21 Apr 2011

Wanita Ahli Surga Dan Ciri-Cirinya

. 21 Apr 2011
0 komentar

Wanita Ahli Surga Dan Ciri-Cirinya
 

Penulis: Azhari Asri dan Redaksi

Setiap insan tentunya mendambakan kenikmatan yang paling tinggi dan abadi. Kenikmatan itu adalah Surga. Di dalamnya terdapat bejana-bejana dari emas dan perak, istana yang megah dengan dihiasi beragam permata, dan berbagai macam kenikmatan lainnya yang tidak pernah terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga, dan terbetik di hati.

Dalam Al Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang menggambarkan kenikmatan-kenikmatan Surga. Diantaranya Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

“(Apakah) perumpamaan (penghuni) Surga yang dijanjikan kepada orang-orang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tidak berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari khamr (arak) yang lezat rasanya bagi peminumnya, dan sungai-sungai dari madu yang disaring dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Rabb mereka sama dengan orang yang kekal dalam neraka dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya?” (QS. Muhammad : 15)

“Dan orang-orang yang paling dahulu beriman, merekalah yang paling dulu (masuk Surga). Mereka itulah orang yang didekatkan (kepada Allah). Berada dalam Surga kenikmatan. Segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu dan segolongan kecil dari orang-orang yang kemudian. Mereka berada di atas dipan yang bertahtakan emas dan permata seraya bertelekan di atasnya berhadap-hadapan. Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda dengan membawa gelas, cerek, dan sloki (piala) berisi minuman yang diambil dari air yang mengalir, mereka tidak pening karenanya dan tidak pula mabuk dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih dan daging burung dari apa yang mereka inginkan.” (QS. Al Waqiah : 10-21)

Di samping mendapatkan kenikmatan-kenikmatan tersebut, orang-orang yang beriman kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala kelak akan mendapatkan pendamping (istri) dari bidadari-bidadari Surga nan rupawan yang banyak dikisahkan dalam ayat-ayat Al Qur’an yang mulia, diantaranya :

“Dan (di dalam Surga itu) ada bidadari-bidadari yang bermata jeli laksana mutiara yang tersimpan baik.” (QS. Al Waqiah : 22-23)

“Dan di dalam Surga-Surga itu ada bidadari-bidadari yang sopan, menundukkan pandangannya, tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni Surga yang menjadi suami mereka) dan tidak pula oleh jin.” (QS. Ar Rahman : 56)

“Seakan-akan bidadari itu permata yakut dan marjan.” (QS. Ar Rahman : 58)

“Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan penuh cinta lagi sebaya umurnya.” (QS. Al Waqiah : 35-37)

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menggambarkan keutamaan-keutamaan wanita penduduk Surga dalam sabda beliau :

“ … seandainya salah seorang wanita penduduk Surga menengok penduduk bumi niscaya dia akan menyinari antara keduanya (penduduk Surga dan penduduk bumi) dan akan memenuhinya bau wangi-wangian. Dan setengah dari kerudung wanita Surga yang ada di kepalanya itu lebih baik daripada dunia dan isinya.” (HR. Bukhari dari Anas bin Malik radliyallahu 'anhu)

Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

Sesungguhnya istri-istri penduduk Surga akan memanggil suami-suami mereka dengan suara yang merdu yang tidak pernah didengarkan oleh seorangpun. Diantara yang didendangkan oleh mereka : “Kami adalah wanita-wanita pilihan yang terbaik. Istri-istri kaum yang termulia. Mereka memandang dengan mata yang menyejukkan.” Dan mereka juga mendendangkan : “Kami adalah wanita-wanita yang kekal, tidak akan mati. Kami adalah wanita-wanita yang aman, tidak akan takut. Kami adalah wanita-wanita yang tinggal, tidak akan pergi.” (Shahih Al Jami’ nomor 1557)

Apakah Ciri-Ciri Wanita Surga

Apakah hanya orang-orang beriman dari kalangan laki-laki dan bidadari-bidadari saja yang menjadi penduduk Surga? Bagaimana dengan istri-istri kaum Mukminin di dunia, wanita-wanita penduduk bumi?

Istri-istri kaum Mukminin yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya tersebut akan tetap menjadi pendamping suaminya kelak di Surga dan akan memperoleh kenikmatan yang sama dengan yang diperoleh penduduk Surga lainnya, tentunya sesuai dengan amalnya selama di dunia.

Tentunya setiap wanita Muslimah ingin menjadi ahli Surga. Pada hakikatnya wanita ahli Surga adalah wanita yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Seluruh ciri-cirinya merupakan cerminan ketaatan yang dia miliki. Diantara ciri-ciri wanita ahli Surga adalah :

1. Bertakwa.

2. Beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari kiamat, dan beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.

3. Bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah kecuali Allah, bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadlan, dan naik haji bagi yang mampu.

4. Ihsan, yaitu beribadah kepada Allah seakan-akan melihat Allah, jika dia tidak dapat melihat Allah, dia mengetahui bahwa Allah melihat dirinya.

5. Ikhlas beribadah semata-mata kepada Allah, tawakkal kepada Allah, mencintai Allah dan Rasul-Nya, takut terhadap adzab Allah, mengharap rahmat Allah, bertaubat kepada-Nya, dan bersabar atas segala takdir-takdir Allah serta mensyukuri segala kenikmatan yang diberikan kepadanya.

6. Gemar membaca Al Qur’an dan berusaha memahaminya, berdzikir mengingat Allah ketika sendiri atau bersama banyak orang dan berdoa kepada Allah semata.

7. Menghidupkan amar ma’ruf dan nahi mungkar pada keluarga dan masyarakat.

8. Berbuat baik (ihsan) kepada tetangga, anak yatim, fakir miskin, dan seluruh makhluk, serta berbuat baik terhadap hewan ternak yang dia miliki.

9. Menyambung tali persaudaraan terhadap orang yang memutuskannya, memberi kepada orang, menahan pemberian kepada dirinya, dan memaafkan orang yang mendhaliminya.

10. Berinfak, baik ketika lapang maupun dalam keadaan sempit, menahan amarah dan memaafkan manusia.

11. Adil dalam segala perkara dan bersikap adil terhadap seluruh makhluk.

12. Menjaga lisannya dari perkataan dusta, saksi palsu dan menceritakan kejelekan orang lain (ghibah).

13. Menepati janji dan amanah yang diberikan kepadanya.

14. Berbakti kepada kedua orang tua.

15. Menyambung silaturahmi dengan karib kerabatnya, sahabat terdekat dan terjauh.

Demikian beberapa ciri-ciri wanita Ahli Surga yang kami sadur dari kitab Majmu’ Fatawa karya Syaikhul Islam Ibnu Tamiyyah juz 11 halaman 422-423. Ciri-ciri tersebut bukan merupakan suatu batasan tetapi ciri-ciri wanita Ahli Surga seluruhnya masuk dalam kerangka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah Ta’ala berfirman :

“ … dan barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam Surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai sedang mereka kekal di dalamnya dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. An Nisa’ : 13).

Wallahu A’lam Bis Shawab.

(Dikutip dari tulisan al ustadz Azhari Asri, judul asli Wanita Ahli Surga Dan Ciri-Cirinya. MUSLIMAH XVII/1418/1997/Kajian Kali Ini)

Klik disini untuk melanjutkan »»

20 Apr 2011

Tidak Boleh Berbuat Curang Dalam Ujian

. 20 Apr 2011
0 komentar

Tidak Boleh Berbuat Curang Dalam Ujian


CURANG DALAM UJIAN

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum berbuat curang (menyontek) ketika ujian ? Saya lihat, banyak mahasiswa yang melakukan kecurangan lalu saya menasehati mereka, tapi mereka malah mengatakan “ ini tidak apa-apa”.

Jawaban
Curang dalam ujian, ibadah atau mu’amalah hukumnya haram, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

“Artinya : Barangsiapa mencurangi kami maka bukan dari golongan kami” [Hadits Riwayat Muslim, kitab Al-Iman no 101]

Disamping itu, hal tersebut dapat menimbulkan banyak madharat baik di dunia maupun di akhirat. Maka seharusnya menghindari perbuatan tersebut dan saling mengingatkan untuk meninggalkannya.

[Al-Fatawa, Kitab Ad-Da’wah, hal. 157, Syaikh bin Baz]

APAKAH HADITS, “BARANGSIAPA YANG MENCURANGI KAMI MAKA BUKAN DARI GOLONGAN KAMI” MENCAKUP PERKARA UJIAN?

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Saya seorang mahasiswa di sebuah perguruan tinggi di kota Riyadh, saya perhatikan sebagian mahasiswa melakukan kecurangan dalam ujian, terutama pada sebagian materi yang di antaranya materi bahasa inggris, ketika saya berdialog dengan mereka mengenai hal ini, mereka mengatakan, “Berbuat curang dalam mata pelajaran bahsa inggris tidak haram, sebagian Syaikh telah menfatwakan demikian”. Saya mohon penjelasan tentang masalah ini dan fatwa tersebut.
Jawaban
Telah disebutkan dalam sebuah hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda.

“Artinya : Barangsiapa mencurangi kami maka bukan dari golongan kami” [Hadits Riwayat Muslim, kitab Al-Iman no 101]

Ini mencakup semua bentuk kecurangan dalam mu’amalah dan ujian, mencakup pula materi bahasa inggris dan lainnya. Maka para mahasiswa dan mahasiswi tidak boleh berbuat curang dalam semua materi karena keumuman hadits tersebut. Hanya Allah lah sumber petunjuk.

[Al-Fatawa, Kitab Ad-da’wah, hal. 58, Syaikh Ibnu Baz]

CURANG DALAM UJIAN BAHASA INGGRIS

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah boleh berlaku curang dalam ujian, terutama dalam materi bahasa inggris yang dianggap tidak ada manfaatnya bagi para siswa?

Jawaban
Tidak boleh melakukan kecurangan dalam ujian, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda.

“Artinya : Barangsiapa mencurangi kami maka bukan dari golongan kami” [Hadits Riwayat Muslim, kitab Al-Iman no 101]

Lagi pula, hal itu mengandung madharat bagi umat, sebab jika para pelajar telah terbiasa berbuat curang, maka standard keilmuan mereka lemah, shingga secara umum umat ini tidak mapan peradabannya dan membutuhkan orang lain, dan tentunya dengan begitu kehidupan umat ini menjadi kehidupan yang sulit. Maka tidak ada perbedaan antara materi bahasa inggris dan materi lainnya, karena masing-masing materi itu memang dituntut dari para pelajar.

Adapun pernyataan penanya bahwa materi tersebut tidak bermanfaat, sama sekali tidak benar, karena terkadang materi itu memiliki manfaat yang besar. Bagaimana menurut anda, jika anda hendak mengajak suatu kaum untuk memeluk Islam sementara mereka hanya bisa berbahasa inggris? Bukankah dalam hal ini bahasa inggris sangat bermanfaat? Betapa banyak kondisi di mana kita berharap menguasai suatu bahasa yang bisa saling dimengerti bersama lawan bicara kita.

[Kitan Ad-Dakwah (5), Syaikh Ibnu Utsaimin 2/61]

CURANG DALAM MATERI ILMU PASTI

Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin

Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Apa hukum berbuat curang dalam ujian bahasa inggris atau ilmu-ilmu pasti semacam matematika dan yang lainnya?

Jawaban
Tidak boleh berbuat curang dalam materi apapun, karena maksud ujian tersebut adalah untuk mengukur dan mengevaluasi kemampuan siswa dalam materi yang bersangkutan. Lain dari itu, kecurangan itu mengandung kemalasan dan penipuan serta bisa mendahulukan yang lemah daripada yang rajin. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Barangsiapa mencurangi kami maka bukan dari golongan kami” [Hadits Riwayat Muslim, kitab Al-Iman no 101]

Makna curang di sini mencakup semua perkara. Wallahu ‘alam

[Fatawa Al-Mar’ah, Syaikh Ibnu Jibrin, hal. 111]

TIDAK BOLEH BERBUAT CURANG DALAM UJIAN

Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Saya menyontek jawaban teman sekelas saat ujian dengan menempuh suatu cara yang memungkinkan, karena saya tidak tahu jawabannya. Bagaimana pendapat agama tentang hal ini?

