masyakat Indonesia, baik itu anak-anak maupun orang tua; laki-laki maupun wanita; penarik becak maupun pedagang; pelajar maupun pegawai. Pokoknya segala lapisan gemar canda.

Saking tersebarnya kegemaran dan hobbi canda ini di masyarakat Indonesia Raya, sampai dijadikan propesi oleh sebagian orang. Nah, muncullah disana badut- badut, grup-grup lawak dan banyolan, ludruk, kelompok musik humoris, pantomin, film-film humoris, promosi dan media massa yang dihiasi dengan humor. Bukan cuma lewat media audio-visual, bahkan juga lewat karya tulis, dan buku-buku. Lebih ironisnya lagi kegemaran bercanda ini digunakan oleh sebagian kiai dan ustadz untuk menarik massa, pemanis retorika dalam berceramah dan berkhutbah sehingga menjadi ciri khas bagi dirinya. Tak heran jika disana ada sebagian pelawak dan artis jadi ustadz.

Para pembaca yang budiman, di sana terdapat beberapa canda yang diharamkan, karena melampaui batas syari’at, seperti berikut ini:

Menyinggung Allah, Rasul-Nya, dan Syari’at-Nya
Di antara musibah terbesar yang banyak melanda umat manusia, dari dulu sampai sekarang. Yaitu menghina dan menyinggung Allah, para Rasul-Nya, dan syari’at yang dibawa oleh mereka karena tidak sesuai dengan hawa nafsunya.

Allah berfirman,
“Maka berkatalah pemimpin-pemimpin dari kaumnya: “Kami tidak melihat kamu , melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikutimu, melainkan orang yang hina-dina diantara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki suatu kelebihan apapun atas kami. Bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta”. (QS. Huud :27)

Ejekan seperti ini, sama dengan ejekan dan ocehan sebagian orang yang biasa mengejek orang-orang yang belajar agama seraya berkata, “Tak ada gunanya kamu belajar agama. Coba lihat orang yang belajar, tak ada di antara mereka yang kaya,semuanya kere dan miskin. Modelnya juga kayak orang kampungan dan bodoh-bodoh”.

Parahnya lagi, ketika mereka diajak melaksanakan sunnah Rasul r seperti memanjangkan jenggot sesuai perintah Nabi, mereka ngomel, “Wah, ngapain panjangkan jenggot, mirip orang tua aja. Lagian jorok dan ketinggalan zaman”. Si miskin ini tak tahu, jika ia mencela masalah jenggot termasuk celaan terhadap Syari’at Islam.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz-rahimahullah- berkata, “Barang siapa yang mengolok-olok suatu (ajaran) dari agama Rasul, atau pahalanya, atau siksaannya, maka sungguh perbuatannya adalah seperti perbuatan orang kafir berdasarkan firman-Nya:

“Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok”. (QS. At-Taubah: 65-66) [Lihat Majmu’ Fatawa wa Maqolat Mutanawwi’ah (1/131)]

Saudari-saudari kita yang yang berjilbab dan bercadar sering mendapatkan olokan dari masyakat disebabkan mereka memakai jilbab yang menutupi seluruh tubuhnya, longgar, tebal dan berwarna hitam. Dimana-mana mereka mendapat olokan dari masyarakat. Digelarilah: Ninja, setan, kemah berjalan, Vampire, tukang copet dan kata-kata yang jorok lainnya.

Menanggapi masalah ini, Lajnah Da’imah berfatwa, “Barangsiapa yang mengolok-olok seorang wanita muslimah atau laki-laki muslim lantaran ia berpegang teguh dengan syari’at Islam, maka perbuatannya adalah seperti perbuatan orang kafir. Sama saja apakah (olokan) itu karena berhijabnya seorang wanita muslimah dengan hijab syar’i atau karena masalah (syari’at) lainnya”. Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah li Al-Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Ifta’ (2/14 -15)

Wahai pembaca yang budiman, anda telah melihat bahayanya menyinggung syari’at Allah ketika bercanda dan humor. Janganlah kalian mengolok mereka lantaran mereka memanjangkan jenggot atau memendekkan celananya di atas mata kaki. Sebaiknya kalian diam dan mendoakan mereka agar tetap teguh di atas sunnah.