Jawaban
Tidak boleh berbuat curang dalam ujian dan tidak boleh membantu orang yang curang dalam hal ini, baik dengan bisikan atau menujukkan jawaban kepada yang di sebelahnya untuk di contek atau dengan upaya-upaya lainnya, karena hal ini bisa menimbulkan madharat terhadap masyarakat, di mana berbuat yang curang itu telah mendapat predikat yang tidak berhak diraihnya, sehinga ia bisa memegang tugas yang tidak dikuasainya. Yang demikian itu akan menimbulkan madharat dan tipuan. Wallahu ‘alam

[Fatawa Al-Mar’ah, Syaikh Ibnu Jibrin, hal.113]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerbit Darul Haq] 
 
almanhaj.or.id

Klik disini untuk melanjutkan »»

MENJAUHI ORANG-ORANG YANG SUKA GHIBAH

.
0 komentar

Menjauhi Orang-Orang Yang Suka Ghibah


Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz



Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Saya mempunyai seorang teman yang sering berbicara mencemarkan nama baik orang lain. Saya sering menasehatinya tapi dia tetap tidak mau berubah. Perbuatannya itu sudah menjadi kebiasannya. Dan kadang-kadang dia melakukannya dengan alasan niatnya baik. Apakah orang seperti dia boleh kita kucilkan?

Jawaban
Membicarakan dan mencemarkan nama baik kaum muslimin yang tidak mereka sukai adalah merupakan kemungkaran yang besar dan termasuk ghibah yang diharamkan bahkan termasuk dosa besar, berdasarkan firman Allah.

“Artinya : Dan janganlah sebagian kalian ghibah (menggunjing) sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang telah mati? Maka tentulah kalian akan merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat dan Maha Penyayang” [Al-Hujurat : 12]

Dan juga berdasarkan sebuah hadits riwayat imam Muslim dalam kitab shahihnya dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Tahukah kalian apa itu ghibah (menggunjing)?. Para sahabat menjawab : Allah dan Rasul-Nya yang paling tahu. Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Ghibah adalah engkau membicarakan tentang saudaramu sesuatu yang dia benci. Ada yang bertanya. Wahai Rasulullah bagaimana kalau yang kami katakana itu betul-betul ada pada dirinya?. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : Jika yang kalian katakan itu betul, berarti kalian telah berbuat ghibah. Dan jika kalian katakan tidak betul, berarti kalian telah memfitnah (mengucapkan kebohongan)” [HR Muslim : 4690]

Disebutkan dalam sebuah hadits shahih.

“Artinya : Ketika beliau di mi’rajkan, beliau melewati sekelompok orang yang mempunyai kuku-kuku dari tembaga. Mereka mencakar-cakar wajah dan dada mereka sendiri dengan kuku tembaga tersebut. Lalu beliau bertanya kepada Jibril : Wahai Jibril siapa mereka itu?. Jibril menjawab : Mereka adalah orang-orang yang sering makan daging manusia, dan mereka yang suka membicarakan kejelekan orang lain” [HR Ahmad dan Abu Dawud dengan sanad jayid dari Anas Radhiyallahu ‘anhu]

Al-Allamah Ibnu Muflih berkata : Sanad hadits tersebut shahih. Beliau berkata : Dan Abu Dawud meriwayatkan dengan sanad hasan sebuah hadits dari Abu Hurairah secara marfu.

“Artinya : Sesungguhnya termasuk dosa besar adalah mencemarkan kehormatan seorang muslim tanpa alasan yang hak” [HR Abu Dawud 4234]

Oleh karena itu wajib bagi anda dan selain anda dari kaum muslimin untuk tidak duduk-duduk dan berbincang-bincang dengan orang yang sedang menggunjing kaum muslimin. Sebaiknya kita harus menasehati dan mengingkari perbuatan tersebut, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Barangsiapa diantara kalian melihat kemungkaran, rubahlah dengan tangannya. Jika dia tidak mampu, rubahlah dengan lidahnya. Jika dia tidak mampu, rubahlah dengan hatinya. Dan itulah selemah-lemah iman” [HR Muslim 70]

Jika kita tidak sanggup mencegah dan menasehati mereka, maka segeralah kita pergi dan tidak duduk-duduk bersama mereka. Ini termasuk cara mengingkari perbuatan mereka. Mudah-mudahan Allah memperbaiki keadaan kaum muslimin dan menolong mereka dalam meraih kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan akhhirat.

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Juz Tsani, Penulis Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Edisi Indonesia Fatawa Bin Baz II, Penjerjemah Abu Abdillah Abdul Aziz, Penerbit At-Tibyan Solo]
 
almanhaj.or.id

Klik disini untuk melanjutkan »»

ZINA DAN DOMISILI DI NEGERI LAIN

.
0 komentar

Zina Dan Domisili Di Negeri Lain


Oleh
Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta’

Pertanyaan.
Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta’ ditanya : Saya sudah berkeluarga, istri saya tinggal di Libanon, saya bekerja di Brazil untuk mencari nafkah hidup dan pendidikan anak-anak saya. Tapi saya terlanjur melakukan perbuatan zina. Saya menyesal dan bertaubat kepada Allah. Cukupkah bagiku penyesalan dan bertaubat ? Atau haruskah aku juga dihukum had (rajam)?. Berilah fatwa kepadaku, semoga Allah merahmatimu!

Jawaban.
Tidak ada keraguan lagi bahwa perbuatan zina termasuk dosa besar dan tidak ada keraguan pula bahwa di antara sarana yang mendorong terjadinya perbuatan zina adalah ; menampakkan aurat wanita, campur baur antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya, kerusakan moral serta lingkungan secara umum. Maka jika anda telah berzina karena jauh dari istri anda dan karena anda bercampur dengan orang-orang jahat dan rusak, lalu anda menyesal terhadap dosa anda dan anda bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya, maka kami mengharapkan agar Allah menerima serta mengampuni dosa anda, karena firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Dan orang-orang yang tidak menyembah ilah yang lain berserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat dan mengerjakan amal shalih ; maka mereka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" [Al-Furqan : 68-70]

Dan telah sah dari Ubadah bin Shamit Radhiyallahu 'anhu dalam hadits tentang baiat wanita, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Barangsiapa di antara kalian yang menepati perjanjian baiat ini maka pahalanya ada pada Allah, dan barangsiapa yang ada melakukan diantara dosa-dosa itu (kemusyrikan, pencurian, perzinaan, membunuh anak dan berbuat dusta/tuduhan) lalu ia dikenakan sangsi hukuman, maka hukuman itu sebagai kafarat dosa baginya, dan barangsiapa yang ada melakukan di antara dosa-dosa itu lalu ia ditutupi oleh Allah, maka urusannya kembali kepada Allah, jika Allah menghendaki Dia akan menyiksanya dan jika Dia menghendaki maka Dia akan mengampuninya" [Hadits Riwayat Bukhari No. 4894]

Tetapi anda harus meninggalkan lingkungan rusak yang menyebabkan anda kepada berbuat maksiat, lalu anda mencari mata pencaharian di negeri lain yang bahanya lebih sedikit, sebagai upaya untuk menjaga agama anda, karena bumi Allah itu luas, dan setiap orang senantiasa mendapati yang bisa ia tempati untuk mencari rizki yang disiapkan oleh Allah untuknya.

"Artinya : Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya" [Ath-Thalaq : 2-3]


[Diterjemahkan oleh Muhammad Dahri dari majalatul Buhutsil Islamiyah, edisi 6 hal. 276-277, Fatwa No. 2788 - Tanggal 6-1-1400H Disalin dari Majalah As-Sunnah edisi 06/V/1422H hal.53] 
 
almanhaj.or.id

Klik disini untuk melanjutkan »»

WASIAT-WASIAT GENERASI SALAF

.
0 komentar

Wasiat-Wasiat Generasi Salaf

 

Oleh
Ustadz Abu Ihsan Al-Atsari

GENERASI SALAF SEBAGAI GENERASI PILIHAN
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam kitab-Nya:

وَالسَّابِقُونَ اْلأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَاْلأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَآ أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga, di bawahnya banyak sungai mengalir; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar. [At-Taubah : 100]

Dalam ayat di atas Allah Subhanahu wa Ta'ala memberi pujian kepada para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan. Merekalah generasi terbaik yang dipilih oleh Allah sebagai pendamping nabi-Nya dalam mengemban risalah ilahi.

Pujian Allah tersebut, sudah cukup sebagai bukti keutamaan atau kelebihan mereka. Merekalah generasi salaf yang disebut sebagai generasi Rabbani yang selalu mengikuti jejak langkah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dengan menapak tilasi jejak merekalah, generasi akhir umat ini akan bisa meraih kembali masa keemasannya. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Malik rahimahullah, “Tidak akan baik generasi akhir umat ini kecuali dengan apa yang membuat generasi awalnya menjadi baik”. Sungguh sebuah ucapan yang pantas di tulis dengan tinta emas. Jikalau umat ini mengambil generasi terbaik itu sebagai teladan dalam segala aspek kehidupan niscaya kebahagiaan akan menyongsong mereka.

Dalam kesempatan kali ini, kami akan mengupas bagaimana para salaf menyucikan jiwa mereka, yang kami nukil dari petikan kata-kata mutiara dan hikmah yang sangat berguna bagi kita.

SALAF DAN TAZKIYATUN NUFUS
Salah satu sisi ajaran agama yang tidak boleh terlupakan adalah tazkiyatun nufus (penyucian jiwa). Allah selalu menyebutan tazkiyatun nufus bersama dengan ilmu. Allah berfirman:

كَمَآأَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولاً مِّنكُمْ يَتْلُوا عَلَيْكُمْ ءَايَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُم مَّالَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ

Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. [Al-Baqarah : 151]

Artinya, ilmu itu bisa jadi bumerang bila tidak disertai dengan tazkiyatun nufus. Oleh sebab itu dapat kita temui dalam biografi ulama salaf tentang kezuhudan, keikhlasan, ketawadhu’an dan kebersihan jiwa mereka. Begitulah, mereka selalu saling mengingatkan tentang urgensi tazkiyatun nufus ini. Dari situ kita dapati ucapan-ucapan ulama salaf sangat menghunjam ke dalam hati dan penuh dengan hikmah. Hamdun bin Ahmad pernah ditanya: “Mengapa ucapan-ucapan para salaf lebih bermanfaat daripada ucapan-ucapan kita?” beliau menjawab: “Karena mereka berbicara untuk kemuliaan Islam, keselamatan jiwa dan mencari ridha Ar-Rahman, sementara kita berbicara untuk kemuliaan diri, mengejar dunia dan mencari ridha manusia!”

SALAF DAN KEGIGIHAN DALAM MENUNTUT ILMU
Imam Adz-Dzahabi berkata: "Ya'qub bin Ishaq Al-Harawi menceritakan dari Shalih bin Muhammad Al-Hafizh, bahwa ia mendengar Hisyam bin Ammar berkata: "Saya datang menemui Imam Malik, lalu saya katakan kepadanya: "Sampaikanlah kepadaku beberapa hadits!" Beliau berkata: "Bacalah!"
"Tidak, namun tuanlah yang membacakannya kepadaku!" jawabku.
"Bacalah!" kata Imam Malik lagi. Namun aku terus menyanggah beliau. Akhirnya ia berkata: "Hai pelayan, kemarilah! Bawalah orang ini dan pukul dia lima belas kali!" Lalu pelayan itu membawaku dan memukulku lima belas cambukan. Kemudian ia membawaku kembali kepada beliau. Pelayan itu berkata: "Saya telah mencambuknya!" Maka aku berkata kepada beliau: "Mengapa tuan menzhalimi diriku? tuan telah mencambukku lima belas kali tanpa ada kesalahan yang kuperbuat? Aku tidak sudi memaafkan tuan!"
"Apa tebusannya?" tanya beliau.
"Tebusannya adalah tuan harus membacakan untukku sebanyak lima belas hadits!" jawabku. Maka beliaupun membacakan lima belas hadits untukku. Lalu kukatakan kepada beliau: "Tuan boleh memukul saya lagi, asalkan tuan menambah hadits untukku!" Imam Malik hanya tertawa dan berkata: "Pergilah!"

SALAF DAN KEIKHLASAN
Generasi salaf adalah generasi yang sangat menjaga aktifitas hati. Seorang lelaki pernah bertanya kepada Tamim Ad-Daari tentang shalat malam beliau. Dengan marah ia berkata: “Demi Allah satu rakaat yang kukerjakan di tengah malam secara tersembunyi, lebih kusukai daripada shalat semalam suntuk kemudian pagi harinya kuceritakan kepada orang-orang!”

Ar-Rabi’ bin Khaitsam berkata: “Seluruh perbuatan yang tidak diniatkan mencari ridha Allah, maka perbuatan itu akan rusak!”

Mereka tahu bahwa hanya dengan keikhlasan, manusia akan mengikuti, mendengarkan dan mencintai mereka. Imam Mujahid pernah berkata: “Apabila seorang hamba menghadapkan hatinya kepada Allah, maka Allah akan menghadapkan hati manusia kepadanya.”

Memang diakui, menjaga amalan hati sangat berat karena diri seakan-akan tidak mendapat bagian apapun darinya. Sahal bin Abdullah berkata: “Tidak ada satu perkara yang lebih berat atas jiwa daripada niat ikhlas, karena ia (seakan-akan –red.) tidak mendapat bagian apapun darinya.”

Sehingga Abu Sulaiman Ad-darani berkata: “Beruntunglah bagi orang yang mengayunkan kaki selangkah, dia tidak mengharapkan kecuali mengharap ridha Allah!”

Mereka juga sangat menjauhkan diri dari sifat-sifat yang dapat merusak keikhlasan, seperti gila popularitas, gila kedudukan, suka dipuji dan diangkat-angkat.

Ayyub As-Sikhtiyaani berkata: “Seorang hamba tidak dikatakan berlaku jujur jika ia masih suka popularitas.”

Yahya bin Muadz berkata: “Tidak akan beruntung orang yang memiliki sifat gila kedudukan.”

Abu Utsman Sa’id bin Al-Haddad berkata: “Tidak ada perkara yang memalingkan seseorang dari Allah melebihi gila pujian dan gila sanjungan.”

Oleh karena itulah ulama salaf sangat mewasiatkan keikhlasan niat kepada murid-muridnya. Ar-Rabi’ bin Shabih menuturkan: “Suatu ketika, kami hadir dalam majelis Al-Hasan Al-Bashri, kala itu beliau tengah memberi wejangan. Tiba-tiba salah seorang hadirin menangis tersedu-sedu. Al-Hasan berkata kepadanya: “Demi Allah, pada Hari Kiamat Allah akan menanyakan apa tujuan anda menangis pada saat ini!”

SALAF DAN TAUBAT
Setiap Bani Adam pasti bersalah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang segera bertaubat kepada Allah. Demikianlah yang disebutkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sebuah hadits shahih. Generasi salaf adalah orang yang terdepan dalam masalah ini!

‘Aisyah Radhiyallahu anha berkata: “Beruntunglah bagi orang yang buku catatan amalnya banyak diisi dengan istighfar.”

Al-Hasan Al-Bashri pernah berpesan: “Perbanyaklah istighfar di rumah kalian, di depan hidangan kalian, di jalan, di pasar dan dalam majelis-majelis kalian dan dimana saja kalian berada! Karena kalian tidak tahu kapan turunnya ampunan!”

TANGIS GENERASI SALAF
Generasi salaf adalah generasi yang memiliki hati yang amat lembut. Sehingga hati mereka mudah tergugah dan menangis karena takut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Terlebih tatkala membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an.

Ketika membaca firman Allah:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu” [Al-Ahzab : 33]

‘Aisyah Radhiyallahu 'anha menangis tersedu-sedu hingga basahlah pakaiannya.

Demikian pula Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhu, ketika membaca ayat.

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَن تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka).” [Al-Hadid : 16]

Beliau menangis hingga tiada kuasa menahan tangisnya.

Ketika beliau membaca surat Al-Muthaffifin setelah sampai pada ayat

لِيَوْمٍ عَظِيمٍ يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ

“Pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Rabb semesta alam.” [Al-Muthaffifiin : 5-6]

Beliau menangis dan bertambah keras tangis beliau sehingga tidak mampu meneruskan bacaannya.

SALAF DAN TAWADHU'
Pernah disebut-sebut tentang tawadhu’ di hadapan Al-Hasan Al-Bashri, namun beliau diam saja. Ketika orang-orang mendesaknya berbicara ia berkata kepada mereka: “saya lihat kalian banyak bercerita tentang tawadhu’!” Mereka berkata: “Apa itu tawadhu’ wahai Abu Sa’id?” Beliau menjawab: “Yaitu setiap kali ia keluar rumah dan bertemu seorang muslim ia selalu menyangka bahwa orang itu lebih baik daripada dirinya.”

Ibnul Mubarak pernah ditanya tentang sebuah masalah di hadapan Sufyan bin Uyainah, ia berkata: “Kami dilarang berbicara di hadapan orang-orang yang lebih senior dari kami.”

Al-Fudhail bin Iyadh pernah ditanya: “Apa itu tawadhu’?” Ia menjawab: “Yaitu engkau tunduk kepada kebenaran!”

Mutharrif bin Abdillah berkata: “Tidak ada seorangpun yang memujiku kecuali diriku merasa semakin kecil.”

SALAF DAN SIFAT SANTUN
Pada suatu malam yang gelap Umar bin Abdul Aziz memasuki masjid. Ia melewati seorang lelaki yang tengah tidur nyenyak. Lelaki itu terbangun dan berkata: “Apakah engkau gila!” Umar menjawab: “Tidak” Namun para pengawal berusaha meringkus lelaki itu. Namun Umar bin Abdul Aziz mencegah mereka seraya berkata: “Dia hanya bertanya: Apakah engkau gila! dan saya jawab: Tidak.”

Seorang lelaki melapor kepada Wahab bin Munabbih: “Sesungguhnya Fulan telah mencaci engkau!” Ia menjawab: “Kelihatannya setan tidak menemukan kurir selain engkau!”

SALAF DAN SIFAT ZUHUD
Yusuf bin Asbath pernah mendengar Sufyan Ats-Tsauri berkata: “Aku tidak pernah melihat kezuhudan yang lebih sulit daripada kezuhudan terhadap kekuasaan. Kita banyak menemui orang-orang yang zuhud dalam masalah makanan, minuman, harta dan pakaian. Namun ketika diberikan kekuasaan kepadanya maka iapun akan mempertahankan dan berani bermusuhan demi membelanya.”

Imam Ahmad pernah ditanya tentang seorang lelaki yang memiliki seribu dinar apakah termasuk zuhud? Beliau menjawab: “Bisa saja, asalkan ia tidak terlalu gembira bila bertambah dan tidak terlalu bersedih jika berkurang.”

Demikianlah beberapa petikan mutiara salaf yang insya Allah berguna bagi kita dalam menuju proses penyucian jiwa. Semoga Allah senantiasa memberi kita kekuatan dalam meniti jejak generasi salaf dalam setiap aspek kehidupan.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun VI/1423H/2002M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296] 
 
almanhaj.or.id

Klik disini untuk melanjutkan »»

Harta Wakaf

.
0 komentar

Harta Wakaf



KEUTAMAAN WAQAF

Oleh
Ustadz Aunur Rofiq Ghufron

MENJUAL HARTA WAKAF
Sykaikh Abdullah bin Abdurrahman Ali Bassam berkata: Imam Ahmad berpendapat, harta wakaf tidak boleh dijual atau diganti yang lain, kecuali bila tidak bisa dimanfaatkan secara keseluruhan, atau tidak mungkin diperbaiki; sehingga jika tidak dapat dimanfaatkan, maka boleh dijual atau diganti dengan yang lain. Imam Ahmad ini beralasan dengan amalan sahabat Umar Radhiyallahu 'anhu ketika sampai berita kepadanya, bahwa baitul mal di Kufah rusak. Sehingga beliau menulis surat kepada sahabat Sa’ad Radhiyallahu 'anhu agar memindah masjid di Tamarin, dan menjadikan baitul mal di depan masjid, sedangkan masjid itu senantiasa dijadikan sebagai tempat shalat. Perbuatan Khalifah ini disaksikan oleh sahabat, dan tidak ada yang mengingkarinya. Karenanya, kedudukan perbuatan sahabat Umar Radhiyallahu 'anhu ini bernilai Ijma’.

Ibn Taimiyah berkata: Apabila dibutuhkan ganti, maka harta wakaf itu wajib diganti dengan semisalnya. Adapun bila ia tidak dibutuhkan, boleh diganti dengan yang lebih baik, bila ternyata dengan diganti (itu) lebih mendatangkan maslahat. [Lihat Taisirul Allam, 2/252].

Adapun misal harta wakaf yang harus diganti, orang mewakafkan genting masjid, atau kayu, atau peralatan bangunan lainnya, barang itu sudah rusak, maka wajib diganti; sebab bila tidak, maka tidaklah bermanfaat bangunan tersebut, mengingat sebagian peralataannya tidak berfungsi lagi. Misal yang lain, yang tidak membutuhkan ganti, tapi bila diganti akan lebih bermanfaat; (misal) orang mewakafkan rumah dan tanah untuk masjid. Mengingat rumah itu sempit dan tidak bisa menampung kebutuhan jama’ah, maka bangunannya diganti dengan yang lebih luas, sehingga dapat menampung jama’ah yang lebih banyak.

LARANGAN BAGI PEWAKAF
Wakif, hendaknya memperhatikan benda yang diwakafkan. Antara lain : Pertama. Benda wakaf tidak boleh dihibahkan kepada siapapun. Mengapa? Karena wakaf adalah mengambil manfaat, bukan menghabiskan bendanya. Kedua. Benda wakaf tidak boleh diwaris. Karena bila diwaris, berarti status wakafnya pindah menjadi milik perorangan. Ketiga. Benda wakaf tidak boleh dijual-belikan. Karena dengan dijual-belikan, berarti akan hilang benda aslinya.
Adapun dalil larangan tiga perkata di atas, ialah sebagaimana keterangan hadits di atas. Antara lain Umar Radhiyallahu 'anhu berkata.

أَنَّهُ لَا يُبَاعُ وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ

Sesungguhnya tanah wakaf tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh diwaris. [HR Bukhari].

PENGURUS WAKAF
Pengurus wakaf adalah mewakili wakif, untuk melaksanakan amanahnya. Tentunya dibutuhkan orang yang amanat. Diutamakan orang yang berakidah benar dan Ahli Ilmu din (agama) dan bermanhaj yang benar. Memiliki kemampuan mengelola, agar dapat disalurkan hasilnya untuk kebaikan.

Di dalam kitab Kasyaful Qana’ disebutkan, tidak sah wakaf diserahkan kepada: Pertama. Orang yang tidak jelas, misalnya wakaf ini kami serahkan kepada siapa saja, karena diragukan kepengurusannya. Kedua. Diserahkan kepada orang mati, jin atau budak, karena wakaf membutuhkan tenaga yang mampu mengelolanya. Ketiga. Diserahkan kepada bayi yang belum lahir. Karena wakaf membutuhkan izin untuk memilikinya. Sedangkan bayi, dia tak memiliki kemampuan. [Lihat kitab Kasyaful Qana’, 4/249].

JENIS BENDA WAKAF
Adapun jenis barang yang boleh diwakafkan, misalnya:

1. Tanah Kosong.
Sebagaimana hadits di atas, bahwa Bani Najjar mewakafkan tanah untuk masjid. Tentunya bukanlah wakaf tanah hanya diperuntukkan masjid saja, tetapi boleh untuk pendidikan atau rumah sakit dan selainnya yang bermanfaat bagi kaum muslimin khususnya, dan tidak dipergunakan untuk perkara maksiat seperti wakaf untuk gedung biskop, tempat pelacuran dan semisalnya.