Diantara perkara yang masuk dalam masalah ini adalah menjadikan ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Rasululllah r sebagai bahan anekdot. Hindarilah karena ini berbahaya.

Merendahkan Orang Lain
Bercanda merupakan suatu hal yang memang mengasyikkan. Namun hal ini kadang mengantarkan pelakunya merendahkan orang lain.

Kita akan melihat ada sebagian orang yang meniru gaya jalan kawannya, dan cara ngomongnya dengan alasan humor. Sekelompok lagi, ada sebagian yang memberikan gelar-gelar kepada kawan dan saudaranya. Andaikan gelar itu diberikan kepadanya, niscaya hatinya akan jengkel. Bahkan ada diantara manusia yang tak berperasaan, saat bercanda ia memukul temannya. Semua ini mereka lakukan dengan alasan humor.

Semua ini merupakan perendahan terhadap martabat orang lain, apalagi ia muslim. Penyakit ini muncul disebabkan karena penyakit sombong dan hilangnya rasa malu di hati pelakunya. Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- pernah bersabda,

“Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan memandang remeh orang lain”. [HR. Muslim dalam Shohih- nya (91)]

Seseorang yang memiliki iman dan rasa malu di hadapan Allah, niscaya tak mungkin akan mengantarkan pemiliknya kepada sikap sombong dan merendahkan orang lain. Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

“Malu dan iman dikumpulkan bersama-sama. Jika yang satu hilang, maka yang lain pun akan hilang”. [HR. Al-Hakim (58) dan Al-Baihaqy dalam Asy-Syu’ab (7727), dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (4/297). Lihat Jilbab Al-Mar’ah (hal.136)].

Ibnu Hajar Al-Haitamy-rahimahullah- memandang bahwa di antara dosa besar adalah mengejek para hamba Allah Ta’ala, tidak menghargai mereka, dan merendahkan mereka. Beliau berkata setelah itu, “Semua yang disebutkan tadi, prinsip dan dasarnya adalah keburukan akhlak dan rusaknya hati”. [Lihat Az-Zawajir (1/141-142)]

Seorang yang memperbanyak canda dan tawa, hatinya akan rusak dan mati dengan perlahan-lahan disebabkan ia tak terasa telah melakukan dosa dan kekufuran yang menodai hati.

Nabi bersabda:
“Janganlah kalian memperbanyak tertawa karena memperbanyak tertawa bisa mematikan hati”. [HR. At- Tirmidzy (2305), Ibnu Majah (4193). Lihat Shohih Al-Adab Al-Mufrod (253)]

Berbicara tentang Wanita
Berbicara tentang wanita merupakan salah satu bahan humoran bagi sebagian orang yang tipis imannya, dan rendah rasa malunya. Sampai kadang diantara mereka menjadikannya sebagai sebuah propesi dan adat kebiasaan yang sulit untuk ditinggalkan. Ironisnya lagi, jika kebiasaan ini menjangkit di kalangan agamawan. Karena pembicaraan tentang wanita dominannya mengarah kepada perkara tabu.