2. Alat Perang.
Wakaf berupa alat perang juga dibolehkan, walaupun bendanya tidak tetap, karena ada riwayat dari Abbas Radhiyallahu 'anhu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

مَا يَنْقِمُ ابْنُ جَمِيلٍ إِلَّا أَنَّهُ كَانَ فَقِيرًا فَأَغْنَاهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَأَمَّا خَالِدٌ فَإِنَّكُمْ تَظْلِمُونَ خَالِدًا قَدِ احْتَبَسَ أَدْرَاعَهُ وَأَعْتُادَهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

Bukanlah ibn Jamil benci (mengeluarkan zakat), melainkan dia miskin, lalu Allah mencukupinya dan Rasulnya. Adapun Khalid, sesungguhnya kalian menzhaliminya. Sungguh dia telah mewakafkan baju perangnya, dan dia menyediakannya untuk perang fi sabilillah. [HR Bukhari, no. 1375]

3. Hewan Atau Kendaraan.
Amr bin Al Harist Radhiyallahu 'anhu berkata.

مَا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ عِنْدَ مَوْتِهِ دِرْهَمًا وَلَا دِينَارًا وَلَا عَبْدًا وَلَا أَمَةً وَلَا شَيْئًا إِلَّا بَغْلَتَهُ الْبَيْضَاءَ وَسِلَاحَهُ وَأَرْضًا جَعَلَهَا صَدَقَةً

Pada waktu wafatnya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidaklah meninggalkan dirham, tidak pula dinar, tidak pula budak pria, tidak pula budak wanita, dan sedikitpun tidak meninggalkan harta, melainkan keledainya yang putih, senjata dan tanah. Beliau mewakafkan semua barang itu. [HR Bukhari, no. 2661].

Hadits ini juga sebagai dalil point 2, yaitu waqaf berupa alat perang.

Ulama berbeda pendapat mewakafkan benda yang tidak kekal, misalnya binatang, kendaraan dan lainnya. Tetapi, mereka hanya berselisih dari segi penamaan, disebut wakaf ataukah shadaqah. Perbedaan pendapat ini tidak membatalkan orang yang berinfaq berupa hewan yang dipergunakan hasilnya untuk menuju jalan Allah.

4. Sumur Atau Pengairan.
Utsman bin Affan Radhiyallahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam datang di kota Madinah. Beliau tidak menjumpai air tawar, melainkan sumur namanya Rumah lalu Beliau bersabda.

مَنْ يَشْتَرِيهَا مِنْ خَالِصِ مَالِهِ فَيَكُونَ دَلْوُهُ فِيهَا كَدُلِيِّ الْمُسْلِمِينَ وَلَهُ خَيْرٌ مِنْهَا فِي الْجَنَّةِ

Barangsiapa yang membeli sumur ini dengan uangnya sendiri, sehingga timba yang diletakkan di dalamnya sebagai timbanya orang muslim, dan dia akan mendapat imbalan yang lebih baik di sorga? Lalu aku membelinya dengan hartaku sendiri. [HR Ahmad, no. 524; Tirmidzi, no. 3636; Nasa’i, 3551].

5. Kebun Yang Dimanfaatkan Penghasilannya.

أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ تُوُفِّيَتْ أُمُّهُ وَهُوَ غَائِبٌ عَنْهَا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّي تُوُفِّيَتْ وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا أَيَنْفَعُهَا شَيْءٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَإِنِّي أُشْهِدُكَ أَنَّ حَائِطِيَ الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا

Sesungguhnya Sa’ad bin Ubadah, tatkala ibunya meninggal dunia, dia tidak berada di rumah. Lalu dia bertanya : wahai Rasulullah : sesungguhnya Ibuku meninggal dunia , sedangkan saat itu aku tidak ada ,apakah bermanfaat baginya bila aku yang bersodaqoh ? Beliau menjawab: Ya. Dia berkata: Wahai Nabi ! saksikanlah bahwa kebun yang berbuah banyak ini aku wakafkan agar dia dapat pahala. [HR Bukhari, no. 2551]

Hadist ini menjelaskan pula bahwa boleh orang mewakafkan harta, pahalanya diperuntukkan keluarganya yang telah meninggal dunia.

Keterangan hadits di atas merupakan contoh benda wakaf, bukan sebagai pembatasan. Apabila kita mewakaf kan benda lain berupa mushhaf, kitab hadits dan lainnya hukumnya boleh.

PENERIMA DAN PENGGUNAAN WAKAF
Siapakah yang berhak memanfaatkan hasil wakaf dan bagaimana pemanfaatannya? Berikut beberapa hadits yang menjelaskan penerima hasil wakaf dan penggunaannya.

1. Sesungguhnya Umar bin Khathab Radhiyallahu 'anhu berkata kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

إِنِّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ أَنْفَسَ عِنْدِي مِنْهُ فَمَا تَأْمُرُ بِهِ قَالَ إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا قَالَ فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ أَنَّهُ لَا يُبَاعُ وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ وَتَصَدَّقَ بِهَا فِي الْفُقَرَاءِ وَفِي الْقُرْبَى وَفِي الرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَالضَّيْفِ لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ وَيُطْعِمَ غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ

Saya mendapat bagian tanah di Khaibar. Tidaklah kami memiliki harta yang lebih aku senangi daripada tanah ini. Lalu apa yang engkau perintahkan kepadaku, wahai Nabi? Beliau menjawab,”Jika engkau menghendaki, engkau wakafkan tanahnya, dan engkau shadaqohkan hasilnya.” Dia berkata : Lalu Umar mewakafkan tanahnya, bahwa tanahnya tidak dijual, tidak dihibahkan, tidak diwariskan. Lalu Umar menyedekahkan hasilnya untuk diberikan kepada kaum fakir, untuk kerabat, untuk memerdekakan budak, untuk kepentingan jalan Allah, untuk orang yang terputus bekal bepergiannya, dan untuk menjamu tamu. Yang mengurusinya tidak mengapa bila dia makan sebagian hasilnya dan memberi makan yang lain, asalkan bukan menimbun harta. [HR Bukhari, no. 2532].

2. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dia berkata.

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ رَأَى رَجُلًا يَسُوقُ بَدَنَةً فَقَالَ ارْكَبْهَا

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat seorang laki-laki sedang menggiring onta, lalu Beliau berkata,”Tunggangilah onta itu.” [HR Bukhari, 2442].

3. Sahabat Anas Radhiyallahu 'anhu berkata.

كَانَ أَبُو طَلْحَةَ أَكْثَرَ أَنْصَارِيٍّ بِالْمَدِينَةِ مَالًا وَكَانَ أَحَبُّ أَمْوَالِهِ إِلَيْهِ بَيْرَحَى وَكَانَتْ مُسْتَقْبِلَةَ الْمَسْجِدِ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ يَدْخُلُهَا وَيَشْرَبُ مِنْ مَاءٍ فِيهَا طَيِّبٍ قَالَ أَنَسٌ فَلَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ ( لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ) قَامَ أَبُو طَلْحَةَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ فِي كِتَابِهِ ( لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ) وَإِنَّ أَحَبَّ أَمْوَالِي إِلَيَّ بَيْرَحَى وَإِنَّهَا صَدَقَةٌ لِلَّهِ أَرْجُو بِرَّهَا وَذُخْرَهَا عِنْدَ اللَّهِ فَضَعْهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ حَيْثُ شِئْتَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ: بَخْ ذَلِكَ مَالٌ رَابِحٌ ذَلِكَ مَالٌ رَابِحٌ قَدْ سَمِعْتُ مَا قُلْتَ فِيهَا وَإِنِّي أَرَى أَنْ تَجْعَلَهَا فِي الْأَقْرَبِينَ فَقَسَمَهَا أَبُو طَلْحَةَ فِي أَقَارِبِهِ وَبَنِي عَمِّهِ

Abu Thalhah adalah sahabat yang paling kaya dari sahabat Al Anshar di kota Madinah. Sedangkan harta yang paling ia sukai ialah tanah di Bairoha. Tanah itu berhadapan dengan masjid. Rasulullah n masuk di tanah ini dan minum airnya. Airnya segar sekali. Lalu Anas berkata : Tatkala turun ayat (Kamu tidak akan mendapatkan kebaikan [surga] melainkan bila kamu membelanjakan sebagian harta yang kamu senangi) Abu Thalhah bangun menjumpai Rasulullah n dan berkata,”Wahai, Rasulullah! Allah berfirman : (Kamu tidak akan mendapatkan kebaikan [surga] melainkan bila kamu membelanjakan sebagian harta yang paling kamu senangi), dan sesungguhnya harta yang paling aku cintai adalah tanah di Bairoha. Tanah ini kuwakafkan untuk kepentingan agama Allah. Aku berharap kebaikannya dan sebagai tabungan di sisi Allah. Wahai, Rasulullah! Engkau belanjakan harta ini sesukamu! Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Bakh! Inilah harta yang berlaba, itulah harta yang berlaba. Aku memang telah mendengar perkataanmu ini. Aku berpendapat, hendaknya engkau wakafkan tanahmu ini untuk kerabat. Lalu Abu Thalhah membaginya untuk kerabatnya dan anak pamannya. [HR Muslim, no. 1664].

4. Hadits

أَنْ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَصَابَ أَرْضًا بِخَيْبَرَ فَأَتَى النَّبِيَّ يَسْتَأْمِرُهُ فِيهَا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ أَنْفَسَ عِنْدِي مِنْهُ فَمَا تَأْمُرُ بِهِ قَالَ إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا قَالَ فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ أَنَّهُ لَا يُبَاعُ وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ وَتَصَدَّقَ بِهَا فِي الْفُقَرَاءِ وَفِي الْقُرْبَى وَفِي الرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَالضَّيْفِ

Sesunggguhnya Umar bin Khathab mendapatkan bagian tanah di Khaibar. Lalu dia datang menjumpai Rasulullah untuk meminta saran mengenai kebun pembagian itu. Lalu dia berkata,”Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya aku mendapatkan bagian tanah di Khaibar. Sungguh belum pernah aku memiliki harta yang lebih aku sukai daripada tanah ini. Maka, apa yang engkau perintahkan kepadaku dengan harta ini? Lalu Beliau bersabda,”Jika engkau menghendaki, peliharalah kebun itu dan engkau shadaqohkan buahnya. Dia berkata: Lalu Umar menyedekahkan hasilnya. Sesungguhnya tanah itu tidak dijual, tidak dihadiahkan dan tidak boleh diwaris. Lalu Umar menyedahkannya kepada fuqoro’, kerabatnya, untuk memerdekakan budak, untuk fi sabilillah, untuk membantu ibnu sabil dan untuk menjamu tamu. [HR Bukhari, Kitabusy Syurut, no. 2532].

Dari uraian hadits di atas, secara umum pemanfaatan wakaf ada dua macam. Pertama, wakaf untuk keluarga. Maksudnya wakaf untuk cucu atau keluarga dan orang sepeninggal mereka. Kedua, wakaf khairiyah. Maksudnya wakaf untuk kemaslahatan umum. [Lihat Fiqih Sunnah, 3/337].

Adapun yang berhak menerima dan memanfaatkan hasil wakaf, secara terperinci sebagai berikut.

1. Keluarga atau anak.
Jika pewakaf mewakafkan untuk keluarga, maka keluarga boleh mengambil hasil wakaf, karena hadist di atas menerangkan: وَفِي الْقُرْبَى “ dan untuk keluarga”.

2. Orang Kaya.
Waqaf ditujukan kepada orang kaya boleh, karena keumuman kalimat “dan untuk keluarga”, berarti orang kaya termasuk di dalamnya. Selanjutnya hadits di atas menyebutkan bahwa Beliau bersabda:

إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا

”Jika kamu menghendaki , kamu wakafkan tanahnya, dan kamu shadaqohkan hasilnya”

Imam Bukhari menulis ”Bab Waqaf Diperuntukkan Orang Kaya dan Miskin dan Tamu” berdalil dengan hadits Umar. Lihat Shahih Bukhari, 2/1020.

3. Fakir Miskin.
Fakir miskin atau anak yatimpun berhak meman faatkan hasil wakaf , utamanya bila wakif mewakafkan untuk mereka, karena hadits diatas mengatakan :

وَتَصَدَّقَ بِهَا فِي الْفُقَرَاءِ

”Lalu Umar menyedekahkan hasilnya untuk diberikan kepada kaum fakir”.

4. Ibn Sabil.
Ibn sabil, maksudnya orang yang bepergian ibadah, atau penuntut ilmu din. Mereka membutuhkan bantuan karena terputus bekalnya. Mereka boleh menerima bantuan hasil wakaf, karena hadits di atas ada kalimat:
وَابْنِ السَّبِيل “ dan untuk ibn Sabil”

5. Fi sabilillah.
Maksudnya untuk orang yang jihad atau berperang untuk menegakkan dinul Islam dengan membelikan alat perang, atau untuk menafkahi para pengajar din Islam, untuk sarana pendidikan Islam dan semisalnya, karena hadits di atas menyebutkan: "Dan untuk fi sabililla وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ

6. Pewakaf.
Orang yang wakaf boleh mengambil sebagian hasil wakafnya, bila di dalam wakaf ia mensyaratkan dirinya mengambil sebagian hasil harta wakafnya. Karena ada hadits, dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan orang bershadaqoh. Lalu ada orang laki-laki berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ عِنْدِي دِينَارٌ فَقَالَ تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى نَفْسِكَ قَالَ عِنْدِي آخَرُ قَالَ تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى وَلَدِكَ قَالَ عِنْدِي آخَرُ قَالَ تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى زَوْجَتِكَ أَوْ قَالَ زَوْجِكَ قَالَ عِنْدِي آخَرُ قَالَ تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى خَادِمِكَ قَالَ عِنْدِي آخَرُ قَالَ أَنْتَ أَبْصَرُ

Wahai, Rasulullah. Saya memiliki dinar,” Beliau berkata: ”Shadaqohkan untuk dirimu.” Dia berkata,”Saya memiliki yang lain.” Beliau bersabda,”Shadaqohkan untuk anakmu.” Dia berkata,”Saya memiliki yang lain.” Beliau bersabda,”Shadaqohkan untuk istrimu.” Dia berkata,”Saya memiliki yang lain.” Beliau bersabda,”Shadaqohkan untuk pelayanmu.” Dia berkata,”Saya memiliki yang lain.” Beliau bersabda,”Engkau yang lebih tahu.” [HR Abu Dawud, no. 1441].

7. Tamu.
Maksudnya, bila ada tamu, boleh diambilkan harta wakaf untuk menjamu tamu, apalagi mereka tamu Allah, karena disebutkan hadits di atas : وَالضَّيْفِ “untuk menjamu tamu”

8. Pengurus Harta Wakaf.
Tentunya pengurus harta wakaf tidaklah mengambil hasil wakaf, melainkan sesuai dengan pekerjaannya dengan didasari takut kepada Allah. Hadits di atas menyebutkan :

لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ وَيُطْعِمَ غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ

Yang mengurusinya tidak mengapa bila dia makan sebagian hasilnya dan memberi makan yang lain, asalkan bukan untuk menimbun harta. [HR Bukhari, no. 2565].

ZAKAT WAKAF
Ibn Qudamah berkata: Jika benda waqaf itu berupa pohon yang berbuah atau tanah yang diperuntukkan pertanian, sedangkan yang menerima wakaf ini perorangan, kemudian menghasilkan buah-buahan atau biji-bijian telah mencapai nisab, maka wajib mengeluarkan zakatnya. Inilah pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i. Adapun wakaf yang diperuntukkan fakir miskin, maka tidak dikenakan zakat, meskipun pada waktu panen mencapai nisab. [Lihat Al Mughni, 8/228].

Dari keterangan di atas, tidak semua benda wakaf dikenakan zakat, tetapi khusus wakaf tanah yang diperuntukkan untuk pertanian. Itupun terbatas dengan tanaman tertentu. Untuk lebih jelasnya, dapat kita pelajari pada pembahasan zakat tanaman.

Demikianlah keterangan singkat masalah wakaf. Semoga Allah Subhanhu wa Ta'ala memberi petunjuk kepada umat Islam agar segera mewakafkan sebagian hartanya, sehingga kebutuhan kaum muslimin dapat terpenuhi, baik untuk kepentingan sarana ibadah, pendidikan atau untuk membantu orang yang membutuhkannya. Utamanya untuk mengembangkan da’wah salafiyah dibutuhkan sarana dan bantuan yang cukup, agar ahli tauhid cepat bangkit serta ahli syirik dan ahli bid’ah berkurang. Barangsiapa membantu saudaranya muslim, Allah Subhanahu wa Ta'ala akan membantunya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun VIII/1425H/2004M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296] 
 
almanhaj.or.id

Klik disini untuk melanjutkan »»

Menyikapi Cap Teroris Atas Salafy - www.antiteroris.com (update 11/11/2009)

.
0 komentar

Menyikapi Cap Teroris Atas Salafy - www.antiteroris.com (update 11/11/2009)

Penulis: Redaksi Salafy.or.id

Bismillah...
Para pembaca sekalian, rahimahumullah...
Kejadian-kejadian aksi terorisme di negeri ini dalam beberapa waktu terakhir terus meningkat. Di sisi lain upaya aparat untuk memburu para teroris pelaku pengeboman tak berperikemanusiaan itu terus gencar.
Beberapa pelaku teror berhasil ditangkap. Sangat disayangkan, ternyata di antara mereka yang tertangkap sebelumnya adalah para pemuda muslimin yang dikenal baik di lingkungannya, memiliki semangat beragama yang tinggi, dan pembelaan terhadap Islam. Para orang tua yang mendengar anaknya tewas dalam aksi terorisme atau terciduk oleh aparat, kaget dan terpukul. Tentunya kita heran,
bagaimana paham terorisme bisa masuk menyusup ke generasi muda muslim? Apa benar terorisme merupakan bagian dari ajaran agama?
Lebih rumit lagi, ternyata pada sebagian teroris yang tertangkap atau masih buron, pada mereka ada penampilan syiar agama Islam, misalnya berjenggot, celana di atas mata kaki, baju gamis, istri bercadar, dan syiar ketaatan beragama lainnya.

Tak ayal lagi, sebagian orang menganggap bahwa itu adalah ciri-ciri teroris.

Parah lagi, mereka menganggap setiap orang yang berpenampilan dengan penampilan di atas, maka berarti identik dengan teroris atau orang yang sekelompok/segolongan dengan para teroris! Kondisi ini diperkeruh dengan komentar-komentar para tokoh tidak bertanggung jawab dan asal bicara, yang dilansir oleh media.
Perlu diketahui bahwa penampilan Islami seperti di atas sebenarnya merupakan cara penampilan yang dituntunkan dalam syariat dan dicontohkan oleh Nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, serta diamalkan oleh para sahabat dan para salafush shalih, serta para ulama Ahlus Sunnah yang mulia. Jadi, sebenarnya itu merupakan ciri-ciri seorang muslim yang berpegang teguh dengan agamanya.
Sepantasnya seorang muslim berpenampilan dengan penampilan seperti itu. Namun para teroris tersebut telah menodai ciri-ciri yang mulia ini, dengan mereka terkadang berpenampilan dengan penampilan tersebut. Sehingga sampai-sampai kaum muslimin sendiri tidak mau berpenampilan dengan penampilan Islami seperti di atas, karena beranggapan bahwa penampilan tersebut adalah penampilan teroris.


Nyata-nyata para teroris Khawarij tersebut telah membuat jelek Islam dari segala sisi! Padahal dalam kondisi-kondisi tertentu –dalam rangka menghilangkan jejak misalnya—terkadang mereka tak segan melepas segala atribut penampilan syiar sunnah dari dirinya!! Mencukur jenggotnya sekalipun akan sanggup mereka lakukan!! Penampilan luar semata tidak bisa dijadikan patokan untuk menilai seseorang sebagai teroris. Jangan apriori terhadap penampilan sunnah dan ajaran
sunnah. Di sisi lain jangan pula terkecoh dengan penampilan tersebut.
Maka, kita perlu tahu apa dan bagaimana paham keagamaan para teroris pelaku peledakan bom Bali, JW.
Marriot, dll. berikut bahaya paham tersebut terhadap Islam dan umat Islam serta kehidupan manusia
.
Apa benar paham dan praktek mereka selama ini ada landasannya dalam Islam? Apa kaitannya dengan jihad?

Benarkah mereka sedang berjuang membela Islam?
Apa semua orang yang berjenggot, berjubah, isterinya bercadar, … dst adalah teroris, atau identik dengan teroris, atau sealiran dengan kelompok teroris?

Silakan simak indeks artikel situs
www.merekaadalahteroris.com dan artikel terkait berikut ini ...
A. BUKU PERTAMA

Judul: Mereka Adalah Teroris! (Sebuah Tinjauan Syari’at)
Penulis: Luqman bin Muhammad Ba’abduh
Desain Cover: Royyan, Bayu Enggal Kh@s Desain
Tataletak: Mitra Grafika
Cetakan: Pertama, Ramadhan 1426 H / Oktober 2005 M
Kedua, Dzulqo’dah 1426 H / Desember 2005 M
Penerbit: Pustaka Qaulan Sadida, Perum Villa Bukit Tidar Blok A-1/401 Malang
Telp: (0341) 7062995
Hp. 081334995694
Distributor : Media Sunnah (Jabotabek) 081380713788, Ubadah (Yogyakarta) 0818461238, Hasan Ibnu Harun (Jember) 0331-7758324
1. DARI PENERBIT MEREKA ADALAH TERORIS! (sebuah tinjauan syari’at)
http://www.merekaadalahteroris.com/mat/?p=18
2. RESENSI MEREKA ADALAH TERORIS
http://www.merekaadalahteroris.com/mat/?p=7#more-7
3. KATA PENGANTAR CETAKAN PERTAMA -MEREKA ADALAH TERORIS!-
http://www.merekaadalahteroris.com/mat/?p=20
4. KATA PENGANTAR CETAKAN KEDUA -MEREKA ADALAH TERORIS!-
http://www.merekaadalahteroris.com/mat/?p=21
5. BIOGRAFI PENULIS
http://www.merekaadalahteroris.com/mat/?page_id=3
6. COPYRIGHT
http://www.merekaadalahteroris.com/mat/?page_id=4
7. KENAPA SIH KOK BICARANYA KASAR?
http://www.merekaadalahteroris.com/mat/?p=19

B. BUKU KEDUA

Judul Indonesia : MENGIDENTIFIKASI NEO-KHAWARIJ SEBAGAI SEJELEK-JELEK MAYAT DI KOLONG LANGIT
Judul Asli: SYARRU QATLA TAHTA ADIMIS-SAMA‘I KILABUN-NAR
Penulis: Jamal bin Furaihan Al-Haritsi
Cetakan: Pertama, 1424 H/2004 M
Penerbit: Darul Minhaj
Edisi Indonesia: Mengidentifikasi NEO-KHAWARIJ sebagai Sejelek-jelek Mayat di Kolong Langit
Diterjemahkan dan Dijelaskan Oleh: Luqman bin Muhammad Ba’abduh
Cetakan: Pertama, Sya’ban 1428 H/ Agustus 2007 M
Penerbit: Pustaka Qaulan Sadida, Perum Villa Bukit Tidar Blok A-1/401 Malang
Telp: (0341) 7062995
Hp. 081334995694
1. PENGANTAR PENERJEMAH buku Mengidentifikasi NEO-KHAWARIJ sebagai Sejelek-jelek Mayat di Kolong Langit
http://www.merekaadalahteroris.com/mat/?p=8
2. Mengidentifikasi NEO-KHAWARIJ sebagai Sejelek-jelek Mayat di Kolong Langit
http://www.merekaadalahteroris.com/mat/?p=5
3. Beberapa Ciri-Ciri Lain Kaum Khawarij
http://www.merekaadalahteroris.com/mat/?p=35#more-35
4. Paham Al-Khawarij Akan Terus Berlanjut
http://www.merekaadalahteroris.com/mat/?p=28#more-28
5. Mereka Adalah Teroris - Bantahan atas Teroris
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1016