Seorang tabi’in, Al-Ahnaf bin Qois -rahimahullah- berkata, “Jauhkanlah majelis kita dari obrolan seputar wanita dan makanan karena aku benci seseorang yang suka membicarakan (masalah) farji dan perutnya”. [Lihat Siyar A’lam An-Nubala’ (4/94)]

Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
“Di antara manusia yang paling buruk di sisi Allah pada hari kiamat adalah seorang laki-laki yang mendatangi istrinya, dan istrinyapun datang kepadanya, lalu ia menyebarkan rahasianya”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (1437), dan Abu Dawud dalam Sunan-nya (4870)]

Imam An-Nawawiy–rahimahullah- berkata, “Dalam hadits ini terdapat (faedah) diharamkannya seseorang menyebarkan sesuatu yang terjadi antara dia dengan istrinya berupa perkara jimak, serta menggambarkan hal itu secara rinci dan sesuatu yang terjadi pada wanita di dalamnya berupa ucapan, perbuatan, dan sejenisnya”. [Lihat Syarah Shohih Muslim (10/8)]

Seyogyanya seorang muslim -apalagi pelajar ilmu syar’i- selalu berusaha membersihkan lidahnya ketika ia berbicara di depan orang. Karena seorang yang mengotori mulutnya dengan kisah-kisah dan cerita tentang wanita yang bisa membangkitkan gejolak syahwat, akan merusak citra dirinya sendiri dan memberikan dampak buruk kepada teman duduknya .

Abdullah bin Umar -radhiyallahu anhuma- berkata,
“Sesuatu yang paling pantas disucikan oleh seorang hamba adalah lisannya”. [HR. Ahmad dalam Az-Zuhd (26), Abu Dawud dalam Az-Zuhd (322),Ibnu Abi Ashim dalam Az-Zuhd (26),dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (1/307) dengan sanad yang shohih]

Para ulama kita melarang seseorang untuk berbicara tentang wanita, karena itu merupakan jalan tergelincirnya seseorang dan bisa mengantarkan untuk membicarakan perkara yang haram, berupa hal-hal yang berkaitan dengannya; entah itu dengan menggambarkan keelokan tubuh dan perangai seorang wanita, ataukah menyebarkan rahasia yang terjadi antara seorang suami dengan istrinya. Sedang ini merupakan seburuk-buruknya perbuatan yang diberikan ancaman keras bagi pelakunya sebagaimana dalam hadits di atas.

Dusta Demi Canda
Ciri seorang mukmin adalah jujur dalam berbicara sebagaimana pribadi Nabi kita. Abu Hurairah berkata, “Ya Rasulullah, engkau bercanda dengan kami?” Beliau bersabda,

“Sesungguhnya aku tak akan mengucapkan sesuatu kecuali itu benar”. [At-Tirmidzy dalam As-Sunan (1990). Hadits ini di-shohih-kan Al-Albany dalam Ash-Shohihah (1726)]

Satu bentuk kebiasaan buruk jika seseorang berusaha untuk membuat orang lain senang dan tertawa, namun ia mengucapkan sesuatu yang dusta sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian pelawak, dan pemain sandiwara atau orang yang cari-cari muka.

Jauhilah dusta dalam bercanda sebab ini akan meluputkan kalian dari suatu fadhilah dan balasan yang agung di sisi Allah pada hari kemudian. Nabi bersabda:

“Aku akan memberikan jaminan sebuah rumah di pinggir surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan sekalipun ia benar, dan rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta sekalipun ia bercanda, serta rumah di bagian atas surga bagi orang yang akhlaknya bagus”. [HR. Abu Dawud dalam As-Sunan (4800). Lihat Ash-Shohihah (494)]

Inilah sebagian canda dan humor yang dilarang dalam Islam sengaja kami sampaikan di hadapan saudara-saudara sekalian agar kita bisa mengenal dan menjauhinya. Sebab berapa banyak orang masuk dalam neraka Cuma karena salah dalam mengucapkan sesuatu.
Wallahu a'lam


Sumber : http://assunnah-qatar.com/artikel/tazkiyatun-nufus/item/1105-jangan-lupakan-adab-ketika-bercanda.html
http://www.abuayaz.co.cc/2011/05/jangan-lupakan-adab-ketika-bercanda.html

Klik disini untuk melanjutkan »»
 
Namablogkamu is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com | The Blog Full of Games