C. ARTIKEL TERKAIT
1. DARI PENERBIT MENEBAR DUSTA MEMBELA TERORIS KHAWARIJ
http://www.merekaadalahteroris.com/mat/?p=17
2. MENGAPA MEREKA TERSESAT?
http://www.merekaadalahteroris.com/mat/?p=14
3. MENGAPA SIBUK MEMBANTAH SESAMA MUSLIM DAN DIAM TERHADAP ORANG KAFIR?
http://www.merekaadalahteroris.com/mat/?p=11
4. MENGAPA MENGGUNAKAN KATA-KATA KERAS DAN PEDAS
http://www.merekaadalahteroris.com/mat/?p=12
5. MENGAPA MEREKA TERSESAT?
http://www.merekaadalahteroris.com/mat/?p=14
6. MENGAPA SIBUK MEMBANTAH SESAMA MUSLIM DAN DIAM TERHADAP ORANG KAFIR?
http://www.merekaadalahteroris.com/mat/?p=11
7. AGAR ANAK TIDAK MENJADI TERORIS
http://www.merekaadalahteroris.com/mat/?p=63
http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1499
8. MENYIKAPI AKSI-AKSI TERORIS KHAWARIJ
http://www.merekaadalahteroris.com/mat/?p=64
http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1511
9. Bingkisan Ringkas untuk Abduh ZA - Muqoddimah (Revisi)
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1116
10. Bingkisan Ringkas untuk Abduh ZA - Pertama (Revisi)
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1117
11. Bingkisan Ringkas untuk Abduh ZA - Kedua (Revisi)
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1118
12. Bingkisan Ringkas untuk Abduh ZA - Ketiga (Revisi)
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1119
13. Amrozi cs, Mati Syahidkah?
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1371
14. Menyikapi Bom Bali 2 - Terorisme itu Sesat
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1010
15. Jangan Gampang Memvonis Mati Syahid !
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1365
16. Membongkar pemikiran sang begawan teroris (Imam Samudra) I
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=878
17. Membongkar pemikiran sang begawan teroris (Imam Samudra) (2)
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=879
18. Jangan Buang BOM Sembarang Tempat !!!
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1516
19. Peringatan: Cadar, Celana Ngatung dan Janggut bukan Ciri-ciri Teroris
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1517
20. Nasehat Kepada Teroris
http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1518
21. Penampilan Nyunnah itu Syiar Islam, Bukan Ciri-Ciri Teroris !
http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1519

D. Pembelaan atas Negeri Saudi Arabia yang dicap pengusung paham WAHABISME (WAHABI)

Salafi yg kerap diejek dgn Salafi WAHABI Bukanlah Teroris, pengikut ajaran Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tidak pernah mengusung paham TERORISME sama sekali.
1. Pembelaan atas negeri pendukung manhaj Salaf (I)
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=855
2. Pembelaan atas negeri Saudi - Kembali pada al Haq (II)
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=856
3. Pembelaan atas negeri Saudi - Wahabi = Sunni Salafy (III)
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=857
4. Apa dan Siapakah Wahhabi
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1042
5. Sosok Pembaharu : Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1043
6.Sejarah Najd dan Hubungannya dengan Daulah 'Utsmaniyyah
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=657
7. Apa dan bagaimana paham Wahabi? Benarkah Wahabi mengusung paham terorisme?
Silakan baca versi Inggris di http://www.thewahhabimyth.com/ , berikut judulnya :
WAHHABISM
Orthodox Islam and Wahhabism - is there a difference?Does the Creed of 'Wahhabism' Differ From That of Orthodox Islam?
Does Wahhabism endorse suicide bombings? What do the Wahhabis say themselves?Do 'Wahhabis' Support Suicide Bombings?
Wahhabism and terrorism - Do Wahhabis support terrorism?Do 'Wahhabis' Support Acts of Terrorism?
Wahhabism - Are Wahhabis dangerous?Are 'Wahhabis' a Dangerous and Treacherous People?
Osama bin Laden and the Wahhabis - Is his sect Wahhabism?Does Osama Bin Laden Like 'Wahhabis'?
Do Wahhabis even like Osama bin Laden?Do 'Wahhabis' like Osama Bin Laden?
Wahhabism and 9/11 from the words of the WahhabisWhat do 'Wahhabis' Think About 9/11?
Stephen Schwartz and Wahhabism - Does he speak justly about the Wahhabis?Has Stephen Schwartz Spoken Justly About 'Wahhabism'?
OSAMA BIN LADEN
Is Osama bin Laden a Saudi Wahhabi?Is Osama Bin Laden Really a 'Wahhabi'?
Is Osama bin Laden's real affiliation with Wahhabism or something else?What Sect Does Osama Bin Laden Belong to?
The Difference Between Osama bin Laden's sect and WahhabismWhat Kind of Effect has Osama Bin Laden's Sect Had on the World?
Does Osama bin Laden even like Wahhabis and Wahhabism?Does Osama Bin Laden Like 'Wahhabis'?
Do Wahhabis even like Osama?Do 'Wahhabis' Like Osama Bin Laden?
What is Osama bin Laden's real objective?Is Fighting the U.S. Osama Bin Laden's Front for a Different Objective?
WHO'S WHO?
Is Allah a foreign god?Who is Allah?
All about Wahhabis and WahhabismWhat is a 'Wahhabi' and What is 'Wahhabism'?
All about Salafis and SalafismWhat is a Salafi and What is Salafism?
The Muslim Brotherhood of Egypt - al-Ikhwan al-MuslimunThe Group: al-Ikhwan al-Muslimun (The Muslim Brotherhood) of Egypt
Sayyid Qutb a Wahhabi?Who was Sayyid Qutb?
Who was Abu Alaa Maududi?Who was Abu Alaa Maududi?
Who is Hasan al-Banna?Who was Hasan Al-Banna?
Sufis and SufismWhat is a Sufi and What is Sufism?
The Khariji sect, also called the Khawarij, Kharijites, or KhawaarijWhat is a Khariji and Who are the Khawarij?
E. ARTIKEL TENTANG JIHAD, TERORISME & BOM BUNUH DIRI
1. Perintah Taat kepada Allah, Rasul dan Pemerintah
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1035
2. Makna Terorisme dalam Pandangan Islam
http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=1114
3. Cara-Cara Batil Menegakkan Daulah Islamiyah
http://salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1433
4.Perangi musuh Islam dengan menghidupkan sunnah
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=818
5. Ketentuan dan Prinsip-Prinsip Dalam Berjihad
http://salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1522
6. Islam Menentang Sikap Ekstrim Dan Melampaui Batas
http://salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1523
7. Pembagian Jihad Melawan Orang Kafir Secara Fisik
http://salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1524
8. Sebab Musabab Munculnya Terorisme
http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=1526
9. Akar Kesesatan Pelaku Terorisme
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1520
10. Dampak Negatif Aksi Terorisme
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1521
11. Hukuman Bagi Pelaku Terorisme Dalam Syari’at
Islam
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1525
12. Fatwa Para Ulama Senior Ttg Bom Bunuh Diri
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=287
13. Fatwa Para Ulama dalam menyikapi krisis Libanon (Bag. I)
http://salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1083
14. Fatwa Para Ulama dalam menyikapi krisis Libanon (Bag. II)
http://salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1084
15.Fatwa-fatwa Ulama Seputar Bom di Saudi & WTC
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1527
16.NOORDIN END STOP!!!
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1528
17. Mengenal Lebih Dekat Syaikh Muqbil bin Hadi al Wadi'i - Beliau Bukan Guru Para Teroris
http://salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1530
18. Syaikh Muqbil menentang Usamah bin Ladin cs
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1531
19. Benarkah Syaifudin Zuhri Murid Syaikh Muqbil?
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1533
20. Benarkah Syaikh Muqbil Mengajarkan & Pro Terorisme ?
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1534
21. Peledakan demi peledakan... Inikah Jihad ??
http://salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1535
22. Bombardir atas nama Jihad = Pengikut Setan
http://salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1536

Berikut kumpulan daurah, ceramah, terkait pemberantasan Terorisme dengan Ilmu Al Qur'an dan Sunnah sbb :

1. Daurah “Membongkar Kedok Teroris & Sikap Ahlussunnah Terhadap Pemerintah”.
Penceramah : Al-Ustadz Muhammad As-Sewed (Pengasuh Ma'had Al Anshar Yogyakarta dan Ma'had Dhiya'us Sunnah, Cirebon)

Ceramah pada 19 Dhulqa’da 1430 H / 08 November 2009 di Masjid Al-Mujahidin, Slipi Blok A, Jakarta Barat.

Download disini :
Pertama
Kedua
Ketiga

Daurah di Tegal bersama ustadz Muhammad
Pertama
Kedua
Ketiga


2. Daurah Menyikapi Aksi-Aksi Terorisme Khawarij di Boyolali (25/10/2009)
Penceramah : Al Ustadz Muhammad Afiffudin -hafizhahullah-
(Mudir Ma’had Sedayu Gresik, Alumnus Ma'had Darul Hadits, Sha'da, Yaman)

Download disini :
Pertama
Kedua
Ketiga


3. Daurah : Terorisme Dalam Timbangan Syariat (Karang Anyar, 01/11/2009)
Penceramah : Al Ustadz Ali Basuki, Lc dari Jakarta Alumnus Universitas Islam Madinah, Saudi Arabia

Download disini :
Pertama
Kedua
Ketiga


4. Daurah : Sebab Terjadinya Terorisme
Penceramah : Al Ustadz Abu Muhammad Dzulqarnain (Penulis buku Jihad Bukan Kenistaan, jihadbukankenistaan.com, Makassar)

Download disini :
Pertama
Kedua
Ketiga
Keempat
Kelima


5. Daurah Ustadz Muhammad Yahya, Depok, Jakarta, terkait Terorisme

Download disini :
Pertama
Kedua


Demikian indeks ini semoga memudahkan pembaca mengikutinya secara runtut dan mudah mengambil manfaatnya.

Redaksi Salafy.or.id(silahkan merujuk Web aslinya)

Klik disini untuk melanjutkan »»

KEUTAMAAN WAQAF

.
0 komentar

Keutamaan Waqaf



Oleh
Ustadz Aunur Rofiq Ghufron


Wakaf termasuk amal ibadah yang paling mulia bagi kaum muslim, yaitu berupa membelanjakan harta benda. Dianggap mulia, karena pahala amalan ini bukan hanya dipetik ketika pewakaf masih hidup, tetapi pahalanya juga tetap mengalir terus, meskipun pewakaf telah meninggal dunia. Bertambah banyak orang yang memanfaatkannya, bertambah pula pahalanya; terlebih bila yang memanfaatkan hasil wakaf ini orang yang berilmu dinul Islam, ahli ibadah menurut Sunnah dan ahli da’wah Salafiyah, tentunya akan lebih bermanfaat lagi . Ini semua akan dipetik oleh pekawakafnya besok pada hari kiamat.

Dari Abu Mas’ud Al Anshari Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Ada seorang laki-laki datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Orang itu berkata kepadanya: ”Saya kehabisan bekal dalam perjalananku ini, maka antarkan aku ke tempat tujuan?” Beliau menjawab,”Saya tidak punya kendaraan,” lalu ada seorang laki-laki yang berkata,”Wahai, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Aku tunjukkan orang yang dapat mengantarkan dia,” lalu Beliau bersabda:

مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ

Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia (orang yang menunjukkannya) akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya. [HR Muslim, 3509].

Bayangkan, orang yang menunjukkan kebaikan, yang modalnya hanya berupa lisan atau tenaga, dijamin akan mendapatkan pahala semisal orang yang mengerjakannya. Maka, bagaimana dengan orang yang menunjukkan kebaikan disertai harta bendanya? Bukankah lebih utama dan lebih banyak pahalanya? Tentunya ini hanya dapat diterima dan diamalkan oleh orang yang kuat imannya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan berharap pahalaNya besok pada hari pembalsan. Misalnya, sahabat Thalhah Radhiyallahu 'anhu tatkala mendengar ayat :

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ

Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. [Ali Imran:92].

Anas Radhiyallahu 'anhu berkata: Abu Thalhah Radhiyallahu 'anhu datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam seraya berkata,”Wahai, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ! Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (Ali Imran:92). Sesungguhnya harta yang paling aku senangi adalah tanah bairoha. Dan sesungguhnya tanah ini aku shadaqahkan untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala. Aku berharap sorgaNya dan simpanannya di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Wahai, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ! Aturlah tanah ini sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memberi petunjuk kepadamu … [HR Bukhari, Kitab Az Zakat, 1368].

Demikianlah suri tauladan sahabat yang wajib kita contoh. Barangsiapa yang ingin menirunya, silahkan simak tata cara wakaf ini, agar amal kita diterima Allah Subhanahu wa Ta'ala dan mendapat pahala yang banyak. Dan harta kita tidak sia-sia di dunia.

DEFINISI WAKAF
Waqaf menurut bahasa, berasal dari bahasa Arab الوقف bermakna الحبس , artinya menahan. [Lihat Mu’jam Al Wasith (2/1051].

Imam Abu Bakar Muhamad bin Abi Sahel As Sarkhasi mengartikan waqaf menurut bahasa sebagaimana di atas, lalu berdalil dengan firmanNya:

وَقِفُوهُمْ إِنَّهُمْ مَسْئُولُونَ

Dan tahanlah mereka (di tempat perhentian) karena sesungguhnya mereka akan ditanya. (Ash Shofat:24). Lihat kitab Al Mabsuth, 12/39.

Maksud pengambilan ayat ini karena ada kalimat waqofa, artinya menahan.

Sedangkan wakaf menurut istilah, yaitu menahan benda yang pokok dan menggunakan hasil atau manfaatnya untuk kepentingan dinul Islam. Lihat kitab Al Muhgni oleh Ibn Qudamah (8/184), Fiqhus Sunnah (3/377), Al Hidayah , Al Kafi , Al Talhish, Al Mustau’ib, Al Hawy Ash Shaghir. Lihat kitab Al Inshaf oleh Mardawi (7/3), Hasyiah Ibn Abidin (4/398), Subulus Salam (3/87).

Atau istilah yang lain, yaitu menahan barang yang dimiliki, tidak untuk dimiliki barangnya, tetapi untuk dimanfaatkan hasilnya untuk kepentingan orang lain. [Lihat kitab Al Mabsuth, 12/39]

DALIL DISYARI’ATKAN WAKAF
Wakaf termasuk amal ibadah yang berupa harta benda, telah disyari’atkan Islam semenjak Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam masih hidup, dan kemudian dilanjutkan oleh para sahabatnya serta para pengikutnya yang setia. Sahabat Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu berkata :

أَصَابَ عُمَرُ بِخَيْبَرَ أَرْضًا فَأَتَى النَّبِيَّ فَقَالَ أَصَبْتُ أَرْضًا لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ أَنْفَسَ مِنْهُ فَكَيْفَ تَأْمُرُنِي بِهِ قَالَ إِنْ شِئْتَ حَبَّسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا , فَتَصَدَّقَ عُمَرُ , أَنَّهُ لَا يُبَاعُ أَصْلُهَا وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ , فِي الْفُقَرَاءِ وَالْقُرْبَى وَالرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالضَّيْفِ وَابْنِ السَّبِيلِ , لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ أَوْ يُطْعِمَ صَدِيقًا غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ فِيهِ

Umar Radhiyallahu 'anhu telah memperoleh bagian tanah di Khaibar, lalu ia datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, seraya berkata,”Aku telah mendapatkan bagian tanah, yang saya tidak memperoleh harta selain ini yang aku nilai paling berharga bagiku. Maka bagaimana engkau, wahai Nabi? Engkau memerintahkan aku dengan sebidang tanah ini?” Lalu Beliau menjawab,”Jika engkau menghendaki, engkau wakafkan tanah itu (engkau tahan tanahnya) dan engkau shadaqahkan hasilnya,” lalu Umar menyedekahkan hasilnya. Sesungguhnya tanah ini tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan dan tidak boleh diwaris, tetapi diinfakkan hasilnya untuk fuqara, kerabat, untuk memerdekakan budak, untuk kepentingan di jalan Allah, untuk menjamu tamu dan untuk ibnu sabil. Orang yang mengurusinya, tidak mengapa apabila dia makan sebagian hasilnya menurut yang makruf, atau memberi makan temannya tanpa ingin menimbunnya. [HR Bukhari no. 2565, Muslim 3085].

Imam Nawawi berkata: Hadits ini menunjukkan asal disyari’atkan wakaf. Dan inilah pendapat jumhurul ulama’, serta menunjukkan kesepakatan kaum muslimin, bahwa mewakafkan masjid dan sumber mata air adalah sah. [Lihat Syarah Muslim, 11/86].

Dalil dari hadits yang lain, Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu berkata:

لَمَّا قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ الْمَدِينَةَ أَمَرَ بِبِنَاءِ الْمَسْجِدِ وَقَالَ يَا بَنِي النَّجَّارِ ثَامِنُونِي بِحَائِطِكُمْ هَذَا ؟ قَالُوا : لَا ,وَاللَّهِ لَا نَطْلُبُ ثَمَنَهُ إِلَّا إِلَى اللَّهِ

Tatkala Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam datang di Madinah, Beliau menyuruh agar membangun masjid. Lalu Beliau berkata,”Wahai, Bani Najjar! Juallah kebunmu ini kepadaku!” Lalu Bani Najjar berkata,”Tidak kujual. Demi Allah, tidaklah kami jual tanah ini, kecuali untuk Allah. [HR Bukhari].

Berdasarkan hadits di atas, jelaslah bahwa Bani Najjar mewakafkan tanah kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sala untuk dibangun masjid, dan wakaf termasuk amal jariyah (yang mengalir terus pahalanya).

KEUTAMAAN WAKAF
Syaikh Abdullah Ali Bassam berkata: Wakaf adalah shadaqah yang paling mulia. Allah menganjurkannya dan menjanjikan pahala yang sangat besar bagi pewakaf, karena shadaqah berupa wakaf tetap terus mengalir menuju kepada kebaikan dan maslahat. Adapun keutamaannya, (meliputi):

Pertama : Berbuat baik kepada yang diberi wakaf, berbuat baik kepada orang yang membutuhkan bantuan. Misalnya kepada fakir miskin, anak yatim, janda, orang yang yang tak memiliki usaha dan perkerjaan, atau untuk orang yang berjihad fi sabilillah, untuk pengajar dan penuntut ilmu, pembantu atau untuk pelayanan kemaslahatan umum.

Kedua : Kebaikan yang besar bagi yang berwakaf, karena dia menyedekahkan harta yang tetap utuh barangnya, tetapi terus mengalir pahalanya, sekalipun sudah putus usahanya, karena dia telah keluar dari kehidupan dunia menuju kampung akhirat. [Lihat Kitab Taisiril Allam, 2/246].

HUKUM WAKAF
Hukum wakaf adalah sunnah, dengan mengingat dalil di atas dan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

Apabila manusia meninggal dunia, maka terputus amalnya kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakannya. [HR Muslim 3084].

Syaikh Ali Bassam berkata: Adapun yang dimaksud dengan shadaqah dalam hadits ini ialah wakaf. Hadits ini menunjukkan, bahwa amal orang yang mati telah terputus. Dia tidak akan mendapat pahala dari Allah setelah meninggal dunia, kecuali (dari) tiga perkara ini; karena tiga perkara ini termasuk usahanya. Para sahabat dan tabi’in mengizinkan orang berwakaf, bahkan menganjurkannya. [Lihat kitab Taisiril Allam, 2/132].

Imam Tirmidzi berkata: Kami tidak melihat salah seorang sahabat dan orang Ahli Ilmu pada zaman dahulu mempermasalahkan kebolehan mewakafkan tanah, melainkan hanya Syuraih yang mengingkarinya. [Lihat Fathul Bari, 5/402].

Imam Syafi’i berkata: Kami tidak pernah mengetahui orang Jahiliyah mewakafkan sesuatu, tetapi orang Islam yang mewakafkan hartanya. Ini menunjukkan, bahwa di dalam Islam, wakaf adalah masyru’. [Lihat Taisiril Allam Syarah Umdatul Ahkam, 2/245].

RUKUN WAKAF
Adapun rukun wakaf ada empat, yaitu : orang yang wakaf, benda yang diwakafkan, orang yang diserahi wakaf, dan sighat atau akad wakaf. Rukun ini telah disepakati oleh jumhurul ulama. [Lihat kitab Al Fiqhul Islami Waadillatihi, 8/159].

Syarat Orang Yang Wakaf (Wakif)
Orang yang wakaf, hendaknya merdeka, pemilik barang yang diwakafkan, berakal, baligh dan cerdas (mengerti dan tanggap). Dalilnya ialah:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

Allah tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya. [Al Baqarah:236].

Dari A’isyah Radhiyallahu 'anha, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ

Tidak dicatat tiga keadaan; orang yang tidur sehingga dia bangun, anak kecil sehingga dia baligh dan orang gila sehingga dia sadar. [HR Abu Dawud, 4398; Ibn Majah, 2041; Bukhar, 6/169. Lihat Al Irwa’, 297].

Ayat dan hadits di atas menunjukkan, bahwa kesanggupan merupakan syarat seseorang dalam mengerjakan ibadah. Begitu pula dalam masalah wakaf; mengingat wakaf termasuk ibadah, maka kesanggupan pewakaf terpenuhi bila orang itu telah baligh, berakal, punya kecerdasan dan harta yang diwakafkan miliknya sendiri.

Abu Bakar Al Jazairi berkata: Pewakaf hendaknya mempunyai hak mewakafkan, cedas, mengerti. [Lihat Minhajul Muslim, 349].

Pewakaf hendaknya tidak memberi syarat yang haram atau memadharatkan. Ibn Taimiyah berkata: Mengingat syarat orang yang wakaf terbagi menjadi dua; pewakaf yang sah dan yang batil menurut kesepakan ulama. Maka, apabila pewakaf memberikan syarat yang haram, maka syaratnya batil. Demikian berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

Tidak boleh taat kepada makhluq yang mengajak maksiat kepada Allah. [HR Imam Ahmad, no. 1041. Lihat Majmu’ Fatawa, 31/49].

Untuk lebih jelasnya tentang persyaratan pewakaf, akan dibahas pada pembahasan berikutnya.

Syarat Benda Wakaf
Ulama bersepakat, bahwa benda yang diwakafkan disyaratkan sebagai berikut: benda yang diwakafkan kelihatan, tetap utuh sekalipun diambil manfaatnya, dan benda tersebut merupakan milik orang yang wakaf. Demikian ini berdasarkan hadits Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu yang menceritakan keadaan ayahnya bernama Umar Radhiyallahu 'anhu, telah mewakafkan tanah miliknya di Khaibar, sebagaimana hadits di atas.

Imam Syafi’i berkata: Benda waqaf tidak diperbolehkan, melainkan bila bendanya tetap utuh, tidak berkurang karena diambil manfaatnya. Oleh karenanya, tidak boleh mewakafkan makanan, karena akan habis segera. [Lihat Fathul Bari, 5/403].

Adapun persyaratan bendanya harus kekal selamanya -menurut ulama’ yang mu’tabar- tidaklah menjadi persyaratan, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mewakafkan kendaraannya, sebagaimana akan dijelaskan pada pembahasan berikutnya.

Syarat Yang Menerima Wakaf
Adapun syarat orang yang diserahi wakaf, hendaknya orang yang mampu memiliki manfaatnya dan mampu membelanjakannya. Tidak boleh wakaf kepada binatang, karena dia tak berakal. Tidak boleh pula kepada orang yang bodoh (tidak pandai membelanjakan harta), karena Allah melarang orang bodoh membelanjakan harta. Allah berfirman.

وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا

Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. [An Nisa’ : 5].

Ibn Taimiyah berkata : ”Ayat ini mengandung penjelasan, yaitu orang yang bodoh tidak boleh membelanjakan atau mengatur dirinya atau mengatur orang lain, baik karena diserahi (sebagai wakil) atau mengatur; karena membelanjakan harta yang tidak bermanfaat bagi agama dan dunyawinya termasuk kebodohan yang paling besar, sehingga dilarang oleh Allah”. [Lihat kitab Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, 31/33].

Selanjutnya tidak boleh wakaf, melainkan kepada orang yang dikenal, misalnya seperti anaknya, kerakabatnya, dan orang yang shalih lagi jujur, seperti diserahkan untuk membangun masjid. Jika wakaf kepada orang yang tidak jelas, seperti diserahkan sembarang orang laki-laki, atau orang perempuan, atau untuk maksiat, seperti wakaf untuk gereja, kapel, maka tidak sah. [Lihat kitab Fiqhus Sunnah, 3/381; Al Mughni, 8/195 dan Fiqih Sunnah, 8/189].

Bagaimanakah bila orang Islam mewakafkan kepada orang kafir ahli dzimmah? Apakah diperbolehkan? Apabila mewakafkan kepada ahli dzimmah, seperti orang Kristen, hukumnya sah. Dan boleh pula bersedekah kepada mereka, karena Shafiyah binti Huyyai, isteri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan wakaf kepada suadaranya, yaitu orang Yahudi. [Lihat Fiqih Sunnah, 3/381; Majmu’ Fatawa, 31/30; Al Fiqhul Islami, 8/193; Al Mufashal Fi Ahkamil Mar’ah, 10/425].

Ibn Hajar berkata: “Di dalam hadits ini, terdapat kisah wakaf sahabat Umar. (Ini) menunjukkan bolehnya wakaf kepada orang kaya; karena istilah penyebutan kerabat dan tamu, tidaklah ada ikatan, karena mereka membutuhkan bantuan atau karena kemiskinannya”. [Lihat Fathul Bari, 5/403].

IKRAR WAKAF
Orang yang wakaf dapat diketahui, bila dia berikrar atau menyampaikan pernyataan. Misalnya:

Pertama : Perbuatan yang mengandung makna wakaf. Misalnya membangun masjid dan orang diizinkan shalat di dalamnya, membangun pendidikan din dan lainnya.

Kedua : Perkataan; hal ini ada dua macam. Dengan menggunakan kalimat yang jelas, seperti وقفتُ (aku wakafkan) حبستُ (aku tahan pokoknya) atau سبلتُ ثمرَتها (aku pergunakan hasilnya untuk fi sabilillah), atau dengan sindiran kata lain, misalnya seperti تصدقت ُ (aku shadaqahkan hasilnya) حرمت ً (ku haramkan mengambil hasilnya) أبدت ُ (aku abadikannya). Contohnya, bila ada orang yang berkata ”saya sedekahkan rumahku ini, aku abadikan rumah ini, atau tidak aku jual rumah ini, dan aku tidak menghibahkannya”.

Ketiga : Wasiat, misalnya, bila aku meninggal dunia, maka aku wakafkan rumah ini. Akad semacam ini dibolehkan, sebagaimana pendapat Imam Ahmad, karena kalimat ini merupakan wasiat. [Lihat Al Mughni, 8/189; Al Mifsal Fi Ahkamil Mar’ah, 10/429; Fiqih Sunnah, 3/380. Lihat Fathul Bari, 5/403; Taisirul Allam, 2/132]

PERSAKSIAN WAKAF
Wakif, sebaiknya mempersaksikan barang wakafnya, agar dia tetap amanat dan dapat menghindari khianat. Dalilnya, sebagaimana hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari, no. 2551, bersumber dari sahabat Ibn Abbas Radhiyallahu 'anhu.

Sahabat Sa’ad bin Ubadah Radhiyallahu 'anhu, ketika ibunya meninggal dunia, ketika itu dia tidak ada. Lalu ia lapor kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّي تُوُفِّيَتْ وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا أَيَنْفَعُهَا شَيْءٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَإِنِّي أُشْهِدُكَ أَنَّ حَائِطِيَ الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا

Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya ibuku meninggal dunia. Ketika itu saya tidak ada. Apakah dapat bermanfaat kepadanya bila aku bershadaqah sebagai gantinya?” Beliau menjawab,”Ya,” maka Sa’ad berkata,”Sesungguhnya aku menjadikan kamu sebagai saksi, bahwa pekarangan yang banyak buahnya ini aku shadaqahkan untuk ibuku. [HR Bukhari, 2551].

Ibn Hajar berkata: Hadits di atas, bila dijadikan dasar adanya saksi wakaf, belum jelas; karena boleh jadi, maksud hadits di atas adalah pemberitahuan. Sedangkan Al Mulhib beralasan perlunya wakaf ada saksi, berdasarkan firmanNya:

وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ

Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli. [Al Baqarah:282].

Al Mulhib berkata: Apabila orang berjual beli dianjurkan adanya saksi, padahal makna jual beli adalah penukaran barang, maka wakaf dianjurkan adanya saksi itu lebih utama. [Lihat Fathul Bari, 5/391].

Kami tambahkan, terlepas dari pembahasan hukum, maka bila wakaf, sebaiknya ada yang menyaksikannya, agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Wallahu a’lam.

PENCATATAN WAKAF
Wakaf, sebaiknya dicatat sebagaimana dijelaskan hadits di atas, yaitu kisah sahabat Umar Radhiyallahu 'anhu ketika mewakafkan tanahnya, ada pesan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

إِنْ شِئْتَ حَبَّسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا

Jika engkau menghendaki, engkau wakafkan tanah itu (engkau tahan tanahnya) dan engkau shadaqahkan hasilnya. [HR Bukhari, sebagaimana tercantum di atas].

Ahli Ilmu menjadikan hadits ini sebagai dalil perlunya pencatatan wakaf, sebagai bukti bila terjadi perselisihan dan untuk maslahah pada hari kemudian.

Disebutkan di dalam kitab Al Muhadzab: Apabila pemilik wakaf memperselisihkan di dalam persyaratan wakaf dan penggunaannya, sedangkan tidak ada bukti, maka bila wakifnya masih hidup, yang dijadikan pegangan adalah perkataan wakif; karena dialah yang menetapkan syarat dan penggunaannya. [Lihat kitab Al Muhadzab, 1/446].

STATUS HARTA WAKAF
Harta wakaf, bukanlah milik pewakaf lagi ; karena hadits di atas menerangkan

أَنَّهُ لَا يُبَاعُ أَصْلُهَا وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ

Sesungguhnya tanah ini tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan dan tidak boleh diwaris.

Abu Yusuf dan Muhamad berkata : Harta, bila diwakafkan tidaklah menjadi milik pewakaf lagi. Tetapi, dia hanya berhak menahan benda pokoknya, agar tidak dimiliki orang lain. Oleh karena itu, bila pewakaf meninggal dunia, ahli warisnya tidak mewarisi harta wakafnya. [Lihat kitab Al Mabsuth, 12/39].

Imam Syafi’i berkata : Tatakala Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membolehkan pewakaf menahan pokok hartanya dan memanfaatkan hasilnya, menunjukkan bahwa benda yang diwakafkan bukan milik pewakaf lagi. [Lihat Al Umm, Imam Syafi’i, kitab Athaya Wash Shadaqah Wal Habsi].

WAKAF BERKELOMPOK
Wakaf tidak harus dilakukan oleh perorangan, tetapi boleh dengan berjama’ah. Misalnya, iuran membeli tanah untuk membangun masjid, pendidikan Islam dan lainnya.

Adapun dalilnya, Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada pemilik kebun yang merupakan milik orang banyak:

يَا بَنِي النَّجَّارِ ثَامِنُونِي بِحَائِطِكُمْ هَذَا قَالُوا لَا وَاللَّهِ لَا نَطْلُبُ ثَمَنَهُ إِلَّا إِلَى اللَّهِ

Wahai, Bani Najjar! Juallah kebunmu ini kepadaku!” Lalu Bani Najjar berkata,”Tidak kujual. Demi Allah, tidaklah kami jual tanah ini, kecuali untuk Allah. [HR Bukhari, kitab Al Washaya, no. 2564].

Sabda Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam ”Wahai, Bani Najjar!” menunjukkan bahwa wakaf dapat dilakukan lebih dari satu orang.

MENUNDA PENYERAHAN WAKAF
Orang yang telah berikrar wakaf tetapi belum menyerahkannya, maka ulama berbeda pendapat. Ada yang membolehkannya, dan ada yang tidak membolehkannya.

Ibnu Hajar berkata : Apabila ada orang wakaf, sedangkan barangnya belum diserahkan, (maka) hukumnya boleh dan sah wakafnya. Begitulah pendapat jumhur ulama’. Sedangkan menurut Imam Malik dan Imam Syafi’i tidak membolehkannya, tetapi hendaknya segera diserahkan. Adapun alasan Imam Thahawi dan jumhur membolehkannya, karena kedudukan wakaf seperti memerdekakan budak, sebab keduanya memiliki kesamaan, yaitu milik Allah. Oleh karena itu, (wakaf tersebut, Red) sah, sekalipun baru diucapkan dengan lisan. Berbeda dengan pemberian hadiah, maka harus diserahkan segera. Adapun dalil lain yang membolehkan penundaan penyerahan wakaf, (yaitu) kisah sahabat Umar Radhiyallahu 'anhu. Beliau menjelaskan ”tidak mengapa yang mengurusinya ikut makan hasilnya”. [Lihat Fathul Bari, 5/384].

Terlepas dari pembahasan hukum boleh menunda penyerahan harta wakaf, maka sebaiknya harta wakaf itu segera diserahkan, kalau memang yang mengurusinya orang lain dan dapat dipercaya, agar selamat dari hal-hal yang tidak diinginkan oleh pewakaf atau keluarganya pada kemudian hari.

PERSYARATAN WAKIF
Wakif boleh memberi persyaratan, sebagaimana disebutkan hadits di bawah ini:
Sahabat Ibn Mas’ud Radhiyallahu 'anhu berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

الْمُسْلِمُونَ عِنْدَ شُرُوطِهِمْ

Orang muslim tergantung persyaratannya. [HR Bukhari, kitab Al Ijaroh].

Tetapi hendaknya, wakif tidak memberi persyaratan yang melanggar sunnah, atau persyaratan yang menyebabkan madhorot, sebagaimana disebutkan oleh Abdullah bin Amr bin Auf, dari ayahnya, dari kakeknya, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

Damai itu dibolehkan sesama kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, orang muslim menurut persyaratannya, kecuali persyaratan yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. [HR Tirmidzi, no. 1271. Hadits hasan shahih].

Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

مَا بَالُ أُنَاسٍ يَشْتَرِطُونَ شُرُوطًا لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ مَن ِ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنِ اشْتَرَطَ مِائَةَ شَرْطٍ شَرْطُ اللَّهِ أَحَقُّ وَأَوْثَقُ

Mengapa manusia membuat syarat yang tidak tercantum di dalam kitab Allah, maka barangsiapa yang membuat syarat yang tidak ada di dalam kitab Allah , ia adalah bathil, sekalipun dengan seratus syarat. Syarat Allah lebih berhak dan lebih mantap. [HR Bukhari, 2010].

Syaikh Abdullah Ali Bassam berkata : Ulama berbeda pendapat dalam memahami syarat di atas. Pertama. Syaratnya batal, bila menyelisihi Al Qur’an dan Sunnah, atau syarat yang tidak ada nashnya dari Al Qur’an atau Sunnah. Kedua. Selagi tidak ada larangan dalam hal yang mubah, maka berarti boleh. Dan karena boleh, berarti disyari’atkan di dalam Al Qur’an. [Lihat kitab Taisirul Allam, 2/250].

Syaikh Islam Ibnu Taimiyah, ketika ditanya tentang wakif yang mensyaratkan wakafnya untuk anaknya kemudian cucunya, kemudian untuk anak cucunya sampai seterusnya, beliau menjawab : Bagiannya tadi berpindah untuk anaknya, bukan untuk saudaranya dan anak pamannya. [Lihat Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, 31/100].

Jawaban Ibnu Taimiyah ini memberi penjelasan contoh persyaratan yang mubah. Adapun wakaf yang melanggar Sunnah, misalnya wakaf untuk gedung bisokop, wakaf untuk penyanyi, wakaf untuk menghalangi da’wah, wakaf untuk membantu kelancaran bid’ah, kemusyrikan dan lainnya; semua ini hukumnya haram.

WAKIF MENCABUT WAKAFNYA
Ulama’berbeda pendapat apabila pewakaf mencabut wakafnya.

Abdullah bin Ali Bassam berkata : Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa harta wakaf boleh dijual dan dicabut. Pendapat ini adalah keliru. Abu Yusuf berkata, jikalau Abu Hanifah mendengar hadits Umar (sebagaimana di atas), tentu dia akan mencabut perkataannya. Sedangkan Imam Qurthubi berpendapat, mencabut wakaf adalah menyelisihi Ijma’. Kita tidak perlu memperhatikan pendapat yang membolehkannya. [Lihat kitab Taisirul Allam, 2/252].

Syaikh Muhamad Amin berkata : Seharusnya wakif tidak mencabut wakafnya, apabila sebelumnya telah meletakkan syarat, kecuali apabila dia melihat barang wakafnya tidak dimanfaatkan, atau merasa diabaikan amanahnya; maka pewakaf boleh mencabut wakafnya. Selanjutnya, jika yang disyaratkan, seperti muadzin, Imam shalat, atau pengajar; jika dirasa kurang bermanfaat atau mereka meremehkan amanat yang dipikulkan kepadanya, maka wakif boleh menyelisihi persyaratannya. [Lihat kitab Khasiyah Ibn Abidin, 4/459].

Kesimpulannya, menurut asalnya, harta wakaf hukumnya tidak boleh dicabut kembali, kecuali bila tidak dimanfaatkan, atau diabaikan amanatnya, maka boleh mencabutnya untuk dialihkan yang lebih bermanfaat. Allahu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun VIII/1425H/2004M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296] 
 
almanhaj.or.id

Klik disini untuk melanjutkan »»
 
Namablogkamu is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com | The Blog Full of Games